Tombak Raja Najasy dan Suara langit Bilal bin Rabah
Sudah sangat banyak sebuah pujian
dalam bentuk karya tulisan untuk menyanjung kemuliaan salah satu sahabat Nabi
ini, pun demikian tidak bisa menghabiskan mutiara-mutiara hikmah yang bisa
diteladani dari sosok yang terkenal dengan naman lain ibnus sauda’ (putra wanita
hitam) ini. Kepopuleran dan ketokohannya sebagai manusia yang hidup pada zaman
terbaik, merupakan eksistensi dari pribadinya yang mengagumkan.
Muadzin pertama dalam sejarah
permulaan Islam ini bernama Bilal bin Rabah, fragmen-fragmen yang telah diukir
tinta emas sejarah yang tentunya menarik akan bermula pada sebuah perjuangan
mempertahankan aqidah yang luarbiasa. Sebuah kisah yang tidak akan pernah
membosankan, walaupun terus diulang-ulang sepanjang zaman. Kekuatan alurnya
akan membuat setiap orang tetap penasaran dan berdecak kagum untuk
mendengarnya. Sahabat yang lahir 43 tahun sebeluh hijrah ini, bahkan termasuk
beberapa orang yang pertama kali mengimani seruan tauhid masuk Islam. Ia hanya
didahului oleh Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar As Shiddiq,
Ali bin Abi Thalib, Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib Ar Rumi,
dan Al Miqdad bin Al Aswad.
Bilal besar di kota Ummul Qura’
(Mekah) sebagai seorang budak milik keluarga Bani Abduddar. Kemudian putra
Hamamah ini diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum
kafir. Ia kemudian dimerdekakan oleh sahabat Abu Bakar As Shidiq setelah
mengalami penyiksaan yang sangat pedih dari majikan dan kaum kafir.
Istimewanya, ketika penyiksaan mendera, ungkapan fenomenal Bilal adalah kalimat
tauhid ahad ahad ahad (Allah Maha Esa).
Kerinduan akan Mekah
Ketika Rasulullah Saw dan seluruh
sabahat hijrah ke Madinah, Bilal yang tinngal satu rumah dengan Abu Bakar dan
Amin bin Fihr terkena penyakit demam. Saat demamnya agak reda, Sahabat yang
mengikuti perang Badar ini melantunkan bait-bait gurindam kerinduan akan kota
Mekah dengan suara emasnya yang jernih.
“Duhai malangnya aku, akankah suatu malam
nanti, Aku bermalam bisa di Fakh dikelilingi pohon idzkhir dan jalil. Akankah
suatu hari nanti, aku minum air Mijannah. Akankah suatu hari nanti, aku melihat
lagi pegunungan Syamah dan Thafil”
Merindukan lembah dan
pegunungannya, karena di sanalah ia merasakan nikmatnya iman. Di sanalah ia
menikmati segala bentuk siksaan untuk mendapatkan keridlaan Allah. Di sanalah
ia berhasil melawan nafsu dan godaan setan.
Di Madinah, Bilal hanya mencurahkan
kecintaan kepada kekasih Allah Rasulullah Muhammad. Ia selalu mengikuti
Rasulullah ke mana pun beliau pergi. Saat shalat maupun ketika berjihad.
Kebersamaannya dengan Rasulullah ibarat bayangan yang tidak pernah lepas dari
pemiliknya.
Ketika Rasulullah selesai membangun
Masjid Nabawi di Madinah dan menetapkan azan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang
pertama yang mengumandangkan azan (muadzin) dalam sejarah Islam.
Tombak Raja Najasy
Kecintaan Rasulullah kepada Bilal
yang selalu mendampingi beliau, memberikan impati kepada putra Rabah itu. Suatu
saat, Rasulullah menghadiahkan tombak pendek pemberian Raja Najasy kepada
Bilal, setelah sebelumnya Rasulullah memberikan dua tombak pendek yang lain kepada
Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab. Satu dari Tiga barang istimewa
kerajaan Habasyah itu selalu Bilal bawa kemana-mana. Ia juga membawanya dalam
kesempatan dua shalat hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), dan shalat istisqa’
(mohon turun hujan). Tombak itu ia tancapkan dihadapan Bilal, ketikan ia melakukan
shalat di luar masjid.
