“Hujan Berkah” pada Hari Rabu Wekasan


 Perayaan Unik Rabu Wekasan di Suci Gresik Jawa Timur

Hari Rabu terakhir pada bulan Safar yang kemudian fenomenal dengan sebutan Rabu Wekasan hampir di seluruh nusantara ini memang menyimpan “kekuatan mistik” yang luarbiasa. Yang menarik, disamping dilaksanakan ritual-ritual (dengan bacaan atau “mantra” khusus) pada setiap perayaannya yang masyarakat di Yogyakarta menyebutnya dengan Rabo Pungkasan, di Suci Gresik, rabu wekasan justru dilakukan dengan sebuah perayaan unik.
Rabu wekasan di Suci menjadi momen “hujan berkah” bagi masyarakat tidak hanya bagi penduduk setempat tapi juga masyarakat yang berbondong-bondong “mengais berkah” di sana. Ribuan bazar dadakan yang panjangnya satu kilo lebih di sepanjang jalan raya Suci sampai desa Pongangan sudah barang tentu mengangkat perekonomian daerah setempat.

Telaga Suci
Konon, dari beberapa sesepuh yang kami temui di Suci, perayaan Rabu Wekasan berawal dari ritual mandi di sumber yang diyakini dibuat oleh Sunan Giri, ada sumber lain mengatakan bahwa Sendang Suci yang sekarang sudah tidak mengeluarkan air itu dibuat oleh Syekh Jamaludin Malik, murid Sunan Giri (Majalah ALFIKR Nurul Jadid, http//kabupatengresik.id.co).
Syahdan, Syeikh Jamaluddin Malik yang masih kerabat sekaligus murid Sunan Giri tahun 1483 diperintahkan untuk berdakwah di daerah barat Gresik. Syekh Jamaluddin Malik membuat sumur yang kemudian dikenal dengan nama Sumur Gede. Berkat karomah yang dimilikinya, masyarakat berbondong-bondong datang untuk memanfaatkan sumber air yang menyembur deras. Pohon asam tinggi berbuah manis di sebelah sumur, diabadikan oleh masyarakat menjadi nama kampung, yakni kampung Asemanis.
Karena keramaian membuat sumber di Sumur Gede menipis. Melalui petunjuk gurunya di sela-sela pohon yang rimbun Syeikh Jamaluddin menemukan sumber air yang jernih dan besar. Air tersebut dipakai untuk bersuci sehingga tempat itu akhirnya dinamakan desa Suci. Beliau kemudian membangun masjid di sana. Sumber itu kemudian dikenal dengan Telaga atau Sendang Suci (tercatat pada tahun 1481, oleh pemerintah Kabupaten Gresik).
Sebagai ungkapan syukur adanya sumber air (telaga suci) tersebut (tepatnya di ujung utara Desa Suci RW.1), masyarakat mengadakan ritual syukuran dan riyadhoh yang hingga saat ini masih dilestarikanPelaksanaannya tepat pada hari Rabu di bulan Shafar (Rabu Wekasan). Ritual ini diekspresikan dengan mandi malam di Sendang (telaga suci) dilanjutkan dengan Sholat Malam memohon perlindungan kepada Allah Swt. 

“Ritual” Bazar & “Bumbu Keramat”
Tidak jauh beda dengan Pasar Bandeng, Malam Selawe ataupun acara Haul Bungah sebagai objek wisata dan pusat keramaian di Gresik, suasana keramaian Rebo Wekasan di desa Suci terlihat dari jejeran pedangan di sepanjang jalan KH. Syafii sampai desa Pongangan. Tidak hanya masyarakat Suci setempat, ratusan pejual di bazaar dadakan itu berasal dari berbagai daerah di Jawa Timur, bahkan salah satu pedagang yang kami temui berasal dari Semarang Jawa Tengah.
Menariknya, ketika kami bertamu pada salah satu masyarakat Suci (alumni Langitan), beliau menyuguhkan ketupat lontong sambil berkata, “Masakan khas Suci ini hanya ada dan dibuat pada waktu Rabu Wekasan saja.”

