Pendiri Pondok Pesantren Ihya' Ulumudin Kesugihan Cilacap
Profil KH.
Badawi Hanafi
Muassis Pondok
Pesantren Al Ihya’ Ulumudin Kesugihan 1 Cilacap
Keberadaan Pesantren Al Ihya’ Ulumudin Kesugihan Cilacap yang telah
berkiprah di dunia pendidikan agama selama kurang lebih 89 tahun, memang tidak
bisa dilepaskan dari sosok luarbiasa KH. Badawi Hanafi, muassis dan pengasuh
pertama pesantren.
KH. Badawi Hanafi lahir di Brengkelen Purworejo
Jawa Tengah pada tahun 1885 M. beliau adalah putra ke dua dari KH. Fadlil bin H. Asy’ari (Sengari) bin Suyodo
bin Gagak Handoko bin Mbah Bedug (masih keturunan Yogya/Mataram).
Ayahandanya, KH. Fadlil (wafat pada Senin Wage 1936) termasuk pedagang kain, dikenal
seseorang yang sering berdzikir (bahkan, di pasar ketika berdagang tidak lepas
dengan tasbih), ramah, tawadlu’ dan suka menolong. Kiai Fadlil kerap menghutangi uang pedangang
lain tanpa meminta imbalan dan menagih biarpuan beliau memerlukan. Nama Langgar Duwur (masih kokoh walau pada tahun 1923 gempa meluluhlantakkan banyak rumah, stasiun, pohon besar, di Cilacap) yang terkenal adalah warisan
dari KH. Fadlil.
Pendidikan Kiai
Badawi
Ketika berumur
7 tahun Kiai Badawi muda dimondokkan pada KH. Fadlil (cucu menantu Imam Puro di
Pondok Pesantren Wonotulus Purworejo sekitar 4 km dari rumahnya). Di pesantren,
beliau tidak hanya belajar di sekolah Ongko Loro (sekolah formal yang
hanya sampai kelas tiga) tapi juga mendalami Al-Qur’an, Ushuludin (tauhid),
Fiqh dan ilmu agama lainnya.
Di Wonotulus,
Kiai Badawi termasuk santri kalong (santri yang tidak menetap di pondok)
sehingga beliau mengaji pada waktu belia dengan berjalan kaki pulang pergi. Kiai Badawi juga harus melewati
sungai Bogowonto yang tidak ada jembatannya. Walaupun kadang air sungai
Bogowonto naik dan banjir, Kiai
Badawi tidak kendur tekatnya untuk tetap berangkat mengaji dengan
berenang menyeberangi sungai.
Di Wonotulus beliau menyelesaikan pendidikan sekolah Ongko Loro dan
ngajinya selama tiga tahun, yakni sampai tahun 1893 M. Setelah dari Wonotulus
(usia 9 tahun), beliau meneruskan ngaji kepada ayahandanya sampai berumur 11
tahun.
Melihat
semangat yang luarbiasa pada diri Kiai
Badawi, orangtua beliau kemudian memondokkannya ke Pesantren Loning (didirikan pada tahun 1800 M oleh Raden H.
Muhammad Rofii guru Imam Puro yang masih keturunan Ki Ageng Pemanahan Mataram,
beliau adalah paman Pangeran Di Ponegoro dikenal dengan nama Tuan Guru Imam
Rofii, adalah putra
Pangeran Hangabehi bin Sunan Amangkurat IV bin Sunan Pangkubuwono I bin Sunan
Amangkurat I bin Sultan Agung Hanyokrokusumo bin Sinuhun Sedo Krapyak bin
Panembahan Senopati bin Ki Ageng Pemanahan) asuhan KH. Abdullah Mukri yang
berjarak 10 km dari Kesugihan.
Di Pesantren Loning, Kiai Baidawi
mendalami ilmu agama sampai enam tahun. Beliau menjalai kehidupan di pesantren
dengan sederhana dan jarang pulang. Ketika ada keperluan yang sangat penting
baru beliau pulang, itupun harus berjalan kaki dari pesantren yang melahirkan
Ulama seperti Syaikh Sholeh Darat Semarang ini.
