Dua Kalimat Syahadat sebelum Menghadap Allah


Kiai Haji Raden Asnawi Kudus

Tidak hanya dikenal gigih dalam amar ma’ruf nahi munkar, Kiai Haji Raden Asnawi juga sebagai pelopor berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) sebagai wadah mempertahankan generasi bangsa berakidah ahlu sunnah wal jamaah. Pada masa-masa revolusi kemerdekaan terutama menjelang agresi militer Belanda ke-1, KHR. Asnawi mengadakan gerakan ruhani dengan membaca sholawat Nariyah dan doa surat Al-Fil. Tidak sedikit pemuda-pemuda yang tergabung dalam lasykar-lasykar bersenjata berdatangan meminta bekal ruhaniyah sebelum berangkat ke medan pertempuran melawan penjajah.

Kota Santri dan Kretek Kudus, berkembang dan dibangun oleh Sunan Kudus (Sayyid Ja’far Shodiq) dengan rentetan historisitas yang berpusat pada kerajaan Islam pertama di Jawa (Demak). Hal ini ditengarai dari inskripsi batu nisan yang ada di atas mihrab Masjid al-Aqsha Menara Kudus.
Komplek pemakaman Sunan Kudus di belakang Masjid Al Aqsha, adalah saksi dari sederetan makam beberapa tokoh istimewa yang tidak hanya berjasa kepada bangsa, tapi juga perjuangan dan kegigihan menegakkan panji Islam dan kemerdekaan bumi pertiwi dari penjajahan Belanda -khususnya daerah Jawa Tengah- salah satu pusatnya berada di sana. Salah satunya adalah Raden Asnawi. Salah seorang Ulama keturunan ke-14 Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq) dan keturunan ke-5 dari Kyai Haji Mutamakin seorang waliyullah kramat di desa Kajen Margoyoso Pati, yang hidup pada zaman Sultan Agung Mataram.
Beliau lahir pada hari Jum’at Pon, kisaran tahun 1861 M (1281 H) di daerah Damaran lahir seorang bayi yang diberi nama Raden Ahmad Syamsyi. Putra dari pasangan H. Abdullah Husnin dan Raden Sarbinah ini lahir di sebuah rumah milik Mbah Sulangsih.

Masa Remaja
Sejak kecil beliau diajar oleh orang tuanya sendiri. Setelah pindah ke Tulungagung, beliau diajarkan berdagang sejak dini. Dalam rangka untuk mewujudkan putra yang soleh dan mempunyai keilmuan dan karakter akhlakul karimah mulia, pada usia 15 tahun beliau kemudian dimondokkan di pondok pesantren Mangunsari Tulungagung, kemudian pindah mengaji kepada KH. Irsyad Naib Mayong Jepara.

Pergantian Nama
Pada usia 25 tahun, beliau menunaikan ibadah haji. Sepulangnya dari haji pertamanya ini, nama Raden Ahmad Syamsi diganti dengan Raden Haji Ilyas. Nama Ilyas ini kemudian diganti lagi dengan Raden Haji Asnawi, setelah pulang dari menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya. Nama terakhir inilah yang menjadi terkenal. Masyarakat memanggil beliau dengan nama Kiai Haji Raden Asnawi (KHR. Asnawi).

