Hari Raya ke Sebelas




Sebut saja namaku Ilyas, anak pertama dari empat saudara, aku sangat bahagia bisa memiliki keluarga yang utuh, apalagi Abi (sebutan untuh ayah: Arab) adalah tokoh agama yang dihormati di desaku, Abi menjadi Kiai kampung dan memimpin Madrasah peninggalan kakek buyut. Seperti budaya Madura pada umumnya, tidak hanya keluargaku, aku juga merasakan penghormatan penduduk. Aku ingat, selalu menenteng kue, makanan ringan, atau uang sampek sepuluh ribu lebih (menurutku saat itu jumlahnya gede banget) sepulang sekolah diberi orang-orang.
Aku bisa memegang uang banyak saat hari raya tiba. Semua penduduk dan masyarakat desa sekitar bersilaturahmi ke Abi dengan membawa apa saja yang mereka punya, hasil bumi, kue-kue, dan makanan lain berjibun di rumah. Makanan-makanan itu kemudian dibagi-bagikan kembali oleh ibu merata ke tetangga sekitar. Sebelum pulang, tamu-tamu Abi pasti menghampiriku dan anak-anak Abi yang lain sambil memberikan uang, tentu, aku yang lebih tua mendapat jatah terbanyak.
“Kamu sangat beruntung...” begitu kata Samsuri, teman sebangku di kelas. Samsuri juga menyebut bahwa keluargaku sangat sempurna, ayahku yang tokoh agama, ibuku mempunyai stand tekstil besar di pasar kecamatan, dan kakekku adalah salah satu juragan tanah di Bangkalan Madura yang kaya raya.
Apalagi, Abi adalah satu-satunya orang yang mempunyai mobil pribadi di desa. Bahkan, di kecamatan Bangkalan Madura, tidak banyak yang mempunyai mobil keluarga. Saat itu, masyarakat Bangkalan Madura pada waktu itu masih banyak menggunakan delma (dokar: Madura) sebagai transportasi.
Saat aku berumur sepuluh tahun, kakek sakit berkepanjangan, komplikasi ginjal dan penyakit berat lain membuatnya sering masuk rumah sakit daerah ketika puskesmas kecamatan angkat tangan, satu persatu tanah kepunyaannya dijual oleh nenek sebagai penebus obat dan biaya rawat kakek.
Satu bulan kemudian, kakek meninggal dunia. Setelah empat puluh hari selametan meninggalnya kakek, aku mendengar sendiri nenek sambil menangis, kalau semua tanah dan harta warisan sudah ludes dijual untuk pengobatan kakek. Kakek hanya mempunyai dua anak, ibu dan pamanku. Dua anak nenek itulah yang sering menguatkan dan menghiburnya.
Dua tahun kemudian, Abi jatuh sakit. Aku tidak tahu apa penyakitnya, karena ibu tidak menjawab ketika aku sering mendesaknya.
“Doakan abi cepet sembuh ya nak..” hanya itu jawaban ibu sambil menagis dan memelukku erat sekali. Yang aku tahu, Abi sering diantar paman berobat, paman hanya bilang kalau tempat berobat Abi di rumah sakit dr. Soetomo Karang Menjangan Surabaya.
Dua minggu opname di rumah sakit, ada kabar yang mengagetkanku. Abi meninggal di mobil ambulan saat pulang ke Madura. Aku dan ketiga adikku yang masih kecil hanya bisa menangis dan memegang keranda yang membawa jenazah abi untuk dimakamkan.
Mulai saat itu, seperti tidak menemukan keceriaan lagi di keluargaku, stand tekstil milik ibu di pasar kecamatan dan mobil L-300 putih dijual, kata ibu untuk menutupi hutang biaya rumah sakit. Pamanku, saudara satu-satunya ibu juga tidak bisa berbuat apa-apa karena paman hanya guru Madrasah, bayaran mengajar hanya cukup untuk makan keluarganya.
Keinginanku meneruskan sekolah atau mengikuti saudara nyantri di Jawa otomatis sirna karena ibu tidak punya apa-apa lagi, nenek sudah tua. Apalagi, paman memutuskan ikut istrinya ke Pasuruan ketika tidak ada yang diharapkan lagi di Madura.
Lebih parahnya lagi, aku tidak tahu, siapa yang menyebarkan fitnah bahwa keluargaku sedang mendapatkan “adzab”, karena keluargaku yang dahulu terpandang dan kaya raya sekarang menjadi miskin dan Madrasah milik kakek dipercayakan kepada orang lain. Memelihara jin, babi ngepet, dan pesugihan lain sering dikaitkan kepada keluargaku. Ah, waktu itu, aku tidak mengerti kenapa tiba-tiba masyarakat yang dahulu mengelu-ulukan Abi begitu membenci keluargaku?.
Ibu yang tidak lagi mempunyai pekerjaan, pontang-panting mencari hutangan ke sana kemari untuk kebutuhan makan kami. Walau pun kadang masih ada beberapa warga yang simpati mengantarkan beras dan lauk ke rumah.
Karena tidak kuat dengan keadaan ekonomi, ibu secara mendadak berbicara di depan kami anak-anaknya yang masih kecil, kalau ia memutuskan akan mencari peruntungan bekerja sebagai menjadi TKI di Arab Saudi. Aku dan ketiga adikku masih tidak tahu istilah TKI waktu itu, hanya menangis saat tangisan nenek meledak dan merangkul ibu yang memandang kami dengan tatapan kosong.
“Tidak ada cara lain nak?” kata nenekku.
“Tidak ada lagi bu.. hanya ini, tidak ada lagi yang bisa diharapkan di Madura” ibu dan nenek menangis sambil berpelukan erat, kami anak-anaknya ikut-ikutan menangis sambil mendekat ke arah mereka.
“Yas, sebagai saudara tertua, kamu harus menjaga adik-adikmu nak. Ada nenek juga yang akan merawat kalian. Ingat nak, kamu harus kuat, harus tetap berbaiksangka kepada Allah. Kamu juga harus bisa menjadi contoh yang baik buat adik-adikmu” tidak ada lagi pembicaraan setelah itu, kami semua larut dalam tangis.
Saat berangkat ke luar negeri, kami sekeluarga mengantar ibu ke bandara Juanda Surabaya, keluargaku bersyukur sekali atas kebaikan Pak Haji Mahmud sahabat Abi yang juga tetangga kami sukarela meminjamkan mobilnya, jadi paman dan nenek hanya mencari hutangan untuk membeli bengsin saja.
“Ingat nak, Allah itu tidak tidur, Allah Maha Penyayang. Kamu harus sabar nak.. doakan ibu bisa membahagiakan kalian seperti saat ada Abimu dahulu..” tangisku meledak keras dengan ucapannya, ibu hanya memelukku erat dan menciumi pipi-pipiku yang basah dengan airmata sebelum ia berangkat.
***

