Sejarah Kopi dan Alun-alun Nganjuk
Ketika
saya dan teman berempat mengunjungi alun-alun Nganjuk, kami memilih warung
pojok untuk memesan kopi dan makanan ringan. Kemudian kami ngalor ngidul asyik
membicarakan apa saja, dari persoalan pakan ternak sampai soal politik luar
negeri. Biasalah, kalau pemuda lagi cangkruan, terkadang terlalu bersemangat.
Setelah
menyeruput kopi, salah satu teman saya nyeletuk, penuh semangat; “Konon, isitilah
kopi awal mulanya dikaitkan dengan legenda ‘kambing menari’. Yaitu, pada zaman
Euthopia, gembala kambing mulai tertarik dengan kopi sewaktu melihat
kambing-kambingnya menjadi lincah dan 'berjoget-joget' setelah memakan buah
kopi. Mungkin kandungan kafein.” Kami hanya mendengarkan penjelasannya yang
mirip dosen di kampus.
“Pun,
awal mulanya, biji kopi adalah makanan. Puak-puak di Afrika mencampur buah kopi
dengan bahan berlemak untuk dijadikan makanan dalam bentuk bebola. Kopi hanya
bisa tumbuh di kawasan tropika dan khatulistiwa. Konon, Hawaii adalah
satu-satunya Negara di Amerika yang mengeluarkan kopi. Sekarang, ngopi adalah
budaya yang ada di seluruh dunia. Menurut saya, badan kebudayaan PBB, United
Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) tidak bisa
nentuin ngopi milik budaya Negara mana..!!” dia semakim berapi-api!.
Teman
saya satunya tidak mau kalah, menceritakan detail awal mula kopi di di
Indonesia; “Hei, tahukah kalian semua. Kopi baru dikenal di Indonesia pada 1696
saat Walikota Asterdam, Nicholas Witsen memerintahkan komandan pasukan Belanda
di Pantai Malabar, Adrian Van Ommen, untuk membawa biji kopi ke Batavia. Jenis
biji kopi saat itu adalah kopi arabika yang dikembangkan di sebuah tempat di
timur Jatinegara, tanah pertikelir Kedaung yang kini lebih dikenal dengan
Pondok Kopi. Kemudian kopi arabika menyebar ke berbagai daerah di Jawa barat,
kayak Bogor, Sukabumi, Banten dan Priangan, hingga kemudian menyebar ke daerah
lain, seperti Pulau Sumatera, Sulawasi, Bali dan Timor. Lantas ‘kopi robuska’
mulai diperkenalkan di Indonesia di awal 1900-an untuk menggantikan kopi liberika
dan arabika yang hancur lantaran hama. Kopi Robusta yang lebih tahan terhadap
hama dianggap sebagai alternatif yang tepat terutama untuk perkebunan kopi di
daerah dataran rendah. Saat ini, produksi kopi di Indonesia menempati peringkat
ke empat terbesar di Dunia.” Yang lain hanya geleng-geleng dengan penjelasan
detailnya. Wow…
Tidak
mau kalah, teman saya yang lain menimpali, tentang kopi dalam Islam; “Biji kopi
baru ditemukan pada akhir abad ke-8 Hijriyah di Yaman, oleh salah satu tokoh
Islam penemu kopi Mukha. Kemudian menurut sejarah, Imam Abu Bakr Al-Idrus
adalah penyebar kopi di berbagai tempat.
Ada
syair arab terkenal berkenaan dengan kopi, yang artinya :
Wahai
orang-orang yang asyik dalam cinta sejati dengan-Nya
Kopi
membantuku mengusir kantuk
Dengan
pertolongan Allah
kopi
menggiatkanku taat beribadah kepada-Nya
di
kala orang-orang sedang terlelap
Ketika
semuanya diam, saya yang terakhir belum berkomentar, mengambil gelas cangkir tak
bergagang, mencicipi kopi kental hitam sambil seraya mengucap syukur atas
nikmatnya kopi: “De menulis di bukunya ‘Filosofi kopi’, ‘Walau tak ada yang
sempurna, hidup ini indah begini adanya’. Sesempurna apa pun kopi yang dibuat,
kopi tetaplah kopi, punya sisi hitam dan pahit yang tak mungkin disembunyikan.”
Semua
mengangguk dan kembali bercerita sambil menikmati kembali kopi hitam khas kota
Nganjuk.
Wallahu
a’lam.
4 Responses to "Sejarah Kopi dan Alun-alun Nganjuk"
Aku malah baru tau sejarah kopi dan makin penasaran sama legenda ‘kambing menari’
Sungguh kalimat terakhir yang bernas untuk menyelesaikan percakapan. Memang bagaimanapun, kopi punya sisi hitam dan pahit.
Pengin deh ngerasain kopi sana, eh jangan lupa mampir juga di blog saya kebun binatang Serulingmas
kadang semua ada sejarahnya ya
Posting Komentar