Berjalan Kaki 18 km untuk Mengajar
Setelah datang dari Mekah pada haji pertama, Raden Asnawi mulai mengajar dan melakukan tabligh agama. Di antaranya, pada setiap hari Jum’ah Pahing sesudah shalat Jum’ah beliau mengajar ilmu tauhid di Masjid Muria (Masjid Sunan Muria) yang berjarak 18 Km dari kota Kudus, dan ini dilakukan dengan jalan kaki. Beliau juga berkeliling mengajar di masjid-masjid sekitar kota pada saat subuh.
Pengajian Rutin
Secara khusus KHR. Asnawi mengadakan pengajian rutin, seperti hataman Tafsir Jalalain dalam bulan Ramadlan di pondok pesantren Bendan Kudus. Hataman kitab Bidayatul Hidayah dan al-Hikam dalam bulan Ramadlan di Tajuk Makam Sunan Kudus. Membaca kitab Hadist Bukhari yang dilakukan setiap jamaah fajar dan setiap sesudah jamaah subuh selama bulan Ramadhan bertempat di Masjid al-Aqsha Kauman Menara Kudus, sampai KHR. Asnawi wafat, kitab ini belum hatam, kemudian diteruskan oleh al-Hafidh KHM. Arwani Amin sampai hatam.
Keikhlasan dan kedalaman ilmu beliau patut untuk di contoh generasi selanjutnya.  Bagi masyarakat Kudus dan sekitarnya, KHR. Asnawi hingga kini masih selalu diingat melalui karya populernya, Shalawat Asnawiyyah, Soal Jawab Mu’taqad Seket, Fasholatan Kyai Asnawi (disusun oleh KH. Minan Zuhri), Syi'ir Nasihat, Du’aul ‘Arusa’in, dan syiiran lainnya. Malah,  diajarkan di pengajian-pengajian pesantren dan masjid-masjid Kudus dan sekitarnya hingga saat ini.

Mukim di Mekah
Saat di Mekah, KHR. Asnawi tinggal di rumah Syeikh Hamid Manan (Kudus). Namun setelah menikahi Nyai Hj. Hamdanah (janda Almaghfurlah Syeikh Nawawi al-Bantani), KHR. Asnawi pindah ke kampung Syami’ah. Dalam perkawinannya dengan Nyai Hj. Hamdanah ini, KHR. Asnawi dikaruniai 9 putera. Namun hanya 3 puteranya yang hidup hingga tua. Yaitu H. Zuhri, Hj. Azizah (istri KH. Shaleh Tayu) dan Alawiyah (istri R. Maskub Kudus).
Selama bermukim di Tanah Suci, di samping menunaikan kewajiban sebagai kepala rumah tangga, KHR. Asnawi masih mengambil kesempatan untuk memperdalam ilmu agama pada ulama terkemuka, baik dari Indonesia (Jawa) maupun Arab, baik di Masjidil Haram maupun di rumah. Para Kiai Indonesia yang pernah menjadi gurunya adalah KH. Saleh Darat (Semarang), KH. Mahfudz (Termas), KH. Nawawi (Banten) dan Sayid Umar Shatha.
Selain itu, KHR. Asnawi juga pernah mengajar di Masjidil Haram dan di rumahnya, di antara yang ikut belajar padanya, KH. Abdul Wahab Hasbullah (Jombang), KH. Bisyri Sansuri (Pati/Jombang), KH. Dahlan (Pekalongan), KH. Shaleh (Tayu pati), KH. Chambali Kudus, KH. Mufid Kudus dan KHA. Mukhit (Sidoarjo). Di samping belajar dan mengajar agama Islam, KHR. Asnawi turut aktif mengurusi kewajibannya sebagai seorang Komisaris SI (Syariat Islam) di Mekah bersama sahabat-sahabatnya.

