Lentera Ilmu dari Kota Santri Sidoarjo
KH. Abdul Mujib Abbas
Sosoknya
ibarat pohon yang tak henti memberikan kemanfaatan. Daun keteladanannya yang rindang
tempat berteduh masyarakat dari silau dunia, kokoh keistiqomahannya dan rindang
kesehajaannya juga menyejukkan hati masyarakat yang panas karena banyaknya
maksiat, buah keilmuannya yang segar adalah penyegar bagi kehausan dan
kekeringan ilmu masyarakat Sidoarjo dan sekitarnya.
Kiai
Abdul Mujib lahir pada hari jumat tanggal 1 syawal 1352 / 10 Oktober 1932 M di
Buduran Sidoarjo. Sosok Ulama lentera yang menjadi lentera ilmu di Sidoarjo
keberhasilan dari ketulusan didikan Kiai Abbas yang membentuk karakter Kiai
Mujib muda gigih berjuang lewat gerbang pesantren kelak.
Pada
masa kecil, Kiai Mujib dibimbing secara intensif oleh kedua orang tuanya, Kiai
Abbas dan Nyai Khodlijah, baik pengajaran Alqur’an dan pembelajaran kitab
kuning, seperti Sullam Taufiq, Sullam Safinah, dan beberapa kitab
salaf lainnya. Pemdalaman dasar Islam dari literature Ulama salaf itulah yang
digunakan Kiai Abbas mendidik Kiai Abdul Mujib muda. Diharapkan menjadikan
benteng kuat pada diri anaknya untuk menjadi generasi tangguh memegang estafet
kepemimpinan Al Khoziny di masa akan datang. Proses penuangan ilmu sampai usia Kai
Mujib 17 tahun ini, berjalan dengan baik karena Kiai Mujib ternyata pemuda yang
sangat haus ilmu.
Dalam
usia 18 tahun, tepatnya 1950 Kiai Mujib nyantri di Darul Ulum Rejoso asuhan
Kiai Romli At Tamimi, Mursyid Thariqoh Al Qodiriyah wan Naqsyabandiyah Jombang.
Setelah satu tahun setengah, beliau pindah ke pesantren Bata-bata Pamekasan
yang pada saat itu diasuh oleh Kiai Abdul Majid Hamid. Di Pulau Seribu Satu
Langgar ini Kiai Mujib terkenal dengan ketekunan belajarnya, bahkan ia
dipercaya oleh gurunya Kiai Abdul Majid untuk menggantikan pengajian Jam’ul
Jawami’ atau Ihya’ Ulumudin ketika beliau sedang udzur. Kiai Abdul
Majid juga memberikan forum khusus kepada Gus Mujib (sapaan akrab Kiai Mujib
waktu muda di Bata-bata) untuk mengajarkan para Gus atau Lora (bindereh-Madura).
Ini menunjukkan kualitas ilmu Gus Mujib tidak diragukan lagi.
Pada
usia 23 tahun bertepatan pada tahun 1955 beliau nyantri ke MUS Sarang asuhan
Kiai Zubair Dahlan. Kai Mujib juga pernah menjadi lurah pondok (ketua pondok)
MUS. Di MUS Kiai Mujib sering bangun jam 2 malam, tidak untuk langsung
beribadah, tapi mengambil air, agar gurunya Kiai Zubair dan para santri yang
lain mudah mengambil wudlu’ ketika subuh. Ini tak lain karena jiwa khidmah Kiai
Mujib kepada guru dan pecinta ilmu sangat tinggi. Dan karena kondisi daerah
Sarang yang berada di pesisir pantai Utara, sulit menemukan air tawar.
Di
MUS Sarang inilah Kiai Mujib menelurkan karya ilmu yang patut dibanggakan, Syarah
Jawahirul Maknun, Syarah Waraqad, Qawaidul Fiqhiyah adalah tiga
kitab yang menjadi pelajaran para santri diberbagai pesantren merupakan beberapa
karya tulis beliau yang berbahasa Arab, dan tanda kedalaman dan keluasan ilmu
Kiai Mujib.
