Di lereng gunung Muria.. Aku Mencintanya sampai Mati


Genap satu bulan, Fairus berada di sebuah pesantren ternama lereng gunung Muria. Pemuda itu lambat laun merasa betah. Kecerdasan dan kedalaman ilmu Fairus ternyata tidak hanya menjadikan masa tugasnya mendapat tempat terhormat, namun dengan kepintarannya itu, ia dikagumi dan dihormati layaknya keluarga dalem pesantren. Apalagi, Kiai Zarkasi sering menyanjung-nyanjung Fairus di depan para santri. Namun, Fairus adalah pemuda yang rendah hati. Tidak jarang ia berbaur dengan para santri ikut mengaji, ketika Kiai Zarkasi mbalah. Ustad Fairus pun menjadi bagian pesantren yang makin dimuliakan. Sosok yang mengagumkan sebagai guru, dan kepribadian yang sempurna sebagai santri.
"Kang Fairus dipanggil Abi" seorang jelita mengagetkan beberapa orang di dalam ruangan asatid.
"Ngih Ning " ucap salah satu Ustad yang langsung berdiri ta’dzim. Berbeda dengan Fairus, walau namanya terdengar disebut, ia masih konsentrasi dengan kitab Fathul Muin di depannya.
“Ustad Fairus”
“Iya” pemuda jangkung itu menoleh, ia sedikit tersentak saat memandang wajah jelita yang berdiri di depan pintu, ada beberapa detak-detak getar yang seketika timbul dalam hatinya. Namun ia buru-buru membuangnya jauh-jauh.
“Anda dipanggil Kiai” ucapan dari Ustad Ahsan itu mengiringi kepergian jelita itu.
“Ia Ning Milda, putrid Kiai Zarkasi” jelas Ustad Ahsan. Fairus hanya mengangguk. Ia langsung mengambil kitabnya dan ke dalem.
"Astaghfirullahal adzim.. maaf Ning, aku ga' sengaja" ucap Fairus dalam hati dengan bibir gemetar. Keelokan, keindahan dan kebeningan aura Ning Milda, membuat jiwa Fairus terpana. Ada beberapa getar entah yang berdetup dalam dadanya. Senyum Ning Milda sesejuk bias tetes embun yang menyejukkan kegersangan hati, bibir merahnya semerah rekah untaian mutiara batu rubi yang tersiram pijar cahaya purnama. Ada beberapa imajinasi yang begitu indah yang menancap dalam sanubari Fairus, ada keyakinan yang terbesit, kalau malam-malamnya nanti akan menjadi malam yang panjang dengan rangkain-rangkaian mimpi fantastis. Senyum hatinya, sesumringah dan sebahagia seorang punguk yang diturini bidadari-bidadari dari istana negeri awan.
“Subhanallah” Fairus menekan hatinya yang semakin berdetak jauh.
***

“Ustad Fairus, beberapa orang tadi pagi menemui saya, mereka dari daerah Sapian sebuah pulau luar Kabupaten Sumenep Madura. Mereka memohon padaku untuk mengirimkan seorang tenaga pengajar atau Ustad, untuk membimbing mereka dan membina para pemuda di sana.” Ucapan Kiai Zarkasi berhenti, kretek ditangannya ia hisap dalam-dalam.
“Setelah aku berpikir, kamulah orang yang pas untuk memenuhi permintaan mereka” Fairus kaget, wajahnya menegang. Pertanda belum ada kesiapan untuk berada di sebuah pulau asing baginya itu.
“Aku sudah menghubungi orangtuamu, mereka mengizini. Kuharap kamu mau, karena daerah itu masih awam, perjuanganmu akan menjadi amal jariyah yang tak terkira. Di sana juga ada beberapa kampung yang penduduknya  tidak memeluk agama. Ini dikarenakan tidak ada sentuhan dakwah Islam. Tidak usah khawatir, yang kesini tadi adalah Camat dan Kepala desa Sapian, meraka menjamin keselamatan dan juga kesejahteraanmu di sana nanti. Anakku, saatnya kau berjihad sesungguhnya di jalan Allah.” Penjelasan Kiai Zarkasi membuat wajah Fairus sedikit lega. Ada kebingungan dalam hatinya. Namun, ia menemukan kesejukan dan keharuan luarbiasa ketika mendengar kata “anakku” dari Kiai tersohor itu. Hatinya, menemukan pilihan.
“Bagaimana nak?” Fairus menghela nafas panjang.
“Insya Allah Kiai” kata Fairus dengan mata berkaca-kaca haru dengan panggilan guru besar yang sangat ia kagumi itu.
Subhanallah, alhamdulillah, dua atau tiga hari lagi mereka datang menjemputmu, persiapkan apa-apa yang perlu kau bawa” Fairus mencium tangan Kiai Zarkasi dengan sepenuh hati. Ketika ia berlalu dari dalem, ada mata bening yang mengirinya dengan deraian airmata. Sosok dibalik tirai itu sesunggukan.
***

