Negeri Dongeng
Sore itu, saat
senja merekah di dinding langit barat, Soleh, Ahmad dan Darwis duduk melingkar.
Mereka berdiskusi tentang keanehan-keanehan lelaki tua di kampung mereka,
lelaki yang sering berpakaian putih-putih dengan ikatan sorban di kepalanya itu
membuat beberapa warga mempercayai bahwa orang baru yang datang dua hari lalu
itu adalah Ulama besar yang memiliki karomah atau sakti.
Banyak dari
masyarakat desa mengalami kejadian-kejadian aneh ketika bertemu dengan lelaki
tua yang tidak mau menyebutkan namanya itu. Namun, masyarakat desa pesisir
menyebut lelaki tua itu dengan sebutan Mbah Kamituo.
Pak Karmin
contohnya, saat melewati rumah kayu yang ditempati Mbah Kamituo, Pak Karmin
kesandung batu, besoknya ada keluarganya yang meninggal. Pak Budi juga
menceritakan, ketika berpapasan dengan Mbah Kamituo, sapaannya tidak digubris
Mbah Kamituo, tau-taunya dua hari kemudian ia diPHK oleh pabrik tempat Pak Budi
bekerja. Pak Ali lain lagi, saat ia duduk-duduk di warung Mbok Ijah, tiba-tiba
ada Mbah Kamituo di depannya meminta uang, besoknya ia mendapat surat kenaikan
pangkat dari Pemda.
Desas desus
tentang keanehan dan juga kesaktian Mbah Kamituo, membuat penduduk pesisir
selalu membicarakannya. Mbah Kamituo yang baru seminggu datang ke desa pesisir
menjelma sebagai tokoh yang sangat disegani dan dihormati. Dari warung kopi,
tempat mangkal ojek, pasar, bahkan balai desa saat Pak Lurah memimpin sidang
tidak luput dari pembahasan tentang Mbah Kamituo.
“Bapak-bapak
sekalian, dengan segala hormat, aku mengusulkan kalau Mbah Kamituo diangkat
sebagai penasehat desa ini..” semua hening dengan usulan dari Pak Yanto, carek
desa pesisir.
“Saya setuju,
saya sudah membuktikan kesaktian beliau…” sambung Pak Ali tidak kalah semangat,
ia yang sekarang berdinas di kecamatan itu sampai berdiri.
“Tapi, apakah
kita tidak mempertimbangkannya dulu, apalagi Mbah Kamituo bukan asli penduduk
pesisir dan dia baru satu minggu datang ke desa ini” kata Haji Mukhlisin, salah
satu tokoh agama yang juga takmir masjid desa pesisir. Soleh, Ahmad dan Darwis
yang menjadi anggota REMAS (Remaja Masjid) Al Ikhlas desa pesisir mengiyakan
dengan mengacungkan jempol tanda setuju.
Namun, Pak
Yanto dan Pak Ali yang mempunyai jabatan strategis di structural desa pesisir
membuat keputusan dari Lurah tetap. Bahwa, si Mbah Kamituo akan diajak untuk
bersama-sama di balai desa. Masyarakat pesisir sepakat akan mengangkat Mbah
Kamituo menjadi sesepuh desa.
*****
Benar yang
ditulis oleh redaktur Antara News,
bahwa berbagai mitos masih diyakini oleh masyarakat di Indonesia, malah website
itu menulis bahwa, dunia mitos bangsa ini yang begitu kuat mengundang rasa
keingintahuan warga di Berlin dan sekitarnya saat mengunjungi kegiatan budaya
bertema "Takhayul" dalam rangka "All Nations Festival 2013",
Sekretaris II Penerangan, Sosial dan Budaya KBRI Berlin, Jerman, Purno Widodo,
kepada Antara di London, Rabu mengatakan "All Nations Festival"
adalah program Pemerintah Kota Berlin guna mendekatkan masyarakat di kota itu
dengan berbagai pengetahuan dan budaya masyarakat asing yang mempunyai
perwakilan. Gila!” koar Ahmad setelah solat berjamaah Dhuhur, ia duduk di teras
Masjid Al Ikhlas bersama dengan tiga dua kawan REMASnya, Soleh dan Darwis.
