Mari Bersama-sama Melepas Kopyah
Presentasi Kebiasaan
Negatif Santri saat Liburan ala Pangeran Senja*
Sebelum melanjutkan membaca tulisan ini, boleh Anda mengucapkan istighfar,
sholawat (sholawat masyisiyah misalnya), doa daf’il bala’ dan
dzikir yang lain. Sama sekali tidak ada niat untuk menciptakan provokasi, kami hanya
bertendensi pada realita yang ada, sebuah fenomena yang menurut kami sungguh
memilukan. Dimana santri sudah tidak yakin atau tidak mau memperlihatkan
identitasnya. Salah satu contoh yang mudah adalah, euforia santri putra ketika
liburan, beramai-ramai dan berbangga diri atau malah dianggap biasa bila ia
mencopot kopyah atau pecinya. Menjadi agak mencengangkan kalau santri putri juga
beramai-ramai melepas jilbab!. Subhanallah. Kalau ini terjadi, mari kita
cepat-cepat mengadakan istighotsah akbar, karena ini adalah bencana besar bagi
Islam!. Khususnya pesantren. Allahu yahfadz.
Pentingkah Kopyah Bagi Santri?
Penampilan fisik dalam hal ini cara berpakaian akan menimbulkan
persepsi tersendiri bagi karakteristik seseorang, seperti gambaran mengenai
kepribadiannya atau kompetensi yang dimilikinya. Bahkan dengan hanya melihat
fisiknya (pakaian) saja, akan bisa menggambarkan karakter dan pribadinya.
Pakaian yang dikenakan seseorang menandakan ciri-ciri utama dari
pemakainya. Disadari atau tidak, tujuan dari cara berpakaian seseorang adalah
membuat kesan pribadi yang bervariasi. Mungkin saja, pakaian yang dikenakannya
mencerminkan diri yang cerdas, santai, pendiam, bertanggungjawab, fashionable
dan lain-lain. Hal ini tentunya menjadi simbol bagi pribadi yang ingin
ditunjukkan. Bagi santri yang sudah dibekali tidak hanya ilmu agama tapi juga
diajarkan tatacara/akhlak santun dan sopan saat berpakaian, tentu keharusan berpakian
yang rapi ala santri patut ditekankan. Salah satunya kopyah atau peci.
Budayakan Berkopyah
Sejarah
mencatat, budaya peci identik bagi rakyat indonesia di dunia bermula dari sosok
Soekarno. Konon, selesai menjalani pembuangan di Bengkulu bersama keluarga dan
para pembantunya pada tahun 1942. Soekarno mampir ke Pesantren Darul Funun al
Abbasiyah, di desa Padang Japang, Guguk, Kabupaten Lima Puluh Koto, Sumatera
Barat asuhan Syekh Abbas Abdullah sahabatnya.
Syekh Abbas
menghadiahi Soekarno peci hitam sambil berpesan “Peci ini kuberikan supaya Indonesia
berdasarkan ketuhanan dan kamu menyadari bahwa bangsa Indonesia ini mayoritas
umat Islam.” Akhirnya, peci hitam itu menjadi ciri khas visual proklamasi dan
perjuangan Soekarno di tahun-tahun kemudian. Peci itu menjadi benda seni yang
mewakili kehebatan sosok yang memiliki andil besar dengan proklamasi
kemerdekaan Indonesia. Di kemudian hari, bahkan menjadi ciri khas orang
Indonesia. Hatta yang tak biasa berpeci selama sekolah di Eropa, akhirnya
mengikuti Soekarno berpeci pada saat-saat tugas kenegaraan dan hingga sekarang
diikuti dan menjadi bagian penting dari busana resmi presiden-presiden
Indonesia. Lihat saja, Presiden selanjutnya, Soeharto, BJ. Habibie, Gus Dur,
dan Susilo Budhiyono tampil dengan peci sebagai baju resmi kepresidenan.
Mari dengan
berbangga diri membudidayakan kopyah sebagai identitas keislaman dan kesantunan
juga keindahan seorang santri. Ilmu Allah dan ajaran para masyayekh tentang kehidupan,
sudah sangat cukup sebagai modal buat kita untuk menguatkan keyakinan bahwa,
bersarung dan berkopyah bukanlah hal yang memalukan. Tapi, budaya salafiyah itu
justru simbol keanggunan seorang santri yang berpendirian kokoh. Semangat
saudara..!!
Kopyah dalam Pandangan Syariat
Menurut Islam, hukum memakai peci sunnah bagi laki-laki saat
sholat (HR Bukhari I/498, Muslim hadits No 516), memasuki kamar kecil dan di daerah
yang kebiasaan tempatnya memakai tutup kepala (Bughyah Al Mustarsyidin I/182). Memakai
peci sudah dapat mencukupi kesunahan memakai sorban (Dur Al Ghamamah hal. 2).
Sebagian para Masyayekh menyatakan kebagusan (istihsan) terutama di
kalangan Syekh Abdul Qadir Al Jailani (Al Fatawa Al Fiqhiyah Al Kubra I/266).
