Ada Apa Dengan Kartini dan Bangsa Ini?


INI HARI KARTINI?
Karena bangsa ini tidak mencintai sejarah

Setiap tanggal 21 April, menjadi kebiasaan bagi masyarakat bangsa ini menggelar hari Kartini, seorang tokoh bernama lengkap Raden Adjeng Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun. Beliau tokoh wanita suku Jawa dan mendapat gelar Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.

Tidak mengurangi rasa hormat kepada Ibu Kartini dengan pemikirannya. Tapi, tidakkah pernah terlintas bahwa ternyata sejarah bangsa ini bila diselaraskan dengan sosok keberadaan beliau tidak begitu membanggakan?, bahkan gelar pahlawan sebenarnya mendapat pertanyaan melihat sepak terjang dan jasa kepada bangsa ini.
Ibu Kartini fenomenal ketika beliau dipingit (wanita dewasa Jawa yang akan kawin) menulis surat yang isinya mengungkapkan kegelisahan hatinya pada sahabatnya di Eropa. Mungkin Kartini merasa wanita di Eropa jauh lebih dihargai daripada di Jawa.

KEMANA ARAH SEJARAH BANGSA INI?
Tidakkah pernah berpikir kenapa tokoh wanita harus Kartini? Pada masa sebelumnya ada beberapa tokoh wanita luar biasa yang berjuang untuk Indonesia, sebut saja Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut. Padahal, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nurudddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu tahun 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun wanita.

Atau kita melihat dua tokoh kerajaan Majapahit, sebagai kerajaan yang pernah menguasai hampir seluruh kawasan Asia Tenggara hingga ke Formosa dibagian utara dan Madagaskar di barat, dalam silsilah kerajaan Majapahit pernah diperintah 2 dua perempuan masing-masing “Tribhuwanatunggadewi (1328-1350) M”. dan Kusuma Wardhani (1389-1429) M.

Lebih tua dari Majapahit, sejarah mengenal tokoh perempuan sebagai panutan yang sangat dihormati yaitu Fatimah Binti Maimun. Nama tokoh ini ditemukan dalam prasasti makam yang terletak di Leran (dekat Gresik) dalam prasasti tersebut selain nama, juga keterangan wafat yaitu tahun 1028 M. Kenapa tidak wanita-wanita pribumi yang luar biasa ini dijadikan simbol sebagai wanita Indonesia?.

1400 abad lalu, Allah berfirman: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin,, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (Al-Ahzab : 35)”

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan dari Ibnu Abbas r.a bahwa ayat diatas (AlAhzab:35) turun berkenaan dengan pertanyaan para wanita.

PRODUK BELANDA
Dari sini, saya lebih yakin bahwa gaung tentang Kartini sebenarnya “produk” Belanda lewat menterinya J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan Belanda. Tentang sebuah perjalanan bangsa ini kenapa harus “percaya” dan patuh begitu saja dengan tulisan-tulisan yang belum tentu benar adanya?.

Apalagi, saat buku dari Ibu Kartini muncul, gerakan emansipasi wanita di Indonesia menjamur dari akar sistem sekuler memisahkan nilai agama dari kehidupan, mengganti dengan pemikiran yang bersumber dari ideologi materialisme, rasionalisme, komunisme, kapitalisme, nasionalisme, sosialisme serta liberalisme. Semua pemikiran tersebut berangkat dari sikap penolakan wahyu dan mengingkari adanya Allah sehingga menuhankan diri sendiri dan membuat aturan sendiri. Emansipasi wanita sekarang lebih banyak memutarbalikkan kebenaran dan pemahaman yang dipengaruhi oleh kepentingan materi serta pemikiran social, jauh dari nilai agama, budaya, dan bahkan mempromosikan pemikiran atheis.

Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta Pustaka Sinar Harapan, 1990 cetakan ke-4), Harsja W. Bachtiar menulis sebuah artikel berjudul: Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut; tulis Harsja W. Bachtiar, doktor sosiologi Harvard University.