“Begitulah negeri kita ini..” ucap Soleh kalem.
“Kita harus merubahnya kawan!. Kita bukan budak
Jin dan Setan!” tambah Darwis, sorot matanya tajam dan tangannya mengepal kuat.
“Takhayul dan
mistik seperti yang kita saksikan dalam kehidupan masyarakat, sudah bukan lagi
seperti semut hitam, tapi sesuatu yang sudah sangat nyata. Masyarakat kita
tampaknya sangat ‘taat’ kepada mitos dan ‘dongeng’ para tetua dahulu. Hal yang
berbau kemusyrikan merupakan kedzaliman yang besar seperti di Q.S. Luqmaan : 13
dan merupakan bentuk kesesatan yang sangat jauh (Q.S. An-Nisaa' : 116), dimana
bila seseorang mati dalam kemusyrikan maka ia akan kekal di dalam Neraka,
karena tidak akan memperoleh ampunan Allah Swt, ini tertera di Q.S. An-Nisaa' :
48, yang karenanya ia tidak akan pernah berjumpa dengan Allah SWT (Q.S.
Al-Kahfi : 110).” Jelas Ahmad.
“Naudzubillah…”
doa Soleh dan Darwis hampir bersamaan. Tiga pemuda itu kemudian diam. Mereka
tertunduk memikirkan ‘kebiasaan’ penduduk desanya yang masih sangat kuat
mempertahankan hitungan-hitungan primbon, mitos, tempat angker, dan beberapa hal
yang tidak masuk akal lainnya.
“Kita tidak bisa berbuat banyak, Lurah dan para
sesepuh desa pun masih menggunakan perhitungan bintang untuk menentukan hari
pernikahan dan kita ketahui bersama, di desa ini masih ada perayaan-perayaan
yang sebenarnya membuang-buang harta dan tidak ada gunanya.” Ahmad menerawang
ke langit-langit Masjid, matanya sedikit berkaca-kaca saat menemukan cat-cat
Masjid yang mengelupas sana sini. Sudah lima tahun dari mulai berdirinya Masjid
itu, tidak pernah ada lagi pembaharuan atau renovasi. Malah penduduk desanya
mendahulukan merias dan memperbaiki kuburan desa.
Ketiga pemuda itu berdiri setelah mengetahui Haji
Mukhlisin mendekat ke arah mereka. Tiga pemuda itu memberi salam hormat dan
mencium tangan guru ngaji di desanya itu.
“Takhayul merupakan salah satu fenomena sosial yang sudah mengglobal.
Mungkin tidak ada bangsa di dunia ini yang tidak kenal atau tidak memiliki takhayul.
Boleh percaya boleh tidak, tetapi takhayul adalah bagian dari budaya suatu
masyarakat. Ranah tahayul sangat luas, mencakup semua aspek kehidupan :
kelahiran, pernikahan, kematian, fenomena alam, binatang dan tumbuhan, hingga
aktivitas kehidupan sehari-hari.” Komentar Haji Mukhlisin, tiga pemuda di
depannya hanya manggut-manggut.
“Hampir
seluruh budaya bangsa ini, tidak luput dengan takhayul atau mitos. Tugas kita,
meluruskan dan memahamkan kepada penduduk bagaimana kehidupan yang baik dan
benar. Tapi, kita harus dengan santun dan lembut, karena takhayul dan mitos
sudah mengakar kuat dan menjadi sugesti yang sulit untuk dihilangkan dari semua
aspek kehidupan kita. Terus berusaha, berdoa dan bertawakal kepada Allah..”
“Iya
Pak Haji..” ucap Ahmad yang diamini oleh dua temannya.
*****
Balai
desa Pesisir tampak ramai, pasar desa di ujung jalan perempatan tampak sepi,
sawah juga terlihat hanya satu dua penduduk, jalan-jalan desa tak beraspal juga
tampak lenggang. Warga desa Pesisir tampaknya tidak mau melewati momen yang
menurut mereka paling bersejarah di desa Pesisir. Pengangkatan si Mbah Kamituo menjadi
ketua sesepuh desa, istimewanya karena mereka akan mempunyai ketua sesepuh si
Mbah Kamituo, yang dipercaya sakti mandraguna. Masyarakat rela berjubel di balai
desa meninggalkan pekerjaan dan mata pencarian mereka!. Suasana tampak lebih
meriah ketika pak Lurah membentuk beberapa panitia khusus. Otomatis,
pelaksanaan penentuan kali ini layaknya pesta demokrasi Pilkades, ruang balai
di tata sedemikian rapi lengkap dengan sound system.
