Dari Pesantren untuk Bangsa



Dari Pesantren untuk Bangsa
KH. A. Wahid Hasyim, Santri Perumus Pancasila

Tebuireng tidak hanya dikenal dengan sejarah pusat perjuangan kemerdekaan dan  peradaban keilmuan pada masa pra kemerdekaan, tapi daerah yang konon namanya diambil dari sejarah pabrik  tebu yang terkenal pada zaman belanda itu, melahirkan tokoh-tokoh berjasa untuk bangsa yang beberapa dianugerahi gelar pahlawan nasional. Salah satunya adalah pahlawan nasional KH. Abdul Wahid Hasyim.
Beliau lahir di Jombang Jawa Timur pada 1 Juni 1914 M, pada masa mudanya,  beliau begitu semangat berorganisasi. Kiai Wahid adalah salah satu putra bangsa yang turut mengukir sejarah negeri ini pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan mengawali kiprah kemasyarakatan pada usia relatif muda. Setelah menimba ilmu agama ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Mekah, usia 21 tahun Wahid membuat “gebrakan” baru dalam dunia pendidikan pada zamannya. Khususnya pendidikan pesantren.

Beliau berhasil memadukan pola salafiyah pesantren yang menitikberatkan ajaran agama dengan kurikulum ilmu umum. Sistem klasikal diubah menjadi sistem tutorial. Selain pelajaran Bahasa Arab, murid juga diajari Bahasa Inggris dan Belanda. Yang kemudian dikenal dengan istilah madrasah nidzamiyah. Sistem ini pula yang dikembangkan pesantren-pesantren besar di nusantara ini. Sebagaimana PP Gontor dan PP Salafiyah Syafiiyah Sukerejo Situbondo.

Untuk Bangsa
Perjuangan Kiai Wahid untuk bangsa ini dimulai ketika pada tahun 1939 menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah badan federasi partai dan ormas Islam di zaman pendudukan Belanda. Saat Jepang datang pada tahun 24 Oktober 1943, beliau ditunjuk menjadi Ketua Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menggantikan MIAI.


Kemerdekaan dan Pancasila
Sebagai ketua Masyumi Kiai Wahid membentuk Barisan Hizbullah yang membantu perjuangan umat Islam dan para gerilyawan mewujudkan kemerdekaan. Jasa besar beliau dan kegigihannyalah pada tahun 1944 (sebelum Indonesia Merdeka) berhasil mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang pengasuhannya ditangani oleh KH. A. Kahar Mudzakir.

Menjelang kemerdekaan, beliau menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Kontribusi penting yang diberikan beliau bagi agama dan bangsa tidak terhitung. Rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam dalam butir sila pertama Pancasila, tidak terlepas dari peran Kiai Wahid Hasyim.

Di pemerintahan, karier Kiai Wahid dimulai menjadi Menteri Negara dalam kabinet pertama Indonesia, hingga Menteri Agama pada tiga kabinet (Hatta, Natsir, dan Sukiman). Mungkin jiwa nasionalis, spiritualis dan ketokohannya terwarisi dari Khadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, pahlawan nasional yang berperan penting dalam kemerdekaan Indonesia. Dan tidak salah juga bila putranya, Kiai Abdurahman Wahid (baca: Gus Dur) aktifis yang disegani oleh hampir seluruh tokoh agama di nusantara dan menjadi guru bangsa hingga menduduki kursi kepresidenan ke empat negara ini, terinspirasi dari kebesaran jiwa Kiai Wahid Hasyim, salah satu putra terbaik bangsa. Beliau lahir dari tokoh besar dan melahirkan tokoh besar.

Man of Action
Di salah satu media, KH. Ir. Salahuddin Wahid (Gus Sholah) pengasuh PP Tebuireng, mengenang, “Kiai Wahid adalah seorang tokoh NU dari jenis yang tidak banyak kita temukan, yaitu pemimpin organisatoris, jenis “pekerja” bukan “pembicara”. Kiai Wahid dikenal juga sebagai man of action bukan jenis man of ideas. Ia juga tidak hanya pandai melontarkan gagasan tetapi bisa mewujudkannya.”

Sejarah Lomba LKTI
Untuk memperingati satu abad kelahiran dan jasa-jasa besar KH. A. Wahid Hasyim untuk Negara ini, diadakan serangkaian acara di belbagai kota di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Rangkaian acara dimulai dengan Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) mengenai Wahid Hasyim yang diikuti 260 makalah dari kategori santri/pelajar dan mahasiswa/umum dan akan diakhiri dengan seminar nasional mengenai pemikiran politik Wahid Hasyim pada 25 Juni 2011. Acara yang digagas oleh Keluarga Besar KH. A. Wahid Hasyim ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan mengangkat pemikiran-pemikiran KH. A. Wahid Hasyim tentang pembaharuan Islam Indonesia.

Pada Desember 2012 lalu, Pesantren Tebuireng juga menggelar Lomba Karya Tulis Ilmiah (LKTI) untuk mengenang jasa dan pemikiran Guru Bangsa Kiai Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang diikuti ratusan peserta (Santri/Mahasiswa/Umum) dari seluruh Indonesia. Bisa ditarik kesimpulan bahwa, Jombang lebih khusus Tebuireng menjadi pusat kelahiran tokoh-tokoh nasional dan intelegensia yang berjasa kepada bangsa ini. Bisa jadi, aka nada LKTI lain yang mengenang kebesaran tokoh yang ada di Tebuireng selanjutnya.

Generasi Emas Bangsa
Kiai Wahid Hasyim juga dikenal sebagai tokoh yang moderat, substantif, dan inklusif. Kontribusinya bagi NKRI sangat penting. Dengan segudang pemikiran tentang agama, bangsa, politik, kemasyarakatan NU (pernah menjadi ketua PBNU), dan pesantren, membuat posisi beliau dalam sejarah nasional dan keislaman sulit tergantikan.

Namun, perannya yang luarbiasa bagi bangsa ini tidak diimbangi dengan apresiasi bagus dari generasi selanjutnya. Mungkin, selain karena wafat dalam usia yang relative muda (39, meninggal di Cimahi 19 April 1953 karena kecelakaan mobil), juga tidak banyak karya atau pemikiran Kiai Wahid terdokumentasi dan terpublikasi ke public dengan baik, membuat beliau tidak begitu dikenal.

Bisa diambil pelajaran, bangsa ini milik kita bersama dan siapapun bisa untuk berkiprah untuk bangsa ini. Kalangan pesantren ataupun umum, semua bisa. Bukan sikap dewasa dan cerdas bila satu komunitas dikucilkan (sebagaimana idialisme miring pada pesantren) atau tindakan negatif lainnya. Makam-makam para pahlawan dan tokoh-tokoh nasional di pesantren Tebuireng Tebuireng menjadi bukti bahwa, semua lapisan masyarakat berpeluang untuk menjadi bagian sejarah yang membanggakan negeri ini. (dari berbagai sumber).


Dimuat di Buletin Langitan oleh : Pangeran Senja*
Juara III, Lomba Nasional LKTI Tebuireng Jombang

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Dari Pesantren untuk Bangsa"