Mushala Tua




Allahu akbar..
Allahu akbar..
Suara serak lelaki tua itu kembali menggema, suara garaunya melengking dari kerongkongan, meliuk-liuk di antara dahan cemara tua menjulang yang memenuhi lereng gunung, bernada mengajak segera menghadap.
Mungkin lelaki ini adalah muazin abadi di musala tua itu, dua hari di lereng gunung Geger, dua hari itu pula aku selalu mendengar suara khasnya. Ia tampak menikmati lengkingan suara yang menurutku saat mendengarnya seperti suara-suara kematian ditabuhkan menyambut kedatangan malaikat Izrail, Musala ini bersama beberapa rumah panggung lain berada di atas puncak, bersembunyi di antara pepohonan besar pegunungan, konon merupakan tanah tertua pulau Madura.
Waktu terasa berhenti di pagi buta, dinginnya menusuk sum-sum tulang. Siapa pun akan malas untuk sekedar menampakkan wajah ketika kabut putih dan embun menyentuh kulit manusia yang tipis.
Hayya alassholah...
Hayya alassholah...
Puncak gunung Geger yang jauh dari keramaian tampak bisu. Dahan-dahan pepohonan besar nan tua terlihat enggan berdecit membuat suatu irama, hanya ada suara samar cicitan burung dan teriakan kera membentuk lengkingan-lengkingan Subuh. Masih tidak ada suara.
Aku membungkus badan dengan dua helai sarung menembus kabut putih dingin menuju suara seruan azan, musala panggung tua khas Madura yang terbuat dari kayu jati itu tampak tidak terawat. Aku mengambil wudu dari bak besar pinggir musala, harus melawan dingin air pegunungan Geger.
Assholatu khoirum minan naum...
Assholatu khoirum minan naum...
Naik kelanggar tua, aku merasa hawa yang hangat, mungkin disebabkan kayu dan tumbuhan alam lainnya yang menjadi bahan utama surau, tebakku. Setelah azan dan doa selesai, aku menoleh kebelakang, tidak ada suara manusia mendekat, tidak satupun.
Setelah salat sunah qabliyah, lelaki tua berbaju serba putih itu menoleh kearahku, wajahnya tampak tersenyum, aku tidak mengerti bagaimana arti senyumnya. Aku memilih salat di saf pertama bersama beberapa penduduk yang tiba-tiba muncul. Aku tidak merasa aneh, karena semua jamaah berjubah putih lengkap dengan surban yang melilit kepala mereka.
Ini hari terakhir aku berada di puncak Geger, setelah menunggu wirid Subuhnya yang panjang, aku menghampiri, berpamitan dan mencium tangan lelaki tua itu. Tidak ada kata yang keluar, aku hanya mendapat jawaban senyuman.
Menuruni seratus lebih anak tangga gunung Geger memang menguras tenaga, aku berhenti sejenak sambil menikmati pemandangan hijau, dari kejauhan aku melihat rumah adat Madura yang berbentuk meruncing pada sisi pinggir atap rumah yang kalau sekilas mirip dengan rumah adat Minangkabau. Yang membedakan adalah, atap rumah di sini masih menggunakan genteng atau jerami dan orang Minagkabau tidak. Di samping ujung atap ada ciri khas khusus, rumah adat Madura berbahan utama kayu jati dan pepohonan sekitar. Sehingga keawetannya masih terjaga sampai saat ini. Untuk dalam, kebanyakan rumah adat itu masih berlantai tanah. Aku mendengar cerita dari orang Madura bahwa, kalau lantai tanah lebih sejuk dan tentram. Menurut penduduk Madura, manusia dari tanah dan dengan tanahlah manusia akan menemukan kedamaian yang abadi.
***

Di ujung anak tangga terakhir, rumah penduduk sudah terlihat padat di sekitar lereng, gunung Geger yang menjadi tempat wisata membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitar lereng. Banyak warung, toko berdiri memanjakan para pelancong yang datang, salah satunya adalah warung Emak Rahmah, wanita separuh baya yang menjadi tempat menginapku selama melakukan penulisan sejarah lereng gunung Geger.
“Jadi pulang hari ini nak?” yang paling aku suka dari Madura adalah keramahannya, menjadi semacam adat di Madura bahwa tamu dijamu dan dimuliakan, aku ingat ketika bermain ke beberapa teman, tidak boleh pulang kalau tidak menghabiskan banyak hidangan dari ibunya. Walaupun beberapa hari bertemu dengan Emak Rahmah, kasih sayang aku rasakan seperti ibuku sendiri. Ah, aku akan selalu merindukan tanah ini.
“Iya Mak” jawabku masih membungkus badan dengan sarung.
“Sarapan dulu nak, itu kopinya juga sudah jadi” ah, Emak, kau sangat perhatian, aku memasuki warung kecil di depan rumahnya, ternyata ada beberapa bapak-bapak di dalamnya. Mereka tersenyum ramah kearahku, aku mencium tangan mereka, ibuku mengajarkan untuk sungkem pada orang yang lebih tua, beliau mengatakan itu kesopanan dan budaya Jawa. Kami kemudian terlibat perbincangan akrab, mereka menceritakan tentang adat Madura dan aku berkisah kehidupan kota, Emak Rahmah hanya tersenyum kearah kami sambil menyiapkan pesanan pengunjung warungnya.
“Benar yang kau ceritakan dek?” Bapak Kamil dan beberapa laki-laki paruh baya lainnya menatapku tajam dan serius ketika bermalam di puncak, di atas aku menemukan beberapa keramaian rumah penduduk lengkap dengan satu musalanya.
“Bahkan selama dua hari ini, aku mendengar azan dari atas di rumah Emak Rahmah” Emak Rahmah juga tampak tercengang!. Ada apa ini?. Aku tercekat, kopi panas buatan Emak Rahmah terasa sangat pahit ketika Pak Kamil menceritakan bahwa di puncak tidak ada musala dan penduduk yang tinggal.
“Di sana hanya ada empat makam, Syekh Sayid Ali Abu Nahas, Putri Kuning, Syekh Ali dan Syarifah Fatimah. Penduduk dan juru kunci makam hidup di bawah lereng gunung” lantas musala dan sosok tua berbaju putih itu?, aku tercekat. Apakah orang-orang yang aku temui adalah sosok penghuni makam?, tidak ada yang bisa menjawab. Aku meninggalkan desa lereng gunung Geger dengan pertanyaan-pertanyaan menusuk. Aku juga tidak tahu, dalam buku sejarah nanti akan menulis makam-makam di sana, atau mengisahkan tentang beberapa sosok berbusana Islam dan rumah panggung besar yang di dalamnya ada sosok perempuan berbaju panjang putih lengkap dengan manik-manik mutiara berkilauan dan mahkota kecil di atas kepalanya.
Wallahua’lam.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mushala Tua"