Menaraku, Menara Langit
Kang Ali tampak
terburu-buru ketika lonceng tanda jamaah menggema ke seantero pondok. Kang
Tohir terpingkal-pingkal melihat sarung Kang Ali yang hampir saja melorot
ketika tubuh suburnya lari tak beraturan. Setelah sholat nafas Kang Ali masih
terlihat ngos-ngosan, ia kemudian mendekat ke arahku sambil menenteng kitab
karya Al Ghazali yang akan dibalah
setiap dhuhur di pesantren kami. Kau
tampak sangat ganteng sekali temanku. Bisikku dalam hati melihat gaya jalan
Kang Ali layaknya tokoh agama besar.
“Assalamualaikum
ustadz..” senyumnya dengan senyum khas
“Waalaikumsalam, husst
kagak usah pakek ustadz..!!” aku meninju pelan tubuh gemuknya ketika ia
berlagak sangat sopan seperti akan sowan ke Kiai di depanku. Ia memasang wajah
menyerah ketika aku kepalkan tangan di depannya.
“Okelah, peace..” katanya
mengangkat dua jari tangan.
“Eh, pesantren kita kan
identik dengan menaranya ya?” aku hanya mengangguk atas pertanyaannya, aku
membenarkan karena di setiap kegiatan pasti tidak meninggalkan menara unik
kotak berbentuk kubus itu.
“Masjid menara di
pesantren kita memang menjadi sebuah simbol yang tidak bisa dihilangkan”
tambahnya lagi. Saat menoleh, aku melihat wajahnya mengarah ke atas, ada rasa
kagum yang bisa dilihat dari matanya.
“Ceritain tentang asal
usul menara dong..” pintanya.
“Em, seingatku menara
adalah salah satu unsur arsitektural Islam yang dianggap penting pada bangunan
Masjid. Keberadannya adalah kebutuhan untuk panggilan sholat, suara muadzin
dari atas menara diharapkan dapat di dengar dari jarak jauh..” aku berusaha
mengingat-ngingat sejarah menara yang aku baca di perpustakaan tadi.
“Terus-terus..” Kang Ali
tampak semangat.
“Pada masa awal
perkembangan, Islam belum mengenal bangunan menara pada Masjid. Masjid Quba dan
Masjid Nabawi yang dibangun Rasulullah Saw tidak dilengkapi dengan menara”
“Ah, masak?” Kang Ali
tampak penasaran.
“Ya… ya… bisa jadi..”
kataku menirukan perkataan siswa di kuis salah satu televisi swasta. Bibir sahabatku
itu manyun.
“Begini, menurut sarjana
Inggris terkemuka yang mengkaji arsitektur Islam, KAC Creswell, Masjid Quba yang dibangun
Nabi Muhammad Saw di Madinah tak dilengkapi dengan menara.
Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam 4 disebutkan, semasa Rasulullah Saw hidup,
panggilan untuk shalat dikumandangkan dari atap rumah beliau di Madinah.
Begitu pula pada era kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, Masjid-masjid yang
dibangun belum bermenara. Hanya saja ada semacam ruang kecil di puncak teras
masjid sebagai tempat muadzin mengumandangkan adzan”
“Lanjutkan ketua
perpustakaanku..” imbuhnya makin mendekatkan badannya.
“Ada banyak versi tuh. Laman
Wikipedia menyebutkan menara pertama kali dibangun di Basra pada tahun 665 M, sewaktu
pemerintahan Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan. Namun menurut
Creswell, jejak menara di dunia
Islam pertama kali ditemukan di Damaskus mulai tahun 673 M,
ini 41 tahun setelah Nabi Muhammad Saw wafat. Ensklopedia Britanicca
menyebutkan, menara masjid tertua di dunia terdapat di Kairouan, Tunisia yang
dibangun antara tahun 724 M hingga 727 M. Meski begitu, beberapa sarjana sejarah
mengungkapkan, di rumah Khalifah Abdullah ibnu Umar berdiri sebuah tiang. Dari
atas tiang itu dikumandangkan adzan sehingga bisa terdengar sampai jauh. Konon,
tiang itu masih berdiri hingga abad ke-10 Hijriyah”
“Dikau memang tau banyak
sob” dua jempol sahabatku itu terangkat tinggi.
“Dengan rajin membaca dan
ke perpustakaan..” jawabku sekenanya.
“Terus, tentang Masjid
Nabawi Madinah gimane, apa dulu kagak pakek menara?” Kang Ali tampak makin
serius, ia kini duduk bersila dan menatapku tajam.
“Sebentar, aku coba ingat
dulu ya.. soalnya panjang ceritanya” Kang Ali masih tidak bergerak, ia tampak
duduk serius, namun setelah sekian lama aku belum memberikan penjelasan, ia
tampak gelisah. Mungkin ia khawatir kalau Kiai yang mbalah rawuh.
“Oke, saya ingat, ada dua
versi yang aku temukan di buku sejarah yang aku baca kemarin. Yang pertama,
menara Masjid Nabawi dibangun oleh Khalifah Umar bin Abdul Azis sekitar tahun
703 M atau 91 H. Menara itu ada empat di
setiap sudut Masjid Nabawi yang tingginya mencapai sembilan meter. Yang kedua,
Khalifah Al Walid I pada tahun 706 M, memutuskan memugar Masjid Nabawi
Madinah dan membangun menara di sana. Setelah setahun sebelumnya 705 M,
khalifah dari Bani Umayyah ini memugar bangunan bekas basilica Santo Jhon
menjadi Masjid besar, yang kemudian menjadi Masjid Agung Damaskus. Kalau kita
lihat bukti sejarahnya, bentuk menara pada Masjid Nabawi dan menara utara
Masjid Damaskus sangat mirip, terutama pada ornamen kubah puncak
menara yang ramping. Seingat saya gitu sih..” jawabku menjelaskan. Kang Ali
hanya manggut-manggut.