Lima
Tarekat Al Khoziny
Sejenak
penulis terkesima dengan metode thariqah Al Khoziny yang konon warisan dari
sesepuh pesantren. Tentang riyadhoh santri yang kemudian menjadi simbol dan
mengakar di Al Khoziny untuk diorientasikan dalam seluruh keseharian mereka.
Namun, dalam buku Biografi Kiai Abdul Mujib Abbas, Teladan Pecinta Ilmu yang
Konsisten, Pustaka Idea Juni 2012, dikatakan bahwa, Lima Tarekat itu tidak
bisa dilepaskan dari sosok Kiai Abdul Mujib, karena dari sosok beliaulah lima
tarikat ini bisa dilihat, ibarat Kiai Mujib adalah cermin dari lima tarekat
ini, di samping beliau sering menyampaikan dalam berbagai forum atau para
santri dan alumni betapa pentingnya praktek langsung dari Lima Tarekat ini.
Yang
pertama : Belajar atau Mengajar, dalam hal ini beliau sering berkomentar,
كن
عالما او متعلما او مستمعا او محبا ولا تكن خامسا غادرا فتهلك
“Jadilah
kamu seorang yang alim / mengajar, orang yang belajar, orang yang mendengar,
orang yang cinta kepada hal tersebut. Janganlah kamu menjadi orang yang ke
lima, yang selalu melanggar, maka –dengan itu- kamu akan rusak.”
Yang
ke dua : Shalat berjamaah, Kiai Mujib dikenal sangat istiqomah dalam berjamaah
di langgar pesantren bersama santri. Bahkan waktu sakit pun beliau tidak
meninggalkan sholat berjamaah. Di Al Khoziny juga menjadi kewajiban bagi
seluruh santri untuk ikut berjamaah. Saking pentingnya jamaah, menurut cerita
yang berkembang di Al Khoziny, pada masa Kiai Abbas para santri yang melanggar
tidak berjamaah akan mendapatkan sangsi batin, yakni sulit menerima ilmu yang
disampaikan oleh Kiai Abbas, walaupun santri yang melanggar itu mengikuti
pengajian di dekat Kiai Abbas.
Yang
ke tiga : Membaca Alqur’an. Kiai Abdul Mujib selalu mengawal santrinya setiap
sholat subuh untuk mengaji Alqur’an kepada beliau. Pembelajaran dari santri
kepada guru langsung inilah yang menjadi magnet santri Al Khoziny untuk mengisi
hari-harinya dengan Alqur’an. Apalagi dibekali oleh ilmu tajwid Kiai Mujib
setiap subuh. Yang ke empat : Sholat Witir dan yang terakhir Istiqomah.
Amaliyah sunah Nabi dan keistiqomahan Kiai Mujib sudah menjadi pemandangan
keseharian di pesantren, sakit berat tidak mengahalangi ketekunan beliau dalam
mengajar dan mengaji.
Tiga
Dimensi Nabawiyah
“Sebagai
wiratsah nabawiyah, beliau mewarisi apa yang datang dari Nabi Muhammad
Saw, wiratsah ilmiyah (mewarisi ajaran Nabi), wiratsah amaliyah
(mewarisi tingkah laku Nabi), wiratsah khuluqiyah (mewarisi akhlak dan
kepribadian Nabi) dan wiratsah jihadiyyah (mewarisi perjuangan Nabi).” Komentar
Dr. KH. Abdullah Syamsul Arifin Arifin, M.HI pengasuh pesantren Darul Arifin
Bangsalsari Jember. Di buku Biografi Kiai Abdul Mujib Abbas, Pustaka Idea
Juni 2012,
Kedekatan
Beliau Kepada Santri
Salah
satu yang patut dicontoh adalah kesederhanaan Kiai Mujib, yakni kedekatan Kiai
Mujib kepada para santri yang ternyata terbina mulai muda beliau, diberbagai
kesempatan semenjak beliau mengajar pengajian di langgar, Gus Mujib -panggilan
kala itu- sering mengajak para santri untuk masak bersama, yang familiar di
pesantren disebut dengan mayoran.
Kiai
Mujib juga sering mengelilingi pesantren setelah ngaji pada pagi hari dengan
hanya memakai kaos oblong dan kopyah putih. Beliau mengitari lorong-lorong
pesantren guna mengontrol para santri dan kebersihan pesantren, tak jarang
beliau sering menyuruh para santri untuk membersihkan pesantren. Beliau tampil
sebagai pemimpin yang sederhana tanpa elitis.