Lebih jauh
lagi, Imam Haramain, Imam Ghozali, Imam Al Baghowy dan Ulama-ulama lainnya
dalam Al Majmu’ ala Syarh al Muhaddzab II/92 mengatakan, “Sunah bagi
seseorang tidak memasuki kamar kecil (WC) tanpa penutup kepala. Ashhab Syafii berkata,
‘Bila tidak menjumpai sesuatu, maka letakkan lengan baju di atas kepalanya’.
Rasulullah Saw saat memasuki kamar kecil memakai sepatu dan menutup
kepalanya” (HR Baihaqi). Bahkan, kalangan Hanafiyah menilai makruh
bagi laki-laki sholat dengan terbuka kepalanya (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah XXX/304).
Orang-orang
yang tidak memakai tutup kepala (kopyah) tidak bisa diterima persaksiannya.
Karena ia tidak memiliki keperwiraan (wibawa). Barang siapa yang meninggalkan
keperwiraan bersifat manusiawi dimungkinkan ia bersaksi palsu. Pun, apa yang
dilakukannya tidak usah dipedulikan karena ia sudah tidak mempunyai rasa malu
(meninggalkan keperwiraan). Dalil yang dibuat sandaran dalam masalah ini adalah
riwayat Abu Mas’ud Al Badry bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda, “Sesungguhnya sebagian
perkara paling utama yang ditemukan dari kalam nubuwah adalah : Bila tidak punya
rasa malu, maka berbuatlah semaumu!.” (Al Majmu’ ala Syarh Al Muhaddzab
XX/227).
Harus Percaya
Diri
Menurut KBBI
(Kamus Besar Bahasa Indonesia), arti percaya : mengakui
atau yakin bahwa sesuatu memang benar atau nyata, dan diri : seorang diri;
tidak dengan orang lain, tidak dibantu (dipengaruhi) orang lain, tidak
diperintah orang lain. Bila digabungkan arti percaya diri adalah, keyakinan
akan dirinya tanpa adanya pengaruh dan perintah orang lain.
Tatsbitul yakin fi nafsi tullabil ilmi
atas apa yang melekat dalam dirinya adalah proritas dan tolok ukur. Karena Percaya diri
adalah salah satu aspek dari kepribadian individu yang harus dimiliki. Sikap
percaya diri seperti pernyataan tersirat dari diri sendiri bahwa, diri memiliki
kemampuan dan bangga dengan apa yang dilakukan secara positif. Namun, masih
banyak khususnya anak muda memiliki rasa tidak percaya diri dan berujung ke
minder, hal ini tentu sangat mengkhawatirkan.
Bentuk rasa
percaya diri terbangun dari kondisi mental. Secara psikologis memberi pengaruh
kuat pada seseorang untuk mempertunjukkan suatu hal. Kurangnya rasa percaya
diri mengakibatkan sebuah individu minder dan kerapuhan mental. Ini manhaj
yang perlu dijahui santri.
Masalah yang
akan timbul bila tidak percaya diri adalah adanya self concept yang negatif yang akan tertanam di dalam diri
individu. Dampaknya akan merasakan kekurangan percaya diri pada kemampuan diri,
tidak bangga dengan identitasnya sendiri. Santri, sebagai generasi yang
dibekali ilmu Allah tentu mengherankan bila tidak percaya diri dengan
kesantriannya, dan malah bertasyabbuh ria dengan mode dan fashion luar
yang belum tentu memberikan efek positif.
Kopyah Adalah “Aurat” Santri
Kopyah kami katakan “aurat” karena
arti aurat sendiri adalah sesuatu yang buruk, tidak menyenangkan, onar, aib,
tercela. Keburukan yang dimaksud tidak harus dalam arti sesuatu yang pada
dirinya buruk, tetapi bisa juga karena adanya faktor lain yang mengakibatkan “buruk”.
Tidak berkopyah bukanlah keburukan mutlak, karena Islam tidak mewajibkannya. Tetapi,
dalam konteks kesantrian dan lembaga pesantren, “aurat” (kopyah) dipahami
sebagai perkara yang tidak boleh ditinggalkan dalam rangka menjaga wibawa
muslim dan syiar pesantren. Sehingga, terbukanya “aurat” (kopyah) akan membawa
implikasi sosial yang negatif, tidak hanya bagi dirinya (santri) tapi juga
menyeret nama pesantren.
Bila santri
sudah merasa tidak percaya diri dan tidak malu meninggalkan identitasnya yang
berupa kopyah atau kesopanan berpakaian. Maka, lakukanlah dan tidak usah peduli
dengan apa yang akan dia lakukan. Fashna’ ma syi’ta perkataan dari Nabi
yang menggambarkan orang yang tidak punya rasa malu, cukup menjawabnya. Bila
perlu, sediakan tong sampah di depan pintu gerbang pesantren, sebagai tempat
santri membuang jubah, sorban, baju koko, dan kopyahnya ketika pulang liburan
ke rumah. Wallahu a’lam.
0 Response to "Mari Bersama-sama Melepas Kopyah"
Posting Komentar