Pesantren Idaman
Pesantren Idaman
Menelisik
Problematika Pesantren Terkini
Oleh : H. R. Umar Faruq*
Pesantren Salaf dan
Modern
Beberapa tahun
belakangan, beberapa tokoh masih berdebat tentang devinisi pesantren, dari
lontaran argumentasi beberapa pihak, pesantren sebagai budaya asli Indonesia tersimpulkan
dua idialisme esensinya. Salaf dan Modern. Sebagai poros tengah, satu ide “abu-abu”
dengan konsep pesantren salaf dengan “selipan” kegiatan formal (pesantren
modern). Idialisme terakhir ini nampaknya mulai menjadi “pilihan”.
Bagaimanapun, eksistensi
pesantren salaf dan pesantren modern adalah dua aspek yang mempunyai fragmen sejarah
dan kultur berbeda, ma la yudroku kulluh la yutroku julluh, adalah
idialisme yang kurang pas dijadikan asas sebuah pesantren. Hal ini akan
memunculkan sebuah opini, pesantren “setengah-setengah”.
Kitab Kuning Ciri Khas
Pesantren
Kadang, bahkan terlihat
sering para “senior pesantren” sering bermain dengan “intonasi bahasa luar”
layaknya kumpulan mahasiswa sedang rapat BEM, mereka tidak mengenalkan
identitas dirinya lewat gaya atau ciri khas bahasa kitab kuning. Demikian
sah-sah saja. Tapi pada satu sisi, prosa kitab salaf akan tidak popular di
pesantren.
Dari “permainan bahasa”
tersebut bisa teramsusikan sebuah manuver orientasi idiologi “naïf” dan
terkesan “pamer”. Menjadi jauh bila ditarik ke karakteristik sufistik yang seharusnya
jadi identitas pesantren. Karena semakin jauh bermain, semakin nalar santri akan
terseret pada sebuah “prinsip-prinsip luar”. Lagi-lagi acuan “gaya bahasa”
mereka mengarah ke luar, ujung-ujungnya dunia barat yang menjadi “referensi” utama
mereka. Ini disinggung oleh Ibnu Malik dalam alfiyahnya, Waqod amalu
litanasubin bila da’in.
Asrama Rehabilitasi
Kami pernah menemukan
plang nama “Pondok Pesantren Rehabilitasi” di daerah Balen Bojonegoro beberapa
waktu lalu, kalau itu benar, betapa pesantren telah tampil apik dan menjadi solusi
umat, sebuah sarana pendidikan yang bisa mebina beraneka ragam karakter anak
bangsa. Apapun latar belakangnya, pesantren diharapkan bisa “meluruskan” dan
membawa para santri ke jalan Allah.
Media Pesantren
Di pesantren familiar
menggunakan media cetak, seperti majalah, buletin dan mading. Pembinaan
disertai pelatihan atau seminar-seminar jurnalistik selayaknya dilaksanakan
dengan serius, karena santri yang bisa menulis dan berbahasa baik menurut tatanannya
adalah nilai plus pesantren. Menjadi tidak baik bagi nama pesantren bila ada
tulisan di website atau yang lain dari pesantren, ternyata tatanan bahasa
kurangnya baik. Malah, makin menguatkan pesantren berada dalam sebuah asumsi
“kolot”.
IT di pesantren salaf, bisa
perlu bisa tidak. Terkhusus akses internet, dilihat dari mudlarat dan
manfaatnya berbanding 95:5. Beberapa program di internet memang ada yang positif
dan bisa dimanfaatkan (5%), itupun harus dikelola oleh tenaga porposional dengan
pengawasan ketat pesantren, karena ada 95% mafsadah di dalamnya.
Pekerjaan Rumah
Sistem regenerasi yang dar’ul
mafasid adalah hal absolute didahulukan. Salah satunya pengajar, karena para
pengajar bersentuhan langsung dengan santri. Di samping kredibilitas
keilmuannya, metode pengajaran yang lebih konstruktif diperlukan. Karena
pribahasa, lain dulu lain sekarang, juga berlaku untuk santri. Tidak
cukup dengan jalbil masholih saja.