Pesantren
Sebagai Medan Jihad
Pesantren
adalah medan jihad yang dipilih Kiai Mujib, bukan mengangkat senjata untuk
berjuang tapi dengan mencurahkan tenaga dan pikiran sebagai wujud pelestarian
agama Allah lewat leteratur kitab-kitab salaf tetap ada dan terjaga lewat
pendalaman para santri. Dengan lahirnya generasi-generasi Al Khoziny yang
ikhlas, berakhlakul karimah disertai bekal ilmu agama yang cukup itulah yang
diharapkan bisa mengawal dan membawa Islam dan ajarannya tetap kokoh. Dan itu
bisa terealisasi di pesantren. Paling tidak, lulusan pesantren dapat memberikan
kemanfaatan dan pengajaran yang benar tentang esensi Islam.
“Salah
satu keberhasilah Kiai Mujib memimpin Al Khoziny adalah menjaga nilai tradisional,
dibuktikan aktifitas Kiai Mujib yang istiqomah merawat tradisi pesantren sejak
awal hingga akhir kepemimpinannya. Ia terlibat langsung dalam pengajian kitab
kuning dan selalu mendorong agar pengajian-pengajian serupa dilaksanakan dalam
berbagai forum, baik santri senior ataupun putra-putrinya.” Komentar KH.
Maimoen Zubair Pengasuh Pesantren Al Anwar Sarang Rembang Jateng. Di buku Biografi
Kiai Abdul Mujib Abbas, Pustaka Idea Juni 2012,
Mangkatnya
Sang Pejuang Ilmu
Kecintaan
Kiai Mujib terhadap ilmu memang luarbiasa, setelah dirawat karena sakit di
rumah sakit Graha Amerta Surabaya, semangat Kiai Mujib terhadap ilmu malah
makin kuat, padahal waktu itu beliau menjalani rawat jalan. Dalam kondisi yang
lemah Kiai Mujib tetap menjaga istiqomah membaca kitab walau pengajian dipindah
ke dalem beliau, saking semangatnya beliau sering lupa waktu ketika balah
kitab, melebihi batas waktu pada waktu sehat beliau.
Kiai
Mujib juga tidak pernah lelah untuk terus belajar. Saat penglihatan menurun,
beliau menyuruh santrinya untuk membelikan kitab Shahih Bukhori dengan
tulisan jumbo. Beliau juga ketika muthola’ah sering menyuruh santrinya
untuk membacakan kitab yang didengarkan beliau. Ketekunan mendalami ilmu membuat
kondisi tubuh beliau melemah, Kiai Mujib kembali dirawat di Graha Amerta untuk
ke dua kalinya, selama 15 hari dirawat beliau kemudian wafat pada, 11:45
tanggal 5 Oktober 2010 / 26 Syawal 1431 H. Dalam usia 77 tahun 11 bulan 25
hari.
Semangat
beliau yang tak pernah kendur dan tanggungjawab membina santri serta
keistiqomahan beliau yang tak lekang, walau kesehatan menurun mungkin tiga hal
dari beberapa keseharian Kiai Mujib yang tidak bisa dilupakan oleh Al Khoziny
khususnya dan masyarakat Islam umumnya.
Menulis
biografi beliau mungkin tidak akan cukup dengan ratusan kertas dan puluhan
pena, sosok Kiai Mujib ibarat sebuah pohon yang begitu rindang dengan beragam
buah hikmah kehidupan yang bisa dipetik. Keteladanan akhlak yang mulia,
kesederhanaan yang sahaja, keistiqomahan dan keseharian belaiu yang luarbiasa
memang menjadi prasasti emas yang patut untuk ditulis dan dicontoh oleh
generasi selanjutnya. Semoga kita mendapat barokah dan dikumpulkan dengan
beliau dan para sholihin kelak di sisiNya Yang Maha Agung. Amin.
H. R. Umar Faruq
(Dimuat di Majalah Kakilangit edisi 46)
0 Response to "Lentera Ilmu dari Kota Santri Sidoarjo"
Posting Komentar