Bangsa Ini, Harus Berterima Kasih kepada Pesantren


Pesantren, pondok pesantren, atau sering disingkat pondok atau ponpes, adalah sebuah asrama pendidikan tradisional, di mana para siswanya semua tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kiai dan mempunyai asrama untuk tempat menginap santri. Santri tersebut berada dalam kompleks yang juga menyediakan masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar, dan kegiatan keagamaan lainnya. Kompleks ini biasanya dikelilingi oleh tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlaku. (Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3S, Jakarta, 1983, hlm 18).
Pondok Pesantren merupakan dua istilah yang menunjukkan satu pengertian. Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu. Di samping itu, kata pondok mungkin berasal dari Bahasa Arab Funduq yang berarti asrama atau hotel. Di Jawa termasuk Sunda dan Madura umumnya digunakan istilah pondok dan pesantren, sedang di Aceh dikenal dengan Istilah dayah atau rangkang atau menuasa, sedangkan di Minangkabau disebut surau. (Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta : Paramadina, 1997, hlm 5).

Pesantren, Penyelamat Bangsa
Perjalanan sejarah bangsa ini tidak bisa meninggalkan pesantren. Karena lembaga pendidikan satu-satunya yang menyelamatkan generasi negeri ini, jauh ratusan tahun sebelum kemerdekaan adalah pesantren. Jasa pesantren begitu besar menyelamatkan bangsa ini dari kebodohan dan intimidasi pendidikan penjajah.
Berikut adalah 10 data pondok pesantren tertua yang ada di Indonesia :
1.        Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan Jawa Timur (berdiri tahun 1718 M). Didirikan oleh Sayid Sulaiman dari Cirebon Jawa Barat, keturunan Rasulullah bermarga Basyaiban.
2.        Pondok Pesantren Jamsaren Serengan Solo Jawa Tengah (berdiri tahun 1750 M). Didirikan oleh Kiai Jamsari pada masa pemerintahan Pakubuwono IV.
3.        Pondok Pesantren Miftahul Huda (PPHM) Gading Kasri, Klojen, Kota Malang Jawa Timur (berdiri tahun 1768 M). Didirikan oleh KH. Hasan Munadi.
4.        Pondok Pesantren Buntet, Cirebon Jawa Barat (berdiri tahun 1785 M). Didirikan oleh Mufti Besar Kesultanan Cirebon bernama Kiai Haji Muqoyyim (Mbah Muqoyyim).
5.        Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar Pamekasan Madura (berdiri tahun 1787 M). Didirikan oleh Raden Kiai Itsbat bin Ishaq bin Hasan bin Abdurahman (menantu Sunan Giri Gresik).
6.        Pondok Pesantren Tremas Paciatan Jawa Timur (berdiri tahun 1830). Didirikan oleh KH. Abdul Manan. Menantu Demang Tremas, Raden Ngabehi Honggowijoyo.
7.        Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang Jawa Timur (berdiri tahun 1838 M). didirikan  oleh KH. Abdus Salam keturunan Raja Majapahit.
8.        Pondok Pesantren Langitan Widang Tuban Jawa Timur (berdiri tahun 1852). Didirikan oleh KH. Muhammad Nur, termasuk keturunan Mbah Abdurahman yang digelari Pangeran Sambu Lasem.
9.        Ponpes Syaikhona Kholil Kademangan Bangkalan Madura (berdiri tahun 1861). Didirikan oleh Syaikhul Masyayekh, Syaikhona Muhammad Kholil bin Abdul Latif. Beliau masyhur dengan karomah dan kewaliannya.
10.    Pondok Pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang Jawa Timur (berdiri tahun 1885). Didirikan oleh KH. Tamim Irsyad, murid Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan.

