Ijazah Sarjana vs Sarung Santri
Tanpa Ijazah, Santri Harus Kuat “imannya”
Oleh : H. R. Umar Faruq*
Bulan Agustus lalu, bulan puasa yang ramai bukan hanya karena
suara nyaring dari spaeker-spaeker musholla yang berdarusan, atau
hiruk-pikuk perayaan HUT kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, bulan itu
adalah momentum masyarakat berbondong-bondong mendaftarkan diri menjadi calon
sarjana, setara jenjang pendidikan tinggi pertama. Mungkin Shodikun salah satu
remaja yang menggebu-gebu meraih legalisasi ijazah strata satu, sugestinya bereksplorasi
bahwa, masa depan cerah harus lewat proses pendidikan tinggi.
Dikun –panggilan akrabnya- menyadari bahwa tujuan hidup
tertuju pada kata sukses. Tumpukan lampiran persyaratan masuk perguruan
tinggi di tangan Dikun, salah satu labirin
yang berisi mimpi dari ribuan labirin yang menyeruak di otaknya. Setiap manusia
akan berjibaku dengan berbagai jenis pendidikan yang diambil, mengerjakan beragam
usaha, semua jenis pekerjaan ditekuni demi mencapai satu kata. Sukses.
Lelaki Misterius Perumus Sukses
Dikun tak acuh mendapati pemuda berpakaian sederhana di angkot
yang membawanya ke salah satu perguruan tinggi bonafit Surabaya. Namun, mendadak,
pemuda itu berkata keras ke arah Dikun yang tentunya heran dan melongo.
“Definisi sukses secara jernih terbagi di beberapa tingkatan
kelas. Kelas terendah sukses adalah materi. Kelas ini berisi harta, tahta,
popularitas, intelektualitas, kreatifitas, dan sejenisnya. Bersifat egosentris.
Implementasi kelas ini mengangkat seseorang akan ‘elit’ di komunitasnya. Banyak
yang tidak bisa mengendalikannya, hingga ia terperosok dalam kasta manusia
rendah dan murahan. Bahkan hidupnya berakhir dengan tragis dan mengenaskan.”
“Kelas sukses kedua adalah bahagia. Ia jauh lebih tinggi
dari tangga pertama yang hanya terjangkau secara inderawi dan bersifat fisik
semata. Kebahagiaan adalah suasana damai jiwa. Ia tak berasal dari harta
berlimpah, ia tak berasal dari pangkat yang tinggi, bukan juga dari
popularitas. Bahagia berorientasi dan lahir dari rasa ikhlas dan syukurnya hati
akan segala hasil yang dicapai dalam kehidupan.”
“Manusia yang paling mulia adalah yang bermanfaat bagi
sesamanya. Maka kelas sukses berikutnya adalah bermanfaat bagi yang lain. Kesuksesan
sebenarnya adalah bagaimana agar dalam setiap langkah, senantiasa menjadi “rahmat”
bagi sekitar. Kedatanganmu membawa kebaikan dan membuat orang lain tersenyum,
dan kepergianmu akan ditangisi dan dikenang dengan tinta emas. Inilah orang
pilihan Tuhan yang memperoleh kesuksesan abadi. Kalau secara akademik, tumpukan
kertas di tanganmu itu bisa menjawabnya.”
Dikun mengerenyitkan keningnya, pikirannya tidak menentu.
Dia melirik tangan kanannya yang memegang buku, Kiat Sukses Tanpa Sarjana. Buku
yang berbicara tentang gelar sarjana atau yang lebih tinggi, tidak
selamanya menjamin seseorang meraih sukses. 10 yang sudah familiar di Indonesia
atau internasional sebagai contoh kecil orang-orang yang sukses tanpa sarjana. 1.
KH. Abdullah Gymnastiar, kiai dan wirausahawan sukses tanpa ijazah. 2.
Buya Hamka, seorang ulama, aktivis politik dan penulis. Beliau hanya
mengenyam pendidikan di SD Mininjau sampai kelas dua ini terkenal di Nusantara.
3. M. H. Ainun Najib, pendidikan formalnya hanya berakhir di Semester 1
Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Selebihnya Beliau jadi
pengembara ilmu di luar sekolah hingga dia bisa jadi manusia dengan bermacam
sebutan (multifungsi). 4. Ajip Rosid, dia bahkan menolak
ikut ujian karena waktu itu beredar kabar bocornya soal-soal ujian. Tidak jadi
ikut ujian, karena ingin membuktikan bisa hidup tanpa ijazah. Tidak memiliki
ijazah SMA, malah di usia 29 tahun diangkat sebagai dosen luar biasa Fakultas
Sastra Universitas Padjadjaran. Lalu jadi Direktur Penerbit Dunia Pustaka Jaya,
Ketua Ikapi Pusat, Ketua DKJ dan akhirnya pada usia 43 tahun menjadi profesor
tamu di Jepang sampai pensiun. 5. Purdi E Chandra, Kuliah di 4
jurusan yang berbeda. Hanya saja ia merasa tidak mendapatkan apa-apa dengan
pola kuliah yang menurutnya membosankan hingga akhirnya nekat meninggalkan
kuliah. Tapi, Lembaga Bimbingan Belajar (Bimbel) Primagama yang didirikannya
bahkan masuk ke Museum Rekor Indonesia (MURI). 6. Andy F. Noya, Pimpinan
redaksi Metro TV ini belum lulus sarjana. Sejak kecil dia jatuh cinta pada
dunia tulis menulis. Kemampuan menggambar kartun dan karikatur semakin membuatnya
memilih dunia jurnalistik sebagai jalan hidupnya. Paul Allen dan Bill
Gates merupakan dua pendiri Microsoft, hingga perusahaan tersebut memiliki
aset US$ 226,2 miliar. Ternyata dua CEOnya tidak lulus kuliah. Steve Jobs,
Pendiri dan mantan CEO Apple, ini tidak lulus kuliah. Dia memulai mendirikan
Apple dari sebuah garasi rumah kemudian berubah menjadi perusahaan beraset US$
362,4 miliar dan beroperasi di seluruh dunia. Terakhir Mark Zuckerberg,
siapa yang tak kenal CEO Facebook yang keluar dari Harvard ini mengembangkan
Facebook hingga perusahaanya bernilai US$ 100 miliar.
Shodikun kebingungan, berkas persyararatan kuliah
dipegangnya erat, sedang pikirannya masih terusik dengan tawaran mondok
orangtuanya. Entah, Dikun memutuskan turun di perempatan jalan. Sesekali
melihat ke langit dan menghempaskan nafasnya sambil menundukkan kepala ke
tanah. Ia bingung, menuju arah ke kampus atau balik ke rumah ikut sepupunya
nyantri. Otaknya masih mengumpulkan formula untuk mendefinisikan kata sukses
sebagai tujuan utama hidupnya.
Dikun mengumpulkan labirin-labirin pikirannya untuk
orientasi prinsip hidupnya. Ia tahu. Bahwa, sesungguhnya sukses hak semua
orang. Semua manusia dibekali potensi oleh Allah untuk digali dan
ditranformasikan guna meraih prestasi sukses tertinggi. Sukses bukan milik
sarjana atau pendidikan tinggi lainnya. Semua orang berhak dan bisa sukses.
Karena sukses milik siapa saja. Wallahu A’lam. Dikun memilih nyantri.
0 Response to "Ijazah Sarjana vs Sarung Santri"
Posting Komentar