Setelah paman kembali ke Pasuruan, nenek menjadi satu-satunya ayah sekaligus ibu bagiku dan ketiga adik-adikku. Aku putuskan untuk berhenti sekolah dan bekerja sebagai kuli atau kerja kasar lain di pasar, yang penting dapat uang, kebetulan pasar hanya setengah kilo meter dari rumah. Nenek melarang rencanaku, tapi aku tetap bersikeras memaksa, akhirnya nenek mengalah sambil menangis tidak tega.
“Kamu masih kecil Ilyas, masih dua belas tahun...” ucap nenek sambil tidak menoleh kepadaku, aku tahu ia menahan airmatanya.
“Aku tidak apa-apa kok nek, aku kuat lho..” nenek memandangku lekat. Aku melihat pipi keriput itu sudah basah dengan airmatanya.
Tak penapah mbah, kauleh kuat, kauleh bisa alakoh nekah.. (tidak apa-apa nek.. saya kuat, saya bisa bekerja menjadi kuli)” nenek tidak menjawab, hanya memelukku erat, erat sekali.
Alhamdulillah, ada beberapa penduduk yang pernah menjadi murid Abi dahulu membantu biaya sekolah Arul, adik pertamaku. Ketika mereka menawariku juga, aku tersenyum menolak halus, karena aku tahu mereka keluarga tidak berada.
Di pasar, aku menawarkan jasa sebagai kuli serabutan, mengangkat apa saja yang disuruh atau yang dibutuhkan orang-orang di pasar. Tidak peduli berapa uang dikasih oleh orang-orang yang memakai jasaku, lambat laun aku sudah terbiasa mengangkat barang berat sambil kulit terbakar matahari. Alhamdulillah, sehari kadang mendapat 10 ribu, cukup membeli beras dan lauk untuk nenek dan ketiga adikku.
Kalau musim hujan dan masyarakat banyak menanam padi, aku menjadi buruh tani di desa atau di kampung tetangga, tergantung siapa yang membutuhkan. Berangkat ke sawah jam 7 pagi dan pulang jam 12 siang. Kadang sehari dapat 20-30 ribu, lebih besar dari menjadi kuli di pasar, mungkin banyak orang di pasar tidak membutuhkan kuli anak-anak sepertiku, di sana sudah ada bebepa bapak-bapak yang menjadi kuli dengan tenaga yang lebih kuat tentunya.
Kalau bekerja di sawah, yang paling aku senang adalah sering mendapat makanan gratis dari para petani ketika selesai bekerja siang harinya, aku membungkus makanan pedesaan dengan menu sederhana itu, dengan daun pisang untuk dinikmati bersama nenek dan ketiga adikku di rumah.
***

