Pendiri Nurul Jadid Paiton Probolinggo


Khadratus Syaikh Hasyim Asy’ari Memanggilnya “Zaini al Khalishi”
Biografi K.H.R. Zaini Mun’im

Predikat Lora (sebutan untuk putra Kiai di Madura) dari Pesantren Kembang Kuning dan Gelar raden sebagai sebutan kebangsawanan dari Kerajaan Pamekasan sama sekali tidak membuat kepribadian dari sosok Kiai Zaini Mun’im lupa dan menyomongkan diri. Malah, tokoh NU murid dari Hadrotus Syekh Kiai Hasyim As’ari dan Syekh Sa’id Al-Yamani (mufti Syafi’i di Makkah) ini dikenal supel berkumpul dengan masyarakat, dan menjalani hidup dengan kesederhanaan adalah prinsip pendiri dan pengasuh pertama Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo ini.

Sibtur Rasul
Beliau bernama kecil Lora Abdul Mughni putra KH. Abdul Mun’im dan Nyai Hj. Hamidah tahun 1906 M di desa Galis Pamekasan Madura. Kalau dirunut, silsilah beliau sampai kepada Rasulullah Saw. Dari jalur ayah, kakek beliau Kiai Mudarik putera ke 4 Kiai Ismail, generasi kedua penerus Pondok Pesantren Kembang Kuning Pamekasan. Kakek Kiai Ismail adalah adalah Kiai Nuruddin Gunung Tinggi Pakong, beliau (dari jalur Kiai Batu Ampar Wetan) ada sambungan nasab ke Bendoro Saud alias Temenggung Tirtonegoro, Adipati Sumenep yang juga keturunan Pangeran Ketandur atau cucu dari Sunan Kudus. Sedangkan dari jalur ibunya, Kiai Zaini Mun’im  termasuk keturunan para Raja Pamekasan melalui jalur KH. Bujuk Azhar (Ratoh Sidabulangan), penguasa Kraton Pamekasan Madura.

Dari Madura sampai Mekah Madinah
Dari usia belia, beliau mendapat pendidikan agama dari keluarganya yang notabenya kalangan santri. Usia 11 tahun beliau sekolah di Wolk School (Sekolah Rakyat) pada masa colonial Belanda selama empat tahun (1917-1921). Kemudian beliau nyantri mendalami Alqur’an dan Tajwid ke KH. Muntaha, menantu Syaikhona Kholil di Pesantren Kademangan Bangkalan. Pada tahun 1922 beliau melanjutkan pencarian ilmu ke Pesantren Pesantren Banyuanyar Pamekasan yang diasuh oleh KH. R. Abdul Hamid dan putranya KH. Abdul Majid. Tahun 1925 Kiai Zaini Mun’im  pindah ngaji ke KH. Nawawi di Pesantren Sidogiri Pasuruan. Namun, masa mengaji di Sidogiri hanya setahun, karena ayahanda beliau wafat. Sebagai anak sulung, Kiai Zaini Mun’im  menggantikan posisi ayahnya di Madura.
Semangat Kiai Zaini Mun’im  untuk mencari ilmu tidak surut, di usia 22 tahun, beliau mondok di Pesantren Tebu Ireng yang diasuh oleh KH. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) mendalami ilmu agama dan bahasa Arab. Baru ketika pertengahan tahun 1928 M, beliau berangkat ke Mekah untuk berhaji dan menetap di Sifirlain selama lima tahun untuk menuntut ilmu. Sebelum pulang ke tanah air, beliau mukim di Madinah selama enam bulan dan mengikuti pengajian Ulama terkemuka saat itu di Masjid Nabawi.
Kiai Zaini Mun’im  datang ke Madura di tahun 1934, tiga tahun setelahnya (1937) beliau kemudian menikah dengan Nyai afi’ah, keponakan Kiai Abdul Madjid Banyuanyar. Sejak tahun itu beliau akrab dipanggil KH. Zaini Mun’im, Pemimpin dan Pengasuh Pondok Pesantren Panggung Galis Pamekasan. 

Sang Pejuang Kemerdekaan
Kesibukan mengasuh santri di Pondok Pesantren Panggung Galis, tidak membuat beliau lupa dengan keadaan masyarakat sekitar. Kolonial Belanda yang menindas penduduk pribumi sebagai Negara jajahan membuat Kiai Zaini Mun’im  tergerak untuk turun langsung dalam perjuangan kemerdekaan memerangi penjajah, baik pada masa pendudukan Belanda dan Jepang. Pada masa Jepang beliau dipercaya sebagai pimpinan Barisan Pembela Tanah Air (PETA). Selanjutnya, beliau juga dipercaya sebagai pimpinan pasukan Sabilillah ketika Serangan Umum 16 Agustus 1947 terhadap tentara Belanda yang menguasai Kota Pamekasan. Beliau termasuk salah tokoh pejuang di Madura Timur yang menjadi target operasi Belanda, yang dikejar-kejar karena kegigihan beliau dan sikap pantang menyerah dalam melawan kekuatan penjajah.