Kepekaan informasi luar,
agar bisa menfilter dan “mengarahkan” opini para muridnya perlu dipertimbangkan,
karena guru adalah aktor utama dalam pembentukan sugesti murid-muridnya. Sepertinya,
menjadi kebutuhan mendesak saat sebagian santri yang masih sekolah di pesantren,
justru kebingungan tentang masa depannya.
Asrama Bahasa Indonesia
& Asing
Sebagian pesantren ada
yang menerapkan asrama khusus bahasa asing, seperti Arab dan English. Tidak
sedikit santrinya benar-benar menguasai bahasa asing, khususnya bahasa Arab. Tapi
tidak sedikit pula santri justru kebingungan mencari lembaga kursus saat mau
melanjutkan pendidikannya ke luar negeri.
“Turun gunung”
mengawasi dan mengontrol serta mu’asyarah bil lughoh secara kontinu dan
“campur tangan” seluruh pihak pesantren tentu diperlukan. Tanpa itu, sulit
bahasa asing terealisasi, tidak cukup hanya sebuah lontaran-lontaran idialisme belaka.
Harapan asrama santri
yang benar-benar berbahasa Arab, Inggris dan Indonesia (Malah, untuk bahasa Indonesia
sendiri, santri kadang “minder” karena tak beretorika dengan baik) memang tidak
mudah, tapi juga tidak sulit. Al amru idza dloqo ittasa’a.
Pesantren Yang Bersih
Bisa dipastikan bahwa,
keadaan pesantren pada saat ini sudah bukan gotakan kayu dan angkring.
Namun sudah berupa gedung bertingkat dan lantai berpaving. Dimensi ini harus
disikapi cerdas guna menarik minat masyarakat ke pesantren. Salah satunya
dengan menjaga kebersihannya. Bisa dibayangkan opini luar akan semakin miring pada
pesantren ketika keadaannya kumuh dan tidak sehat. Padahal, an nadhofatu
minal iman adalah Hadits masyhur di kalangan santri. Ingatlah, fama ubiha
if’al wa da’ ma lam yubah.
Idialisme Kongkrit
Pesantren yang ada
sejak ratusan tahun lalu sudah selayaknya merumuskan “jalannya.” “Umur tua”
adalah cerminan langkah yang harus matang. Idialisme “orang-orang pesantren” diharapkan
menjadi corong untuk mengangkat eksistensi pesantren. Intropeksi pihak
pesantren atas tidak ada “pengakuan” oleh pemerintah perlu menjadi renungan. Bisa
jadi terindikasi dari “ulah” kita sendiri (seperti beberapa hal di atas).
“Menyalahkan” pihak
lain -lebih sering ke pemerintah- menjadi hiasan dunia pesantren dari puluhan
tahun lalu, secara esensi normative berimbas tidak bagus ke imejitas pesantren.
Pesantren akan menjelma menjadi “pemaksa pengakuan” dan komunitas yang “punya”
sensitifitas “tak berpendidikan”.
Perlu diapresiasi
ketika Sidogiri justru menancapkan slogan, “kami tidak minta diakui, tapi
mereka yang mengakui kami”. Manajemen dari konsep al akhdu bi jadidil ashlah
yang terakomodir dengan baik dan kesuksesan memperdayakan ribuan alumninya yang
tersebar di seluruh nusantara lewat mua’malahnya, membuat Sidogiri
sangat diperhitungkan tidak dari kalangan pesantren, malah berbagai universitas
nasional justru “ngaji” ke Sidogiri.
Sudah waktunya
pesantren tampil dengan bijak, “berwajah” santun menyejukkan (minjam istilah
TV9). Idialisme dan langkahnya diorientasikan kepada hal yang berdampak
positif. Jihad masa kini bukan mengangkat pedang. Tapi, mengeksplorasi
karya-karya kreatifitas dari pesantren untuk bangsa ini. Sumbangsih kepada
bangsa sudah pasti akan mengangkat citra pesantren di mata umum. Wallahu
a’lam.
0 Response to "Pesantren Idaman"
Posting Komentar