Jadi santri, Jangan Nyebelin


Metamorfosis Santri Harus pada Kebaikan dan Hebat

Era globalisasi telah membuat kehidupan mengalami perubahan signifikan, bahkan terjadi degradasi moral dan sosial budaya yang cenderung kepada pola-pola perilaku menyimpang. Hal ini sebagai dampak dari pengadopsian budaya luar secara berlebihan dan tak terkendali oleh sebagian anak-anak dan remaja kita. Persepsi budaya luar ditelan mentah-mentah tanpa mengenal lebih jauh nilai-nilai budaya luar secara arif dan bertanggung jawab (Sulis Styawan,  Remaja dan Perilaku Menyimpang, 2007:54).
Perkembangan emosi remaja dalam tumbuh kembangnya memberikan pengaruh besar dalam kehidupannya. Adanya ciri-ciri serta usaha untuk mengembangkan emosi remaja secara tepat, secara bertahap. Diharapkan seorang remaja bisa mengaktualisasikan dirinya sebagai generasi harapan bangsa.  Hendaknya orang tua, guru dan lingkungan masyarakat harus benar-benar memahami bagaimana perkembangan remaja termasuk emosinya.
Pesantren pada mulanya pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam. Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini memperlebar wilayah pendidikannya. Tidak hanya terbatas mengakselerasikan mobilitas vertical (penjejelan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horizontal (kesadaran sosial). Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan, tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan masyarakat. Khususnya, problematika santri yang rata-rata berusia remaja.

Harus Ada Pengawasan
Mengawal perkembangan remaja menjadi kebutuhan mutlak. Lebih-lebih bagi pesantren sebagai lembaga sosial keagamaan. Keberhasilan sebuah pesantren bisa dilihat dari sistem atau manajemen yang benar-benar berimplementasi baik terhadap pengawasan dan pembinaan semua santri. Bila tidak, sebesar apapun sebuah pesantren, tidak akan memberikan efek apa-apa pada pembetukan karakter santrinya. Komentar KH. Hasyim Muzadi di Kompas 1 Agustus 2004 mengatakan, “Di Indonesia orang NU dianggap kolot karena lihat sarungnya. Wujud fisik itu dikonotasikan dengan keterbelakangan pemikiran.” memang memerlukan “bukti” kongkrit kaum sarungan (santri) sendiri untuk menyikapinya.
Allah telah banyak memberikan contoh pentingnya pembinaan generasi dalam Al-Qur’an. Yang terkenal kisah Lukman Al Hakim dan putranya. Pesantren dituntut bisa mengaplikasikan harapan Al-Qur’an dengan mengedepankan pengontrolan masyarakatnya. Karena ia adalah lembaga resmi yang telah mendapat pengakuan Negara dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) pasal 30 ayat 4 berbunyi, “Pendidikan Diniyah, Pesantren, Pasraman, Pabhaja, Samanera, dan bentuk lain yang sejenis.” dan Pasal ini telah dijabarkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia nomor 55 tahun 2007.
Kingsley Davis mengatakan, “Perubahan karakter/sosial (generasi/umum) merupakan perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur (golongan).” Pesantren yang merupakan “wadah” penampung remaja, harus berfungsi sebagai satuan pendidikan yang mempersiapkan anak didiknya, memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya atau menjadi ahli ilmu agama (tafaqquh fiddin). Performance sistem (leadher pengurus, pengajar, komposisi pelajaran dan idiologi, hubungan/pergaulan) lembaga ini jangan sampai keluar dari substansi fungsinya dalam rangka melahirkan generasi berpredikat, Khoirunnas anfa’uhum linnas. Sistem di sini, menjadi sangat menentukan berhasil tidaknya visi dan misi sebuah pesantren.