Huru-hara China dan Penjara
Ketika pulang ke Indonesia tahun 1916 M, Raden Asnawi bersama teman-temannya mendirikan Madrasah Al Qudsiyah, kemudian beliau melopori pembangunan Masjid Menara bergotong-royong bersama santri dan masyarakat. Di tengah-tengah melakukan pembangunan masjid itulah terjadi huru-hara dengan orang China pada tahun 1918 M.
Ketika membangun siang malam, orang-orang Cina mengadakan pawai yang akan melewati depan masjid. Para Ulama mengirim surat kepada pemimpin Cina, agar tidak menjalankan pawai lewat depan masjid Menara. Permintaan itu tidak digubris. Pawai tetap digelar. Ironisnya, dalam rentetan pawai itu, menampilkan adegan yang menghina Islam. Di mana ada dua orang Cina yang memakai pakaian haji dengan merangkul seorang wanita yang berpakaian seperti wanita nakal. Orang awam menyebutnya Cengge.
Kericuhan tidak bisa dielakkan, insiden Cina-Islam di Kudus ini dikenal dengan huru hara Cina, terjadi. Dalam kejadian tersebut, ada pihak ketiga yang mengambil kesempatan dengan mengambil barang-barang orang Cina. Dan tanpa sengaja, ada yang merusak lampu gas pom yang menimbulkan kebakaran beberapa rumah, baik milik orang Cina maupun orang Jawa.
Kejadian inilah yang berbuntut penangkapan terhadap KHR. Asnawi dan rekannya KH. Ahmad Kamal Damaran, KH. Nurhadi dan KH. Mufid Sunggingan dan lain-lain, dengan dalih telah mengadakan pengrusakan dan perampasan oleh pemerintah penjajah. Mereka dimasukkan ke penjara selama 3 tahun.
Tidak sekali saja Raden Asnawi di penjara. Pada zaman penjajahan Belanda, beliau sering dikenakan hukuman denda karena pidatonya tentang Islam serta menyisipkan ruh nasionalisme dalam pidatonya. Pada masa pendudukan Jepang, Raden Asnawi pernah dituduh menyimpan senjata api, sehingga rumah dan pondoknya dikepung oleh tentara Dai Nippon dan dibawa ke markas Kempetai di Pati.

NU dan Nasionalisme
Kelahiran NU Organisasi terbesar di Indonesia ini tidak luput dari jasa Raden Asnawi. Pada tahun 1924 M. beliau ditemui KH Abdul Wahab Chasbullah Jombang untuk bermusyawarah guna membentengi pertahanan akidah Ahlussunah wal Jamaah dan menyetujui gagasan tamu yang pernah belajar kepadanya ini. Selanjutnya, bersama-sama dengan para Ulama yang hadir di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H./31 Januari 1926 M. KHR. Asnawi turut membidangi lahirnya jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU).
Semasa hidupnya, Raden Asnawi berjasa besar bagi Islam dan bangsa Indonesia melalui keterlibatannya dalam organisasi pergerakan kemerdekaan. Selain itu, beliau juga menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional dari berbagai kalangan, seperti Semaun, H Agus Salim dan HOS. Cokroaminoto.

Dua Syahadat Terakhir
Kabar wafatnya KHR. Asnawi yang disiarkan di Radio Republik Indonesia (RRI) Pusat Jakarta lewat berita pagi pukul 06.00 WIB, memang tidak hanya meninggalkan kesedihan di keluarga dan masyarakat Kudus dan sekitarnya. Namun, meninggalnya beliau adalah kehilangan bangsa ini atas sosok panutan dan pelita umat.
KHR. Asnawi wafat pada Sabtu Kliwon, 25 Jumadil Akhir 1378 H. bertepatan tanggal 26 Desember 1959 M. pukul 03.00 WIB. KHR. Asnawi meninggal dunia dalam usia 98 tahun, dengan meninggalkan 3 orang istri, 5 orang putera, 23 cucu dan 18 cicit (buyut). Dan dua kalimat syahadat menutup usia seorang Ulama besar dan salah seorang pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama pada usia 98 tahun. Al fatihah. (dari berbagai sumber).


H. R. Umar Faruq

(Dimuat di Majalah Langitan edisi 52)


Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "Dua Kalimat Syahadat sebelum Menghadap Allah"

Kenan Fakhrur Rozi mengatakan...

Assalamu'alaikum? Saya mau mencari silsilah keluarga saya yg katanya mbah buyut saya masih keturunan dari KHR Asnawi kudus. Nama kakek buyut saya ialah Haji Abdul Wahid kudus dan istri beliau bernama Nyai Senema sumenep madura. Kira2 panjenengan bisa bantu tidak untuk menelusuri jalur nasab saya tersebut. Terima kasih