Hari Rabu, mendadak sekolah di pesantren Darul Ulum diliburkan, ada beberapa santri yang berteriak kegirangan, ada juga yang rada kecewa, tidak sedikit juga yang penasaran. Mungkin ada gawe besar?, ternyata tidak, sekolah dan kegiatan yang lain sengaja diliburkan, karena semua guru mengantarkan Ustad Fairus yang mendapat tugas khusus dari sang Pengasuh. Ribuan santri itu berjejal berbaur dan menumpuk ke depan asrama masing-masing. Sudah pasti, pandangan mereka tertuju ke depan dalem Kiai Zarkasi.
“Tidak ada yang lebih agung dan mulia daripada jihad menghidupkan agama Allah anakku” Fairus menangis dalam pelukan Kiai Zarkasi, pemuda jangkung itu sesunggukan ketika Kiai sepuh itu mengecup keningnya penuh kasih sayang. Fairus kemudian memeluk beberapa guru yang ikut mengantarkannya. Tidak sedikit para guru yang menitikkan airmata, merangkul erat guru muda yang sudah menjadi idola pesantren itu.
Lantunan sholawat nabi mengantarkan kepergian mobil yang menjemput Ustad Fairus. Beberapa santri menjerit, memekik nama Ustad Fairus ketika ia lambaikan tangannya. Beberapa santri itu menangis. Mereka kehilangan yang sangat. Pada detik itu. Darul Ulum menjadi pesantren yang tidak utuh.
Namun, beberapa saat kemudian, mendadak dalem menjadi gaduh. Para santri yang masih dalam perasaan gundah bertanya-tanya. Mereka makin menegang, ketika melihat raung sirine ambulan lewat di depan mereka. Semua menahan nafas. Mulut mereka bungkam. Seketika suasana Darul Ulum mencekam.
 ***

“Sebenarnya, aku menginginkanmu menjadi pendamping Milda anakku” Kiai Zarkasi mengusah matanya yang berair. Tidak ada senyum sedikitpun menyambut kedatangan Ustad Fairus ke Darul Ulum. Ustad muda itu makin keheranan ketika Kiai Zarkasi menyerahkan sebuah kertas padanya.
“Aku menemukan ini di tempat sholatnya Milda, ia meninggal beberapa saat seteleh kamu berangkat tugas dengan penyakit yang tidak dapat diprediksi oleh dokter” Kiai sepuh itu menangis tertahan. Ia meninggalkan Ustad Fairus yang tak menentu.

Allahku..  
Biarkan buroq-buroq syurgawi mengepakkan sayap emasnya pada penghuni syurga
SenyumMu bagi sanubariku, lebih memesona
Allahku..
Sungguh, bukan maksud hati berpaling dari keagungan kasihMu
Namun, jiwa yang rapuh sudah tertawan rindu pada peringai mulia hambamu
Allahku..
Bila gelora kasih ini terhitung bermaksiat padaMu
Ambillah ragaku, cabutlah rohku
Karena, ridloMu lebih utama bagiku
Allahku…
Allahku…
Allahku..
Duhai hamba Allah..
Aku yang lemah mencintamu karena Allah..
Ustad Fairus pujaanku, aku akan menantimu di pintu surga
-Emilda Fajriyah
***

Ustad Fairus menangis sesunggukan, ia menengadah ke atas gunung Muria. Dingin yang hebat pertigaan malam tidak menghiasi malam dengan tasbih dan tahmid di atas sajadahnya yang membeku. Hatinya tergetar hebat, pandangannya tertuju pada samar-samar cahaya lampu makam salah satu Walisongo di puncak gunung Muria. Sanubarinya patah ketika membaca setiap aksara kata indah dari Ning Milda yang ia genggam erat sepenuh kalbu.
Allahku..
Biaskan senyum indahMu
Allahku..
Tusukklah aku dengan cintaMu
 Allahku..
Tancapkan rinduMu di relung kalbu
Allahku..
Ijinkan jiwa kami merangkai cinta karenaMu
***

Para santri Darul Ulum gempar ketika menemukan Ustad Fairus tersungkur tidak sadarkan diri di masjid pondok. Kiai Zarkasi yang datang langsung menangis melihat Ustad Fairus memegang kertas yang ia berikan tadi siang. Lembaran itu masih basah. Ia tahu kalau itu adalah airmata Ustad Fairus.
“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridloiNya. Maka, masuklah kedalam jama’ah hamba-hambaKu, dan masuklah ke dalam surgaKu.” Kiai Zarkasi mencium kening Ustad Fairus dengan deraian airmata kasih. Untuk kedua kalinya, Darul Ulum kehilangan orang yang sangat dicintai.

***
Gunung Muria, 29 Agustus 2010 M.

(Dimuat di Majalah An Naurah)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Di lereng gunung Muria.. Aku Mencintanya sampai Mati"