Kekokohan Pesantren
Membaca kehidupan pesantren, seperti melihat kedalaman samudera. Semakin dalam menyelam dunia pesantren, semakin luas dan beraneka ragam pula fragmen-fragmen kehidupan yang luarbiasa di dalamnya. Keunikan yang ada di pesantren mungkin tidak akan sama dengan para pelajar atau mahasiswa di asrama-asrama mereka, atau para calon Biksu umat Hindu yang berkumpul di Kuil Shaolin. Ribuan pesantren di nusantara (Kemenag mencatat ada 5000 pesantren di wilayah provinsi Jawa Timur) dengan beragam coraknya, turut andil dan bagian dari lembaga pendidikan yang membangun bangsa ini.
Sudah tidak terhitung, buku, makalah, dan kajian jurnal meneliti tentang keistimewaan pesantren. Dari masa ke masa, pesantren pada jalurnya. Meskipun dalam perjalannya tidak terhitung ada yang mengusik, mengucilkan, atau bahkan mendiskriminasinya (seperti beberapa waktu lalu tentang gembar-gembor dunia barat yang didukung dengan ‘kelatahan’ media bangsa ini atas isu terorisme di pesantren), tidak menggoyahkan pesantren, sama sekali tidak meruntuhkan kekokohan eksistensi dan keberadaan pesantren.
Keunikan pesantren juga terletak dari ketidaksamaannya konsep satu pesantren dengan pesantren lainnya. Hampir tidak ditemukan corak pesantren satu dengan yang lainnya sama. Mengunjungi seratus pesantren, berarti menemukan seratus gaya yang berbeda, melihat seribu pesantren juga membaca seribu cirri khas yang tidak sama. Begitu seterusnya. Namun, pesantren manapun tetaplah lembaga pendidikan keagamaan dan sosial yang turut berpartisipasi mencerdaskan dan melahirkan generasi-generasi bangsa yang alim, soleh, dan kafi.

Tiga Esensi Kehidupan di Pesantren
Pesantren adalah tempat menempa pribadi-pribadi untuk menjadi manusia seutuhnya (berakhlakul karimah dan bermartabat dengan syariat Islam), untuk memiliki hati yang bersih dan bening (bertasawuf), di samping proses pendekatan secara menyeluruh kepada Allah (hakikat dan ma’rifat). Tiga esensi kehidupan, syariat, hakikat dan ma’rifat adalah tiga tangga menuju kehakikian penciptaan (kehambaan) manusia di muka bumi ini.
Imam Ghazali ra dalam kitab fenomenalnya, Ihya’ Ulumuddin menggambarkan tentang tiga hakikat itu, dicontohkan bahwa untuk mendapatkan mutiara di lautan, kita butuh perahu, gayuh untuk mencapai tengah. Gayuh adalah syariat, perahu adalah hakikat, dan mutiara di dasar lautan adalah ma’rifat. Mencapai maqom ma’rifat adalah puncak dari segala tujuan hamba kepada Rabnya.
Sistem yang diterapkan pesantren untuk para santri berpeluang besar memperoleh tiga hakikat kehidupan itu. Peraturan (undang-undang) yang ada di semua pesantren hampir sama, yakni mentarbiyah (melatih) para santri untuk berproses menjadi manusia yang ma’rifat kepada Allah (menjadi khalifah Allah).
Dua puluh empat (24) jam para santri dilatih mempraktekkan langsung ajaran syariat (ibadah wajib dan sunah), di samping ada tarbiyah khusus dalam masalah hakikat (tasawuf) dan ma’rifat. Jamaah lima waktu, puasa sunah, solat sunah, dan ibadah-ibadah lain selalu ditekankan pesantren untuk menjadi amalan keseharian para santri.
Kemegahan Duniakah Tujuan Manusia?
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ . إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ . الَّتِي لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي الْبِلاد .
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum 'Aad?, (yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain. (QS. Al Fajr 6-8).