“Kalau begitu, asal-usul
dari menara sendiri gimana dong?” Ah, pertanyaan yang membuatku harus memutar
memori lagi.
“Duh… sebentar ya, rada
lupa, habis dari tadi liat pean sih, radar otakku jadi kehilangan sinyal..”
kataku asal.
“Apa?, emang gua cowok
apaan???” Kang Ali bersungut-sungut, aku menangkupkan kedua tangan sebelum
pemuda bertubuh besar ini mengamuk.
“Okelah, Menara
merupakan salah satu ciri khas bangunan Byzantium. Dalam Ensikopedia Islam
terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve (IBVH) menyebutkan, asal-usul menara sebagai
sebuah bangunan arsitektural mungkin didasarkan pada campuran beragam sumber.
Ada yang menyebutkan berasal dari menera api simbolis Zoroaster hingga menara
pengawas Romawi, mercu suar pantai, hingga gereja. Yang jelas, menara sudah ada
sebelum datangnya Islam pada zaman Nabi Muhammad Saw”
“Oh iya, pean pernah
menulis tentang Eropa. Masjid di sana bagaimana?” Kang Ali tampaknya tidak ada
habisnya untuk bertanya.
“Wah.. Diakau seperti
dosen kuliah yang menguji skripsi mahasiswanya” komentarku. Kang Ali hanya
nyengir.
“Kuliah gratis pada
seorang penulis” timpalnya kemudian.
“Dasar lo, temenin aku di
perpus dong kalau gitu.. Em, Masjid-masjid yang ada di Eropa secara umum
mengikuti atau terinspirasi pada arsitektur Negara Muslim atau Timur Tengah.
Misalnya, Grande Mosquee de Paris
atau Masjid Raya Paris, bentuk menara masjid kebanggan Muslim Kota Paris ini
mirip dengan menara Masjid Hassan II di Casablanca, Maroko. Menaranya berbentuk
segi empat dan dilapisi keramik hijau toska ini mengadopsi kaidah Mazhab
Maliki. Menara segi empat juga banyak ditemui pada bangunan masjid di wilayah
Mediterrania. Salah satunya adalah menara Masjid Agung Sevilla (yang disebut
Menara Giralda). Menara ini pernah berfungsi sebagai menara lonceng katedral
seiring dengan lahirnya kekuasaan Kristen di Spanyol. Masjid Schwetzingen di
Jerman, memiliki menara silinder dengan diameter silinder yang semakin mengecil
di puncak menara. Menara seperti ini banyak ditemui pada bangunan-bangunan
masjid di Negeri-negeri yang pernah dikuasai oleh Kesultanan Turki Utsmani
(Ottoman). Apalagi ya..” aku memeras otak sedang Kang Ali tidak bergeser
sedikitpun.
“Oh iya, selain bentuk menara klasik, menara segi empat, dan
menara silinder, banyak juga di antara bangunan menara yang mendepankan
perpaduan ketiga bentuk tersebut ataupun membentuk pola desain baru yang belum
pernah ada sebelumnya. Masjid Agung Roma di Italia misalnya, memiliki sebuah
menara berbentuk pohon palem setinggi 40 meter. Masjid Banya Bashdi di Kota
Sofia, Bulgaria, terkenal karena menara yang tinggi menjulang ke langit yang
dimilikinya. Jika dilihat sekilas, bentuk menara Masjid Banya Bashi ini seperti
sebuah pensil tulis. Penggunaan batu bata merah membuat bangunan menara ini
terlihat mencolok di antara bangunan-bangunan tinggi lainnya di kawasan
Boulevard Maria Luiza yang berada di pusat Kota Sofia. Yah, itu yang saya ingat
kawan..” aku menghela nafas berat, mengingat sejarah atau ilmu pengetahuan memang
pekerjaan otak yang tidak mudah.
“Terus?” Kang Ali makin
serius
“Apanya?” selaku
“Menara di masjid
pesantren kita ini?”
“Waduh… maaf kawan, aku
tidak tahu bagaimana asal-usul menara masjid kita, karena aku mondok masjid dan
menaranya ini sudah ada. Lebih baik dikau tanya kepada santri yang lebih
senior” jawabanku tampaknya membuat Kang Ali sangat tidak puas. Wajahnya
seketika lesu. Ia menunduk, sorot matanya terlihat kecewa. Tapi, sebelum
mulutnya mengucapkan perkataan, kami langsung beranjak ketika Kiai rawuh.
Aku juga Kang Ali berangsek ke depan sambil menenteng Ihya’ Ulumudin. Sebelum
memilih tempat duduk untuk memaknai kitab kuning kami masing-masing, aku
berbisik di telinga Kang Ali.
“Yang pasti, Menara
Pesantrenku, Menara Langit” kulihat Kang Ali tersenyum sangat sumringah ia
malah mengepalkan tangan layaknya para pejuang kemerdekaan 1945 lalu.
H. R. Umar Faruq
Ketika
kekuatan karakter identitas sangat menentukan.
(Dimuat di Majalah Langitan edisi 52)
0 Response to "Menaraku, Menara Langit"
Posting Komentar