“Lebaran” Kedua Masyarakat Suci
Rebbuh Bekkasen (nama di Madura) di Suci tidak hanya dirayakan dengan Pengajian Umum pada Senin malamnya dan Nyadran (selametan kampung dengan mengarak tumpeng) pada Selasa paginya, Rabo Pengkas (nama di Banten) di Suci lebih menyerupai perayaan hari raya, dimana masyarakatnya juga melakukan ajang silaturrahmi. “Bahkan, kalau lebaran Idul Fitri tidak datang, para Rabu Wekasan ini, banyak dari kerabat atau sahabat bersilaturahmi.” Komentar dari Ust. Khumaidi Jazri salah satu tokoh Suci yang kami temui.

Mengangkat Perekonomian Daerah
Keramaian rebo wekasan tentu memberikan dampak perekonomian setempat. “Rabu Wekasan bagi penduduk Suci sangat bermanfaat, tidak hanya ritual memohon terlindung dari bala’,  keramaian yang bisa Anda lihat ini sedikit banyak mengangkat perekonomian masyarakat dan desa Suci dan sekitarnya. Bahkan masyarakat luar yang berdagang juga mendapatkan manfaatnya.” Komentar salah satu perangkat desa yang tidak mau disebut namanya.
“Subhanallah, luarbiasa mas, kami mendapat rezeki berlimpah dari Allah.” Sebut pedagang dari Madura yang diamini penjual pakaian dari Jombang dipinggirnya yang sibuk melayani pedagang yang berjubel. Dari beberapa pedagang dari dalam dan luar Suci yang kami temui, bersyukur karena mendapat keuntungan yang berlipat. Apalagi, ada beberapa pedagang sudah ada yang buka 15 hari sebelum Rabu Wekasan dan buka dari siang sampai larut.

Pergeseran Tradisi
Namun, tradisi yang ada sejak abad XIV ini mulai tercerabut dari akar tujuan dan nilai-nilai serta fungsi tradisinya. Hal ini tampak dari beberapa kegiatan yang jauh dari nilai-nilai islam dan tradisi semula. Bahkan, tidak jarang kami melihat pasangan muda-mudi bergandengan tangan, bemesraan dan lainnya. Acara-acaranya pun mulai diisi dengan hiburan-hiburan modern yang cenderung jauh dari nilai islami seperti orkes dangdutan, pasar malam dan lain sebagainya.
“Masyarakat Suci tetap berupaya melestarikan tradisi rebo wekasan sebagai warisan budaya dengan memperkenalkan rebo wekasan kepada generasi selanjutnya dengan membentuk panitia dari pemuda-pemuda Suci. Harapannya, para pemuda timbul rasa kepemilikan atas tradisi ini, biarpun ada beberapa catatan, seperti praktek modernisasi yang kadang tidak sejalan dengan syariat Islam.” Kata salah satu masyarakat kepada kru Majalah Langitan.
Pendapat Imam Syafi’i, yang ditulis Ibnu Hajar dalam kitab Syarah Fathul Mubin mengatakan : “Sesuatu yang bertentangan dengan Alqur’an, Hadits, Ijma’ dan Atsar adalah bid’ah dlolalah (sesat), sedangkan amaliyah baik yang tidak bertentangan dengan hal tersebut, maka ia adalah bid’ah yang mahmudah (terpuji). Momentum Rabu Wekasan (disebut oleh Syaikh Ad Dairobi dalam kitabnya Mujarrobat dan beberapa Ulama lain bahwa Allah menurunkan 320.000 bala’ pada hari itu) di Suci sebagai tradisi warisan leluhur memang perlu dipertahankan, al adah muhakkamah adalah dasar dari ritual Suci di desa Suci yang menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah Suci dan masyarakatnya untuk mengembalikan praktek amaliyah Rabu Wekasan seperti awal dilaksakan. Implementasi yang bersifat provan dan duniawi perlu dihindari agar tidak merusak tujuan mulia.
Pengenalan sejak dini pada generasi muda sebagai penerus kearifan lokal dengan melibatkan pemerintah daerah, instansi pendidikan seperti sekolah, beberapa pesantren besar yang ada di Suci, penting dilakukan dalam rangka melestarikan budaya Rabu Wekasan yang berimplementasi pada aplikasi syukur kepada Allah, dan berorientasi terhadap pelaksanaan doa-doa agar terjaga dari mara bahaya. (dari berbagai sumber).



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "“Hujan Berkah” pada Hari Rabu Wekasan"