Kerajaan Elektronik



Dimensi baru cara barat menguasai dunia danmemerangi Islam

Meletusnya peperangan Salib dimulai dengan tanggapan Paus Urban IIterhadap  permohonan Raja  Alexius pada tahun 1095 M untuk merebut Yerussalem. Seruan perang dari Paus Urban II berhasil menyatukan umat kristiani di seluruh gereja dunia. Perang Salib adalah salah satu peristiwa terpanjang dan memakan korban jutaan jiwa dalam sejarah umat manusia.
Sekarang, Perang Salib masih bisa dirasakan riak-riaknya.  Persaingan dalamkepentingan masing-masing senantiasaada dalam setiap perjalanan zaman, mengingat keyakinan dan komitmenterhadap agama dari dua pihakini masih sangat kuat, kisah-kisahkepahlawanan melawan kaum  "kafir" dalam ajaran Kristen dan Islam kadang memantik percikan “api perang”. Apalagi, beberapa oknum tampaknya sengaja membuat propaganda dan mengadu domba antara mereka, itu mengapa perselisihan-perselisihan –baik antar agama atau di dalam internal agama itu sendiri- seperti api abadi yang tidak akan padam.

Kebebasan Akses Internet
Dewasa ini, agak sulit memilah dan membedakan media elektronik yang baik untuk dikonsumsi dan yang buruk untuk dihindari.Pesatnya pertumbuhan media abad 21 seperti suburnya tumbuhan jamur. Baik media sosial, media elektronik, media cetak, dan media lainnya tampaknya setiap hari bermunculan. Keberadaan media bak air bah dengan gelombang besar yang tidak dapat dihindari.
Sistem demokrasi dari pemerintah (adopsi barat) memberi peluang sebebas-bebasnya kepada siapapun (baik server lokal atau internasional) untuk membuat, menggandakan, atau menyebarkan sebanyak-banyaknya informasi. Padahal, informasi tidak semuanya bermanfaat, tidak semuanya layak dikonsumsi. Namun, tampaknya bangsa ini menikmati kebebasan itu, dibuktikan dengan semakin lengkapnya fasilitas internet di mana-mana.
Perkantoran, mall, taman, terminal, stasiun, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya sudah tersedia layanan jaringan dunia maya (seperti WIFI dan lainnya), malah warung-warung kecil kaki lima sudah banyak terlihat menyediakan akses internet.

Kerajaan Elektronik
Masyarakat sekarang sudah tidak begitu tertarik dengan saling tonjok atau adu fisik, karena dua hal ini dikesankan sebagai prilaku orang-orang yang tidak berpendidikan. Sengit beradu pendapat terbilang membosankan. Itu mengapa, perdebatan panjang diasumsikan sebagai kegiatan menjenuhkan.
Pun, hampir setiap hari pabrik produsen elektronik dunia berlomba-lomba menunjukkan mesin baru berikut kecanggihannya. Kecanggihan mesin dan robot menjadi tolok ukur kepintaran dan kecerdasan manusia, menemukan perangkat lunak (software) atau perangkat padat (hadware)merupakan prestasi yang dicari untuk mengangkat nama. Mesin dan robot adalah acuan utama, kebanggaan tertinggi, puncak kepuasan, dan bisa jadi tujuan paling diimpikan. Bukan pencapaian pengembangan potensi, pengembangan prestasi keterampilan, tapi acuan utamanya adalah mesin dan robot. Itu mengapa, berita tentang kejuaraan olimpiade sains dunia kalah populer dari berita penemuan OS (operation system) handphone terbaru.
Siapa yang mempunyai elektronik canggih, siapa yang menguasai mesin elektronik, dialah sang penguasa.Tidak hanya pada sistem informasi, tapi mesin juga bisa menguasai perekonomian, peradaban, dan segala aspek bangsa. Saat ini, pertahanan negara tidak hanya dilengkapi senjata baja dan mesih besi pembunuh, tapi juga para hacker-hacker yang disediakan untuk menangkis dan menghadang serangan dari luar. Peperangan para hacker antar negara ini sudah dilakukan oleh Israel, Syiria, dan negara-negara konflik lainnya.“Perang” untuk menjerumuskan umat manusia ke peradaban “jahiliyah” tidak lagi dengan mengangkat senjata atau menebaskan pedang, “perang” era modern lebih ke medan media elektronik. Dan, manusia sudah mulai dibanding-bandingkan dan disejajarkan dengan mesin atau robot, manusia zaman sekarang menggantungkan segala sisi kehidupan mereka kepada mesin dan robot.