Pada tahun 1901
yang usia Kiai Badawi masih 17 tahun, beliau melanjutkan ngaji ke Syaikh Khazin
di Pesantren Bendo Kediri. Kiai Baidawi banyak belajar tasawuf kepada Syaikh
Khazin selama di Bendo.
Tidak jauh berbeda selama di
Pesantren Loning, di
Bendo Kiai Baidawi menjalai kehidupan nyantrinya dengan sangat sederhana.
Bahkan, beliau tidak meminta kiriman bekal dari rumah. Selama 20 tahun di Bendo, Kiai Baidawi
mencukupi kebutuhan di pondok dengan bekerja menjadi tukang jam, kuli batu, menjahit,
dan ngedok (menyewa sawah selama satu tahun untuk ditanami).
Luarbiasanya, pekerjaan sambian (sampingan) beliau tidak hanya untuk membiayai dirinya di pesantren, namun uang hasil pekerjaan
beliau sisikan untuk menabung dan dikirimkan ke rumah untuk
membantu orangtua.
Di Bendo, Kiai
Baidawi menjadi santri yang sangat disayangi oleh Syaikh Khazin. Beliau sering
diutus untuk badali (mengganti) mengimami para santri jamaah di musholla
pondok. Di Bendo, semangat mencari ilmu Kiai Baidawi dikenal besar. Bahkan, Kiai Baidawi sering berangkat ngaji ilmu
falak/hisab dengan berjalan kaki 12 kilo meter ke Syaikh Dahlan di Pesantren Jampes
(kakak Syaikh Khazin).
Pada tahun 1921
setelah 20 tahun mengaji di Bendo, Syaikh Khazin memerintahkan Kiai Baidawi
untuk pulang berdakwah. Malah Syaikh Khazin mengantarkan Kiai Baidawi pulang
sampai ke stasiun, tidak lain karena Kiai Baidawi santri kesayangan Syaikh
Khazin. Namun, kehausan ilmunya yang begitu tinggi, Kiai Baidawi tidak langsung pulang dan
kembali mencari ilmu mengaji di
Pesantren Lirap Kebumen,
asuhan Mbah KH. Ibrahim selama tiga tahun (1921-1924 M).
Mendirikan
Pesantren
Selama di Lirap,
di samping mengaji Kiai
Baidawi juga melakukan riyadhoh
mencari tempat untuk digunakan berdakwah. Beberapa daerah yang pernah yang
beliau tirakati adalah, Kuripan, Cilacap Kota (dekat Daun Lumbung),
Sumur Gemuling, Sitinggil, dan Kesugihan. Atas petunjuk Allah dan atas
kesepakatan masyarakat Platar dan Lemah Gugur, Kiai Badawi memilih mendirikan
pesantren di Kesugihan (tempat
ayahandanya tinggal) pada tahun 1343 H
atau 1924 M. Pendirian pesantren kemudian disahkan pemerintah (waktu itu
berpusat di Banyumas) pada
tanggal 24 November 1925 M atau 1344 H.
Pada awalnya,
bangunan pondok hanya berupa beberapa kamar, ruang tengah yang cukup lebar digunakan Kiai Baidawi untuk mengajar ngaji para santri.
Sedangkan beliau menempati salah satu kamar itu. Pada tahun 1936 langgar Lemah
Duwur yang biasa dibuat sholat
jamaah para santri, dibongkar dan
dibangun menjadi Masjid. Melalui istikhoroh, tahun 1926 M Kiai Baidawi
kemudian memperistri Nyai Aisyah Badriyah, putri KH. Abdullah Mukri Kebarongan.
Riyadhoh
Kiai Baidawi Hanafi
Kebesaran
seorang tokoh tidak luput dari tindak lakunya yang bernilai tinggi dan istimewa.
Proses kebesaran tidak muncul seketika dan ada secara kebetulan. Ada beberapa
jalan yang menjadi wasilah (lantaran) seseorang
itu kemudian menjadi sosok besar. Begitupun, Kiai Baidawi melakukan beberapa
amaliyah luarbiasa yang patut diteladani,
sehingga nama beliau dicatat tinta emas sejarah sebagai tokoh kharismatik di Cilacap pada masanya. Di
antara tirakat yang dilakukan beliau adalah :
Beliau dikenal
istiqomah sholat berjamaah. Kiai Badawi juga melewatkan malam-malamnya dengan mujahadah (shalat, dzikir dsb), qiyamul lail dan
mutala’ah kitab.