Iram adalah kota megah yang dibangun oleh Kaum Ad. Menurut riwayat dari Al-Quradli (pendapat lain adalah Al-Qurthubi) dan Muhammad bin Ka’ab, Iram sekarang adalah Kota Iskandariyah. Menurut riwayat lain dari Al-Maqbari dan Said bin Musayyib mengatakan Iram adalah Kota Damsyiq (Damaskus). Adapun riwayat yang paling unggul, Iram adalah kota yang berada dekat ‘Adan atau berada di antara daerah Shan’a dan Hadramaut Yaman (tepatnya daerah Ahqaf yang berada di sebelah utara Hadramaut, sebelah utara Ahqaf berbatasan dengan ar-Rab’u al Khali, sebelah timur berbatasan dengan Oman).
Penguasa terakhir kaum Ad adalah Syaddad bin Ad, raja ini seorang yang senang membaca kitab-kitab suci para nabi. Ia terinspirasi untuk membangun taman seperti (replika) surga. Ia kemudian memerintahkan 1000 bawahannya yang terdiri menteri, arsitektur, dan pekerja. Tanah ‘Adan sekitar Yaman dipilih karena tanahnya luas dan ada sumber mata air yang besar. Raja itu berhasil membangun pondasi persegi empat dengan lebar serta luasnya kira-kira sepuluh farsakh berhias warna-warni batu pualam.
Konon, raja Syaddad memerintahkan menteri-mentrinya mengumpulkan seluruh emas, perak dan macam-macam perhiasan lain yang dimiliki orang-orang sedunia, sampai akhirnya di dunia tidak ada seorang pun yang memiliki emas dan perak. Ia kemudian dikenal sebagai Raja dunia, penduduk beralih menggunakan kulit, untuk mendapatkan emas dan perak harus mempunyai stempel nama raja sebagai alat perdagangan.
Raja Syaddad juga mendirikan tembok setinggi 500 dzira’ terbuat dari emas dan perak bercampur misik, di dalamnya ada 1000 kamar dari emas dan perak berpondasikan Zabarjad dan Yaqut, berhiaskan pepohonan dari emas dan perak. Di bawah kamar itu, ia membuat aliran sungai-sungai dengan bebukitan misik dan za’faran. Proses pembangunan “surga” kaum Ad ini memakan waktu selama 300 tahun.
Ketika raja Syaddad menuju “surga” yang ia bangun, dengan menaiki tandu berhias emas, perak, intan dan Yaqut dan arak-arakan pasukan besar. Namun, ketika rombongan mendekati kota impian mereka, Allah Swt menghendaki malaikat menghancurkan mereka. Dengan sekali teriakan semua anggota rombongan mati tanpa seorangpun yang tersisa.
Surga yang musnah impian Raja Syaddad dan kaumnya mungkin menjadi cermin bahwa, kemegahan, ketenaran, kekuasaan bersifat sementara dan sama sekali tidak abadi. Bisa jadi akan terbalik, kemewahan akan mendatangkan bencana bila terlalu terlena dengannya. Addunya fana’ (dunia pasti akan rusak) begitulah rumusan hakikat (tasawuf). Mengejar dan berlomba-lomba meraih impian dunia selayaknya diimbangi dengan esensi dari dunia itu, karena tidak semua dunia bisa menjerumuskan.
Islam dengan ajaran sempurnanya menuntun kita untuk memalingkan hati (zuhud) pada dunia, bukan berarti menjahui dunia seutuhnya. Dunia sebenarnya bisa mengantarkan kita lebih mudah mendekatkan diri menuju ke jalan Allah. Karena dunia adalah bisa jadi perantara (wasail) menggunakannya dengan tujuan (maqosid) beribadah kepada Allah. Salah satu kaidah fiqh dalam kitab faraidul bahiyah buah karya Syaikh Abu Bakar bin Abil Qosim bin Ahmad bin Umar Al Ahdal (984 H – 1035 H) menulis, al umuru bi maqoshidiha (segala sesuatu tergantung tujuannya), keberadaan –memiliki- dunia diperbolehkan selama ia digunakan dengan tujuan baik –ibadah-. Dan, di pesantren secara intens para santri ditekankan, dipelajari, dan ditarbiyah (dilatih) untuk memahami hal ini.