Mendirikan Pesantren
Menurut cerita, Kiai Zaini Mun’im  ketika melewati Desa Tanjung (sekarang Karanganyar) dari niat perjalanan beliau ke pedalaman Yogyakarta, menemui teman teman seperjuangannya untuk mengisolasi diri menghindar dari penindasan dan kekejaman Belanda. Namun, sebelum perjalanan itu dilanjutkan, Kiai Zaini Mun’im  mendapat amanah dua orang santri yang mengaji kepada beliau (Syaifuddin, Sidodadi Paiton dan Syafiuddin, Gondosuli Kotaanyar Paiton).
Karena titipan dua santri itu, beliau mengurungkan niat semula dan menetap di Karanganyar. Kiai Zaini Mun’im  menempatkan dua santri awal beliau itu di surau kecil, selain berfungsi sebagai tempat shalat, juga untuk ruang tamu, mengajar dan tempat tidur santri. Seiring meningkatnya jumlah santri yang berguru kepada beliau. Akhirnya, Kiai Zaini Mun’im  menetap di Karanganyar dan mulai merintis beridirinya Pondok Pesantren Nurul Jadid. 

Lembaga Pendidikan Lengkap
Kecintaan Kiai Zaini Mun’im akan ilmu pengetahuan dan kepedulian beliau kepada kecerdasan generasi bangsa pasca kemerdekaan dituangkan pada lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan sebagai penunjang perkembangan pendidikan setelah 300 tahun lebih dijajah.
Pada masa Kiai Zaini Mun’im, selain mengajarkan santri dengan metode salaf pada umumnya, beliau mendirikan beberapa lembaga klasikal di Nurul Jadid sebagai berikut:
1.      Madrasah Ibtidaiyah Agama (MIA, tahun 1950). 
2.      Taman Kanak-kanak dan lembaga pendidikan Al-Khairiyah (tanpa Tahun).
3.      Flour Kelas. Berubah nama menjadi Mu’allimin (tahun 1961). Selanjutnya pada tahun 1969, berubah menjadi Madrasah Tsanawiyah (MTs). Dan Madrasah Aliyah (MA). 
4.      Pada tanggal 1 September 1968, didirikan Akademi Dakwah dan Pendidikan Nahdlatul Ulama (ADIPNU). Perguruan Tinggi ADIPNU yang kemudian berubah menjadi PTID dan sekarang berkembang menjadi IAINJ. 
5.      Pada tahun 1970, beliau mendirikan SMP dan SMA, sebagai wujud keprihatinan dan kepedulian beliau ketika menyaksikan prilaku pelajar SMP dan SMA di luar pesantren yang jauh dari akhlak Islam.
6.      Pada tahun 1974, berdiri Sekolah Dasar Islam (SDI). Dua tahun kemudian, SDI berubah nama menjadi Madrasah Ibtidaiyah Nurul Mun’im (MINM).
7.      Pada tahun 1975, didirikan lembaga Pendidikan Guru Agama Nurul Jadid (PGA NJ) berjenjang 4 tahun. Tapi dalam proses perjalanannya, PGA NJ ini hanya bertahan tiga tahun, karena ada kebijakan pemerintah tentang pengurangan jumlah lembaga pendidikan PGA. 

Buah Karya dari seorang Al Allamah
1.        Tafsirul Ushul fil Ilmil Ushul. Kitab ini beliau tulis sebagai upaya memudahkan santri dalam memahami Qa’idah Ushuliyah dengan metode cepat dan praktis.
2.        Nadham Safinatun Najah, kitab ini ditulis pada tahun 1377 H / 1956 M. Ditulis oleh beliau sebagai penyempurnaan dari kitab-kitab Fiqh lil Mubtadiin.
3.        Nadham Syu’abil Iman. Nadham sebanyak 313 bait ini menjelaskan tentang Tauhid dan akhlak. Beliau mulai menulis kitab ini sejak tahun 1387 H/1966 M. dan pada tahun 1392 H/1972 M diterjamahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kitab ini merupakan rangkuman dari kitab Syu’abil Iman karya Al-Imam Al-Baihaqi.
4.        Tafsir Qur’an bil Imla’. Kitab ini merupakan bahan acuan dalam mengajar Fi Kulliyati Tafsir.
5.        Karya Ilmiah “Problematika Dakwah Islamiyah”, disampaikan pada Dies Natalis ke-III PTID, dan Naskahnya dimuat di Majalah Al-Jami’ah XI IAIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta).