KARTINI HANYA INGIN BELAJAR
Sebenarnya dalam beberapa buku yang mengomentari tentang buku kumpulan surat Kartini, banyak menemukan kejanggalan kalau itu benar-benar ditulis oleh Kartini, beberapa penulis menyimpulkan bahwa Kartini hanya ingin menjadi guru dan berilmu, tidak lebih. Tidak seperti yang digaungkan oleh beberapa tokoh wanita sekarang, lihat bagaimana isi surat Kartini berikut ini:
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902].

KARENA KITA TIDAK MENCINTAI SEJARAH
Seperti biasa, warisan kolonial Belanda sampai sekarang masih dipertahankan dan menjadi acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, seperti peraturan perundangan-undangan dan hukum, maka kepahlawanan seorang R.A. Kartini ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab kita sebagai bangsa. Menjadi pertanyaan, apakah warisan Belanda itu kita pertahankan atau dikoreksi keberadaannya.
Banyak peneliti menyebutkan bahwa, secara umum surat-surat R.A. Kartini kepada teman-teman korespondensinya hanya diketahui dari buku J.H. Abendanon, dimana beberapa surat Kartini ditujukan kepadanya dan istrinya. Namun sampai sekarang, sebagian besar naskah asli surat-surat Kartini yang dijadikan bahan penulisan buku tersebut maupun jejak J.H. Abendanon sendiri sebagai penulis dan keturunannya belum ditemukan, sehingga ada dugaan sebagian surat-surat Kartini atau isinya direkayasa oleh J.H. Abendanon. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis. (http://www.wikimu.com/)

Diakhir tulisan, saya mengajak Anda semua untuk menuliskan surat untuk Ibu Kartini, surat yang benar-benar dari dalam hati, surat yang mengharapkan kehebatan bangsa ini, kehebatan budaya bangsa ini. Bismillah..

Assalamualaikum Ibu Kartini..
Semoga Allah memberikan tempat terindah padamu di surge-Nya, Ibu Kartini yang saya hormati, saya tahu kalau Anda ada sekarang, pasti Anda sangat bangga karena nama Anda sudah mendapat tempat istimewa di hati para wanita bangsa ini. Selamat ibu.. tapi, tahukan kau Ibu? Bahwa, emansipasi wanita Jawa yang kau harapkan sangat jauh berbeda dengan emansipasi wanita bangsa ini sekarang yang lebih banyak berkiblat kepada pemikiran sarjana barat.

Ah, maaf Ibu Kartini yang terhormat, saya tahu Anda masih mempunyai darah Madura tempat kelahiran saya. Namun, saya menjadi sedikit ragu untuk memperingati hari dan mengiyakan surat-surat yang Anda tulis. Saya ragu karena saya menghormati Anda sebagai gadis Jawa, dan budaya Madura dan Jepara dan keluarga Anda tidak menggambarkan isi surat yang terbit sekarang, jadi maaf saya meragukannya, walau tidak sepenuhnya, saya yakin ada pihak luar yang turut serta menyisipkan tulisan untuk merusak budaya Jawa.

Saya tahu, kau menjadi toleran setelah menikah dan tidak lagi menuliskan surat dan menentang adat Jawa, pernikahan telah mematangkan pemikiranmu ibu.. tapi, tahukah Anda bahwa ini tidak pernah dicatat oleh sejarah, bangsa ini tidak mau melihat bagaimana sejarah sebenarnya tentangmu ibu, bangsa ini hanya mengambil sekenanya kepada bangsa Belanda yang kita tahu mereka memeras darah bumi pertiwi ratusan tahun.

Ibu, nenek moyangmu adalah raja-raja Madura yang terkenal kealiman dan ilmu agamanya, bila bertemu beliau-beliau di alam sana, doakan kami, doakan bangsa ini, untuk lebih mencintai budaya sendiri, mencintai sejarah sendiri. Amin..
21 April 2014

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ada Apa Dengan Kartini dan Bangsa Ini?"