Kenapa Harus Pesantren?
Subhanallah, sahabatku inilah di antara alasan mengapa anak kami tersayang mondok di Pesantren Alqur'an : 1. Ingin anak kami jadi anak yang sholeh, 2. Penerus perjuangan Rasulullah Saw, 3. Terhindar dari lingkungan kurang baik, 4. Aku sendiri alumni pesantren, 5. Menjadi lebih mandiri, 6. Kecerdasan sosial tumbuh, 7. Full 24 jam dalam pendidikan islami yang teratur, terarah dan terkontrol dengan tujuan sangat jelas, 8. Insya Allah selamat dunia akhirat, 9. Insya Allah akan membahagiakan orang tua di dunia apalagi di akhirat, 10. Penerang kubur bagi orang tuanya, bahkan di akhirat dipasangkan mahkota terindah untuk orang tuanya.
Rasulullah bersabda, "Barang siapa membaca Alqur’an, mempelajari, dan mengamalkannya, maka kedua orang tuanya pada hari kiamat akan dipakaikan mahkota dari nur yang sinar terangnya laksana sinar terang matahari. Kedua orang tuanya juga dipakaikan dua baju hias kebesaran yang tidak dapat dinilai dengan dunia. Keduanya lalu berkata, ‘Sebab apakah ini dipakaikan kepada kami?, maka dikatakan, ‘Sebab anakmu telah mengambil (belajar) Alqur’an darimu.” (HR Al Hakim dari Buraidah & Sahih Muslim). KH. Muhammad Arifin Ilham.
Sedikit komentar dari dai nasional di wall aku facebooknya itu menggambarkan kegembiraan para orang tua yang menitipkan putra putri mereka di pesantren. Pesantren bisa dikatakan telah berhasil mendidik para santri untuk berakhlakul karimah (hablumminallah wa hablum minannas), tawadlu’, sederhana, disiplin, mandiri dan berkarakter mulia sebagaimana Rasulullah Saw. 
Era globalisasi ini, masyarakat sudah mulai memahami bahwa modernitas membawa implikasi negatif dengan adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan ruhani dan jasmani. Masyarakat mulai menyadari pentingnya melahirkan generasi yang agamis atau memiliki nilai-nilai hidup yang baik, ini adalah indikasi pendorong bari para orang tua mencarikan sistem pendidikan keagamaan yang intens mengawasi dan mengajarkan nilai-nilai keagamaan secara utuh.
Banyak pesantren melengkapi dan menyeimbangkan pendidikan umum (akademik) dan pendidikan agama. Penyeimbangan ini tentu tidak menghilangkan esensi pesantren sebagai lembaga keagamaan. Perlu ditekankan bahwa, satu-satunya lembaga pendidikan yang paling murah dan berkualitas di Indonesia dalam membentuk dan melahirkan generasi-generasi berkarakter mulia dengan budi luhurnya, belum ditemukan selain pesantren. 
Mendalami dan belajar agama mungkin tidak bisa disamakan dengan memahami  rumus fisika, matematika dan ilmu umum lainnya. Karena agama bukan ilmu pengetahuan belaka, agama bukan sekedar akan didapat dengan cara klik, download, dan cara-cara instans atau otodidak lainnya. Pendalaman agama membutuhkan keteguhan keyakinan, tarbiyah, riyadhah, akhlakul karimah, kebersihan hati, dan pekerti mulia lainnya. Ilmu (agama) adalah cahaya (nur) Allah, bisa didapatkan bila dekat kepada Allah. Wallahu a’lam.
***

(Dimuat di Majalah Al Akhyar)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Bangsa Ini, Harus Berterima Kasih kepada Pesantren"