Aktif Berjuang di NU
Pada tahun 1951, KH. Hasan Sepuh Genggong, KH. Abdul Latif dan KH. Fathullah (Pengurus NU Cabang Kraksaan) datang dan mengajak Kiai Zaini Mun’im bersedia berjuang membina warga melalui organisasi NU Cabang Kraksaan. Ajakan ketiga Kiai ini kemudian beliau sambut dengan tangan terbuka.
Ketika tahun 1953, Rais Syuri’ah NU Cabang Kraksaan, KH. Abdul Latif meninggal dunia. Kiai Zaini Mun’im dipilih dan diangkat menjadi Rais Syuriyah NU Cabang Kraksaan hingga tahun 1975. Sementara pada muktamar NU ke 21 di Medan (Sumatera Utara) Desember 1956, Kiai Zaini Mun’im terpilih sebagai salah satu anggota dewan Partai NU dari 79 orang yang terpilih. Sejak menjadi anggota dewan Partai NU ini, keterlibatan beliau di bidang politik Nasional mulai menonjol. Selanjutnya, pada tahun 1960, Kiai Zaini Mun’im terpilih sebagai Wakil Rais Pengurus Wilayah (PW) NU Jawa Timur.

Ikhlas, Sederhana dan Luarbiasa
Hidup dari kalangan pesantren besar dan gelar bangsawan justru tidak ketara ketika melihat kehidupan dari sosok istimewa Kiai Zaini Mun’im. Malah, beliau dikenal sederhana dan tidak pernah mengikutsertakan latar belakang keluarga dan gelar kebangsawanannya. Kiai Zaini Mun’im juga familiar dengan sosok yang jujur dan ikhlas. Kiai Hasyim Asy'ari sendiri memberi julukan Zaini al-khalisi, “Zaini yang ikhlas” ketika mondok di Tebu Ireng.
Keluarbiasaan perhatian Kiai Zaini Mun’im kepada masyarakat melalui NU diceritakan oleh KH. Badri Masduki, Pengasuh Pondok Pesantren Baddridduja, Kraksaan Probolinggo. “Sampai sekarang, saya belum menemukan orang yang lebih telaten dari beliau dalam hal ngopeni santri. Bukan saya yang sering sowan kepada beliau, tapi justru beliau yang sering mengunjungi saya ke Kraksaan. Beliau selalu memotivasi saya agar terjun ke masyarakat. Padahal kala itu hati saya sangat berat untuk keluar. Tapi beliau selalu mengunjungi saya dan mengajak terjun langsung ke masyarakat, turba ke ranting ranting NU, diajak mengikuti konferensi NU dsb. Akhirnya, saya kemudian bisa aktif terjun ke masyarakat dan aktif di Rais Syuriyah NU Cabang Kraksaan dan Syuriah NU Wilayah Jawa Timur. Ini semua berkat ketelatenan beliau dalam mengkader dan mendidik saya. Bagi saya beliau itu bukan hanya sekedar guru, tapi juga orang tua saya sendiri.” 

Mangkatnya Sang Pecinta Ilmu
Sebuah Hadits terkenal memberi isyarat bahwa, Allah tidak akan mencabut ilmu dari dunia secara mendadak dan menyeluruh, tapi Allah memanggil para Ulama. Betapa Allah menghilangkan ilmu-ilmu di hati Ulama dari dunia ini. Hari Senin tanggal 26 Juli 1976 M / 29 Rajab 1396 H, seorang faqih al allamah, seorang tawadlu’ yang lembut tutur bahasanya, seorang yang peduli dengan keadaan bangsanya, seorang yang menyeluruh pengorbanan dan perjuangan untuk agamanya, Al Arif billah K.H.R. Zaini Mun’im dipanggil Allah Swt.
Semangat hidup dari kecintaan kepada ilmu, kepedulian kepada sesame, serta sumbangsih karya besar lewat Pesantren Nurul Jadid, sudah sepantasnya kita untuk meneladani dan meneruskan ruhul jihad beliau untuk kejayaan agama dan bangsa ini. Al fatihah. (dari berbagai sumber).



H. R. Umar Faruq

(Dimuat di Majalah Langitan edisi 51)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Pendiri Nurul Jadid Paiton Probolinggo"