Kasak
kusuk suara warga seketika hening saat Lurah dan para pejabat desa memasuki
balai. Suasana seperti terhipnotis membisu ketika si Mbah Kamituo juga hadir
dan duduk di samping Lurah. Masih sama. Pakaian putih dan kain seperti surban
tebal mengikat kepala si Mbah Kamituo, tampilannya seperti para tokoh agama
Hindustan India.
“Saudara-saudara
masyarakat Pesisir semua, langsung saja, seperti yang kita sepakati. Kita minta
kesediaan si Mbah Kamituo yang kita hormati bersama untuk menjadi ketua sesepuh
desa kita, desa pesisir tercinta..!!” semua warga bersorak, bertepuk tangan
riuh. Hanya beberapa orang yang duduk di bangku tengah bergeming tanpa ekspesi.
Mereka adalah Haji Mukhlisin dan ketika anggota Remas Masjidnya, Ahmad, Soleh
dan Darwis.
“Tenang,
sebelum itu kita dengarkan beberapa ceramah dan pencerahan dari si Mbah Kamituo.
Kami persilahkan.” Pak Lurah mendekatkan microfon ke arah Mbah Kamituo. Tidak
ada yang bersuara, semuanya hening dengan wibawa kharismatik dari si Mbah.
“Ehem….”
Penduduk masih bungkam.
“Pertama,
saya merasa prihatin dengan bangsa ini. Bangsa yang sudah setengah abad lebih
merdeka, tapi masih berada di ‘alam’ penjajah. Sekarang bangsa ini dijajah oleh
mitos dan dongen dari zaman tetua dahulu.” Semua tercengang dengan suara keras
dan lantang Mbah Kamituo. Sama sekali tidak terduga apa yang diucapkannya
barusan.
“Yang
kedua, saya di sini hanya mampir ke rumah ibu. Iya, rumah kayu yang saya
tempati itu adalah dahulunya tempat kelahirannku. Aku memakai baju putih ini
selalu karena tidak ada yang aku punya lagi, dan ikat kepala ini adalah baju
mukena ibuku. Aku pakai di sini untuk mengenang beliau. Hanya itu. Besok aku
akan kembali ke daerahku. Kalian semua berpikirlah jernih, mitos dan takhayul
tidaklah berpengaruh apa-apa. Lihat, Masjid dan madrasah serta sekolah kalian
tidak terawat, malah memilih menghias kuburan dan tempat-tempat yang kalian
yakini bertuah. Itu sama sekali tidak benar, berpikirlah, sadarlah, untuk apa
kalian percaya dengan dongeng?” Pak Lurah dan semua warga menelan ludah, mereka
seakan dihabisi oleh kata-kata Mbah Kamituo yang tajam. Apalagi, setelah
berkata, tanpa pamit Mbah Kamituo pergi begitu saja, kerumunan orang membelah
memberi jalan kepadanya. Warga yang memadati balai desa berangsur-angsur bubar,
tidak ada penutupan, tidak ada perkataan lagi yang keluar lewat sound system,
Pak Lurah diiringi pejabat desa meninggalkan balai begitu saja.
Setelah
kejadian di balai desa itu, warga tidak melihat lagi sosok Mbah Kamituo. Tapi,
lambat laun peristiwa ini dilupakan warga, lambat laun warga kembali kepada
kebiasaan mereka. Meyakini tuah mitos dan takhayul.
“Bangsa
ini, negeri dongeng..” desah sosok lelaki tua dengan baju putih di ujung
pembatas desa, ia berjalan pelan menuju selatan.
H. R.
Umar Faruq
(Dimuat di Majalah Langitan edisi 53)
0 Response to "Negeri Dongeng"
Posting Komentar