Sedikit makan, malah beliau sering
mencampur nasi dengan kerikil. Banyak makan, hanya mendatangkan banyak penyakit, menghilangkan kecerdasan, juga
syahwat akan besar sehingga gampang terbujuk godaan setan.
Istiqomah, selalu gasang
(datang lebih dulu di tempat pengajian sebelum Kiai/Guru datang), menyeberangi
sungai yang meluap karena hujan dan banjir saat di Wonotulus, suatu hari di Bendo ketika beliau sakit parah memaksakan diri mengaji Ihya’ Ulumudin dengan minta
digotong teman-temannya ke tempat pengajian, yang kemudian pengajian itu diliburkan oleh Syaikh Khazin (karena iba) sampai Kiai
Baidawi sembuh, adalah potret dari kehidupan dan ketekunan beliau dalam
menuntut ilmu Allah yang luarbiasa.
Ta’dzim
(menghormati) guru. Sewaktu di Bendo, Kiai Baidawi sering membantu mencucikan
baju dan menyiapkan air untuk mandi Syaikh Khazin. Kiai Baidawi juga setiap
hari mengisi kulah-kulah (kamar mandi) yang ada di dalem gurunya.
Khidmah yang dilakukan beliau tidak lain untuk mencari ridlo dari gurunya. Selaras dengan ungkapan, ilmu tudrok wal
khidmatu la tudrok.
Pengakuan Sang
Guru
Keistimewaan
dalam diri Kiai Baidawi memang sudah tidak perlu diragukan lagi. Tidak hanya
murid-murid beliau yang sampai sekarang masih merasakan hikmah dan keluasan ilmunya,
guru beliau Syaikh Khazin Bendo memuji dengan berkata, “Aku due santri seng
wawuh karo gusti Allah, ora kur ngerti.” (aku punya santri yang kenal
dengan Allah, tidak hanya sekedar tahu). Kebesaran Kiai Baidawi teraplikasikan
di karya beliau, kitab Niat Ingsung Ngaji.
Tentu, kepribadian Kiai Badawi tidak bisa diukur oleh sebuah tulisan.
Keluasan dan kemuliaan sosok beliau tidak akan ada habisnya dan setiap langkah
kehidupan beliau bisa menjadi pelajaran berharga bagi generasi selanjutnya. Meneladani
ketinggian dari karakteristik beliau ibarat mendaki sebuah puncak yang tinggi.
Mbah Khoiron
(santri awal Kiai Baidawi) mengatakan, “Mbah Baidawi tiyange niku lenceng,
loman lan ora mbedakna siji-sijine wong. (Mbah Baidawi itu orangnya lurus (kehidupan sesuai agama), dermawan, dan
tidak membeda-bedakan antara satu orang dengan orang lain (menghormati orang
lain dengan tidak memandang
pangkat dan kedudukannya)”. Dan Mbah
Ibrahim (alumni Bendo) mengenang, “Mbah Baidawi niku tiyange mendelan,
tawadu’, purun tindak sabin, loman, remen turba (turun ke bawah) nemoni tonggo
teparo. (Mbah Baidawi itu orangnya pendiam (kecuali untuk hal yang bermanfaat), tawadlu’, pergi ke
sawah (rajin bekerja), dermawan, dan
mau bersilaturahmi ke rumah para tetangga). Adalah sekelumit komentar untuk membaca beliau. Semoga
keluarga dan seluruh masyarakat Pesantren Al Ihya’ Ulumudin Kesugihan bisa
meneruskan perjuangan beliau menegakkan panji-panji Allah, dan semoga kita
mendapat tumpahan barokah dari orang pilihan Allah ini. Al Fatihah.
M. Umar Faruq Hs
(Dimuat di Majalah Langitan edisi 50)
0 Response to "Pendiri Pondok Pesantren Ihya' Ulumudin Kesugihan Cilacap"
Posting Komentar