Pada lebaran kedua setelah ibu bekerja di luar negeri, nenek memberi kabar kalau ibu mengirim uang, aku dan ketiga adikku senang bukan main, malah, Zida, adik bungsuku yang masih empat tahun berjingkrak-jingkrak kegirangan. Tapi, mendadak wajah nenek muram dan berkata, uang dua juta itu untuk melunasi hutang ibu ke Pak Rojak tetangga kami. Bahkan, nenek, lagi-lagi dengan tangisannya bilang kalau hutang ibu masih banyak. Ya Allah..
Baju baru atau paling tidak bisa menikmati sepotong ayam goreng pada hari raya, tampaknya kami harus menahannya dahulu. Setiap lebaran tiba, aku dan ketiga adikku hanya bisa menangis di atas kuburan Abi
“Andai masih ada Abi ya kak, pasti hari raya akan menyenangkan, ada baju baru, keliling kota Bangkalan bersama-sama dengan mobil dan bermain petasan” Arul adikku itu kemudian memandang kosong batu nisan ayah kami.
“Iya kak, sudah lama tidak makan masakan ladheh (masakan khas Madura pada hari raya ketupat) ibu kak” Anas, adik keduaku menimpali. Hanya Zida, adik bungsuku tidak bersuara, selama di kuburan, Zida hanya memandang lekat-lekat nisan abi.
“Tidak apa-apa dek, yang sabar ya, kita tunggu saja, mungkin lebaran mendatang ibu akan datang membawa baju baru dan makanan enak untuk kita” aku mencoba menghibur adik-adikku, walau aku sendiri merasa sangat sedih waktu itu. Waktu lebaran adalah waktu yang paling pahit bila aku ingat, saat dimana nenek dan aku menangis semalaman.
***

Allahu akbar
Allahu akbar
Allahu akbar
Lailahaillahu wallahu akbar
Allahu akbar wa lillahil hamd

Ini hari idul fitri kesebelas kalau aku menghitung sejak keputusan ibu bekerja di Arab Saudi. Arul sudah berseragam SMA, Pak Shomad dengan baik hati terus membiayai sekolahnya. Sedangkan Anas sudah kelas enam SD disekolahkan paman yang sekarang mengajar tingkat SMA di Jawa. Alhamdulillah, Zida juga bisa menikmati pendidikan SEdolah Dasar pertamanya karena aku bisa membiayai, gaji bekerja di salah satu mini market swasta yang berdiri di Kecamatan cukup. Walau pun tidak ada baju baru, bagiku dan ketiga adik-adikku, lebaran kali ini terasa bahagia karena nenek bilang hutang-hutang ibu sudah lunas, sebelas tahun bekerja selama itu pula kami di Madura tidak pernah merasakan hasil kerja sebagai TKI, karena uang kirimannya,langsung dibuat melunasi hutang.
Setelah salat ied di Masjid, aku kaget saat ada mobil di depan rumah. Nenek yang melihat kedatanganku bersama Arul dan Anas berlari memeluk kami sambil menangis.
“Ibu… Ibu kalian akan pulang, siang ini tiba di Surabaya” kata nenek dengan terbata-bata.
“Benar nek??” Arul sedikit berteriak. Nenek mengangguk meyakinkan. Tidak lama paman keluar dari rumah. Aku menghambur dan menangis di pelukannya.
“Iya nak, ibumu akan pulang” paman menepuk pundakku lembut. Sepanjang jalan ke Surabaya, kami tidak banyak bicara, aku merasa detak jantung ini sudah sangat cepat berdegup.
Di ruang tunggu bandara, aku melihat sosok berkerudung panjang ungu tersenyum lebar dan melambaikan tangan girang ke arah kami. Aku, Arul, Anas dan Zida secara refleks bersama-sama berlari sekencang mungkin melihat siapa yang datang. Kami menangis sejadi-jadinya didekapan ibu, kami tidak mempedulikan lalu-lalang orang yang melihat kami.
“Ibu pulang nak, ibu pulang...” aku hanya mendengar kata serak ibu itu.
Subhanallah, sosok yang setiap malam aku dan adik-adikku merindukannya sekarang duduk dekat sekali bersama kami di bangku tengah mobil. Saat pulang, di dalam mobil ibu hanya selalu merangkul dan menciumi pipi-pipi kami sambil menagis tanpa banyak bicara.
Aku dan ketiga adikku bersorak gembira karena ibu memutuskan tinggal di Madura tidak kembali ke luar negeri lagi. Apalagi, paman juga berkata akan tinggal di Madura karena masyarakat memintanya untuk memegang Madrasah Buyut. Ternyata ada kesalahfahaman antar pengurus Madrasah sehingga keluargaku di fitnah, masyarakat sadar dan meminta paman sebagai keluarga Abi untuk memimpin kembali Madrasah peninggalan kakek buyut kami.
Semua berucap syukur, ternyata uang kiriman dari ibu selama di Arab Saudi hanya separuh yang diberikan kepada nenek, separuhnya lagi ditabung oleh paman.
“Untuk modal membuka usaha tekstil keluarga kita nantinya”
Betapa rencana Allah begitu indah pada keluargaku, mungkin ini akan menjadi pelajaran bagiku juga keluargaku untuk selalu bersyukur dan tabah serta gigih bagaimanapun keadaan hidup. Aku sangat yakin bahwa, takdir dan sekenario-Nya akan selalu berputar dengan indah, tinggal bagaimana mengatkan hati di setiap putarannya.

Bangkalan, 12-12-2012

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Hari Raya ke Sebelas"