Barat, Berhasil Membohongi Dunia
Masyarakat dunia dibuat tercengang dengan terkuaknya kebohongan media-media internasional. Puluhan tahun ternyata mereka mengarang cerita bohong, seperti pembenaran bahwa orang Yahudi akan kembali ke tanah nenek moyang mereka (Israel) setelah diusir pada tahun 70 AD ternyata hanya dongeng.Sejarawan Israel terkenal Shlomo Sand dan sejarawan lainnya percaya bahwa, tidak ada "eksodus" dari Yahudi, jadi "kembali" tidak ada artinya. Orang-orang yang meninggalkan Palestina tidak meninggalkan tanah mereka di era kuno.Bahkan keturunan Yahudi yang berada di Palestina adalah orang-orang yang saat ini tinggal di Palestina. Mereka yang mengklaim bahwa mereka ingin kembali ke tanah mereka, justru Yahudi yang berasal dari Barat, Eropa Timur dan Afrika Utara.
“Tidak ada bangsa Yahudi. Orang-orang Yahudi tidak memiliki sejarah umum, bahasa atau budaya. Satu-satunya hal yang umum di antara mereka adalah agama mereka, dan agama tidak membuat suatu bangsa.”Tulis Michel Collon, seorang penulis dan wartawan Belgia, dalam bukunya "Israel, let's talk about it.
Atau propaganda tentang film Rambo, Abu Mushab As Suri dalam bukunya yang berjudul Da’wah Al-Muqawwamah Al-islamiyyah, menyampaikan kebohongan besar yang dilakukan media barat dan Amerika. Amerika berusaha membuat opini bahwa, kemenangan jihad Afghan merupakan kesuksesan kebijakan Amerika dan program-program CIA di Afghanistan. Propaganda palsu ini cukup menguntungkan Amerika.
Salah satunya kebohongan Amerika dituangkan dalam film Rambo (sampai 3 seri) dengan kisah pertempurannya di Afghanistan. Di film ini, Rambo digambarkan dapat menembak jatuh banyak pesawat, menghancurkan benteng-benteng membebaskan para sandera pejuang, baik dari pihak Afghan maupun Amerika.Di akhir film, Rambo menyampaikan pesan kasih sayang Amerika terhadap orang-orang lemah, kepeduliannya kepada orang-orang tertindas, kegigihannya untuk membantu kaum muslimin, dan peran kuncinya dalam membantu orang-orang Afghan yang oleh film fiksi itu digambarkan begitu kagum dan cinta kepada Amerika.
Kebohongan ini disebarkan media Amerika melalui berbagai media massa dan alat propaganda, mulai dari film dokumenter, buku-buku, surat kabar, hingga buku-buku memoar para perwira intelijen dan lain-lain. Atau lihat, bagaimana mereka dengan gencar secara terang-terangan menvonis Islam dengan isu-isu memberatkan.

Internet, Racun Mematikan
Yang paling nyata merusak adalah item-item asusila tak bermoral mudah dapat diakses di jaringan internet. Sementara pengguna terbanyak fasilitas ini adalah remaja, yang masih tahap pertumbuhan dan pencarian identitas diri. Tidaklah aneh, jika banyak kasus kerusakan moral dan tindak pidana yang dilakoni oleh para remaja. Mereka terinspirasi dari game online vandalisme- dan jutaan situs-situs tidak bermanfaat lainnya.
Pengaruh pornografi dan pornoaksi dunia maya tidak dapat dibendung arusnya, membuat produktifitas belajar pengguna internet menjadi menurundan hanya berimajinasi dengan hayalan tidak bermanfaat. Tingkat kriminalitas menjadi naik, dan keinginan meningkatkan prestasi berhenti. “Kecanduan” berselancar di dumay sulit diredam atau bahkan menghentikannya, chat online di dunia maya tidak terasa membuat waktu penduduk bangsa ini terbuang percuma. Beberapa sumber survey menyebutkan, netter  yang menggunakan chat lebih banyak hanya untuk sekedar bergosip dan menjurus ke pornografi dari situs-situs yang tinggal klik!.

Lembaga Sensor Kendor
Gelombang protes dan kecaman terhadap film-film di Indonesia,sebenarnya peyebabnya adalah kelemahan dari LSF (Lembaga Sensor Film) nasional yang tampaknya makin kendor dalam menyensor tayangan film nyosor (vulgar/porno). Contohnya seperti film “Hantu puncak datang bulan.” Film yang menampilkan aurat dan adegan tidak senonoh itu disebut banyak pihak sebagai film MISNO (Mistik+Porno).
Kecaman FPI (From Pembela Islam), Menteri Agama, dan MUI tampaknya belum dapat menghentikan “kebiasaan” film-film bangsa ini mengumbar aurat para artisnya. Agak lucu, menyaksikan media-media“balas dendam menyerang” para pengecam tayangan mereka (seperti kasus salah satu ormas yang digembar-gemborkan beberapa waktu lalu).
Tampaknya, menjadi sebuah kebiasaan baru bagi bangsa ini, bahwa ketika hal apapun yang tidak menimbulkan gelombang protes atau kecaman tetap akan maju dan santai-santai saja. Toh, ujung-ujungnya walaupun sejuta umat melakukan demo, tidak akan berakibat apa-apa nantinya (kebal atau lemahnyahukum), atauakan disiarkan kembali saat suasana protes mereda.Di sini, siapa yang perlu bertanggungjawab, pemerintah, produser, artis atau bangsa ini?. Dan bagaimana pintu-pintu media yang lain?.
Pada dasarnya, penggunaan media dalam rangka membangunkan sosioekonomi umat. Organisasi-organisasi dunia seperti UNESCO menganjurkan, media agar memberi sumbangsih terhadap pembinaan bangsa dan negara, pengurangan kadar buta huruf, peningkatan mutu pangan dan kesehatan, peningkatan pendidikan dan memperbaiki taraf hidup negara-negara berkembang dan negara-negara miskin. Namun, fungsi itu menjadi kabur ketika media tidak berada pada “jalannya”, seperti yang dilakukan oleh Dependency Theory yang mengesahkan media mempromosikan pembangunan kapitalis dan menjadi saluran kepada “penjajahan” negara-negara miskin.
Seharusnya ada langkah kongkrit dan cerdas bagi bangsa ini untuk menyelamatkan generasi dari dekadensi moral. Baik pemerintah, pihak media, dan seluruh lapisan negeri ini. Gerak cepat menjadi kebutuhan karena generasi bangsa ini sudah dikepung oleh jaringan internet dengan miliaran situs merusak akhlak. Tentu, implementasi perjalanan bangsa ini selayaknya selaras dengan norma agama, Pancasila, dan pilar-pilar bangsa. Demi terciptanya masyarakat yang berakhlak dan bermartabat sebagaimana cita-cita undang-undang.
 ***
 (Dimuat di Majalah Al Akhyar)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kerajaan Elektronik"