Al Ittihadu Quwatun
Kebersatuan “Orang-orang” pesantren mengemban amanah mendidik santri menjadi penting. Lebih rincinya, semua sistem pesantren selayaknya bersatu padu berkerja semaksimal mungkin, penekanannya tetap pada proses pembentukan karakter mulia penduduknya.
Sistem kepengurusan yang berjalan sendiri-sendiri dengan idialisme sendiri-sendiri mungkin perlu diperhatikan “orang dalam” pesantren. Perpecahan itu akan sangat mungkin bisa meruntuhkan “tembok” pesantren yang sekarang tengah mulai terkikis oleh “serangan” dunia luar. Sistem pesantren harus solid mengibarkan “bendera perang” kepada pihak yang mencoba memporak-porandakannya dari berbagai arah. Apalagi, santri (remaja) mempunyai kecenderungan ingin bebas dalam segala hal, berpeluang besar tergelincir dalam “jebakan” globalisasi. Dan, implementasi peribahasa Arab yang tertulis di kitab kecil pelajaran sekolah tingkatan pemula (MI) di atas, menjadi harga mati. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.

Jangan Buka Jilbabmu
Cukup bila kisah dari Ibnu Hisyam tentang Nabi Muhammad Saw yang memerangi Yahudi Qainuqa’ dan mengusirnya dari Madinah (karena bermula saat salah seorang dari Bani Qoinuqa’ membuka aurat seorang muslimah), memberi pelajaran kepada kita betapa pentingnya nilai menjaga aurat.
Fungsi pakaian sebagai pelindungan badan juga selayaknya menciptakan keindahan yang bertanggung jawab. Berhias tidak dilarang dalam Islam, karena ia adalah naluri manusiawi, yang dilarang adalah tabarruj al-jahiliyah, satu istilah yang digunakan Al-Quran surat Al Ahzab [33]: 33 yang mencakup segala macam cara yang dapat menimbulkan rangsangan birahi kepada selain suami istri.
Berpakaianlah yang baik, karena penelitian modern yang dikembangkan oleh Hajo dan Galinsky apa yang kita kenakan tidak hanya berdampak bagi orang lain, tetapi juga berdampak pada diri pribadi. Semakin seseorang mampu berbusana dengan baik, tepat, sesuai dan serasi maka aka nada pengaruh yang timbul dalam dirinya. Dengan gaya berbusana yang baik akan membuat dirinya semakin dihargai dan dihormati. Seberapa besar pengaruh pakaian terhadap psikologi seseorang, tergantung kepada sebaik apa pakaian tersebut yang menampilkan karakteristik di mana dapat diterima secara signifikan di lingkungan sosialnya, serta sebaik apa pakaian tersebut digunakan sesuai dengan keperluan pemakainya.

Mari Menghebatkan Diri
Allah sudah menentukan takdirNya bahwa kita dicatat berada di komunitas santri. Golongan yang mendalami ilmu-ilmu Allah dengan harapan bisa mengaplikasikannya dengan berdakwah dan berjuang menegakkan panji Allah di daerah masing-masing ketika pulang. Bukan sebuah kebetulan, kita berada di deretan sekenario cerita kehidupan luarbiasa dan menempatkan kita sosok-sosok istimewa di sisi Allah. Terus bergeraklah, pantang menyerah sekali layar berkembang. Pantang mundur, walaupun deru ombak dan hantaman angin sesekali melelahkanmu. Yakinlah santri adalah manusia yang dipilih Allah untuk menyampaikan risalahNya.

Mari kita selalu menghebatkan diri dengan lukisan-lukisan indah dalam perilaku, akhlak, ibadah kepadaNya, bermanfaat kepada sesama, berbangga dengan karya, dan menebar senyum semangat setinggi-tingginya.
Mana mungkin Allah Yang begitu sayang kepada kita, membiarkan kita “terlantar” bila kita sudah pulang kelak tanpa rencana pembahagiaan. Kita sudah berada dalam manhaj thoriqoh insaniyah yang benar. Tidak usah menghitung untung ruginya mondok, miskin kayanya belum kerja, karena semua itu Allah yang mengatur. Karena Allah tahu kapan saatnya keindahan dan yang terbaik datang untuk kita.

Subscribe to receive free email updates:

2 Responses to "Jadi santri, Jangan Nyebelin"

Unknown mengatakan...

wes pokoknya lanjut terus berkarya,....semua keluarga pean mendukung.....

H R Umar Faruq mengatakan...

Insya Allah.... Jazakumullah... :)