Adzan Islam Pertama di Mekah
Saat Rasulullah dan pasukan Islam
menaklukkan kota Mekah, Nabi berjalan di depan tentaranya bersama Bilal bin
Rabah. Saat masuk ke dalam Ka’bah, Nabi juga hanya ditemani oleh tiga orang,
yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka’bah, Usamah bin Zaid, dan Bilal bin
Rabah.
Shalat Zhuhur tiba. Ribuan orang
berkumpul di sekitar Rasulullah, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk
Islam saat itu. Semuanya menyaksikan pemandangan yang agung. Pada saat-saat
yang sangat bersejarah ini, Rasulullah memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke
atap Ka’bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid. Dengan senang hati, bekas
budak Bani Jumah ini mengumandangkan azan dengan suaranya yang bening dan bersih.
Ribuan pasang mata memandang ke arahnya dengan pandangan kagum dan bangga. Ribuan
lidah mengikuti kalimat azan yang dikumandangkannya dengan khidmah.
Suara Langit Bilal bin Rabah
Kejernihan dan keikhlasan serta
kedahsyatan suara Bilal bin Rabah mengumandangkan kalimat-kalimat kemengangan
Islam, bisa dirasakan oleh seluruh sahabat ketika ia mengadzani sholat janazah
Rasulullah Saw. Suara tiba-tiba terhenti pada kalimat Asyhadu anna muhammadar
rosuulullah.. Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Seluruh sahabat
yang berada di sana terharu tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara
isak tangis yang membuat suasana semakin mengharu biru.
Setelah kewafatan Rasulullah, Bilal
hanya sanggup mengumandangkan azan selama tiga hari. Karena setiap sampai
kepada kalimat, Asyhadu anna muhammadar rosuulullah ia langsung menangis
terisak-isak. Begitu pula kaum muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan
rindu.
Karena itu, Bilal memohon kepada
Abu Bakar, khalifah Rasulullah, agar diperkenankan tidak mengumandangkan adzan
lagi, ia merasa tidak mampu melakukannya. Bilal juga meminta izin kepada sang
Khalifah untuk berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam,
keluar dari kota Madinah.
Bilal pergi meninggalkan Madinah
bersama pasukan pertama yang dikirim oleh Abu Bakar. Ia tinggal di daerah
Darayya yang terletak tidak jauh dari kota Damaskus. Selama ia di sana, Bilal
benar-benar tidak mau mengumandangkan adzan.
Saat kedatangan sahabat Umar bin Khaththab
ke Syam, sahabat yang dijuluki Al Faruq ini bertemu dengan Bilal dan menaruh
rasa hormat begitu besar kepadanya, sehingga jika ada yang menyebut-nyebut nama
Abu Bakar As Shiddiq di depan Umar, maka sahabat Umar segera menimpali, “Abu
Bakar adalah tuan kita, dan telah memerdekakan tuan kita (Bilal).”
Dalam kesempatan pertemuan dua
tokoh sabahat tersebut, sejumlah sahabat mendesak Bilal agar mau
mengumandangkan adzan di hadapan al-Faruq Umar ibnul Khaththab. Para sahabat
bersuka cita ketika Bilal mengiyakan permintaan tersebut. Saat suara Bilal yang
nyaring itu kembali terdengar melantunkan kalimat adzan, sahabat Umar sesunggukan
tidak sanggup menahan tangisnya, seluruh sahabat yang hadir juga menangis, hingga
janggut mereka basah dengan air mata.
Suara Bilal membangkitkan segenap kerinduan mereka
kepada masa-masa kehidupan Rasulullah Saw. Suara merdunya seakan membuat langit
terbuka menyeru akan masa mengagumkan bersama Rasulullah Saw. Suara syahdunya
membuat hati para sahabat bergemuruh tentang sosok sempurna Rasulullah Saw.
Suara istimewanya menggetarkan jiwa para sahabat akan luarbiasanya berkumpul
dengan Rasulullah Saw. BiIal bin Rabah, tetap tinggal di Damaskus hingga wafatnya.
***
(Dimuat di Majalah Kakilangit)
0 Response to "Tombak Raja Najasy dan Suara langit Bilal bin Rabah"
Posting Komentar