Jilbab Merah Muda Purabaya
Setelah berdiri
selama satu jam di bus, Faris bersama adik perempuannya memutuskan untuk
beristirahat melepas lelah di bangku ruang tunggu terminal. Bangunan baru ruang
tunggu terminal berfasilitas lengkap membuat keduanya tampak nyaman.
“Ayo
dek..” ajak Faris beberapa saat kemudian. Ia membawa tas besar adiknya,
berjalan menuju tempat parkir bus.
Sesekali
Faris menoleh ke samping, memastikan adiknya aman di sampingnya. Faris kemudian
menggandeng adik perempuannya. Ia harus melindungi adiknya dari para awak bus
(entah kondektur atau calo bus) yang tidak segan-segan menarik tangan atau
menyeret dengan sedikit memaksa untuk masuk bus mereka. Para petugas berseragam
biru tampaknya tidak melakukan apa-apa menyaksikan hal itu.
Purabaya
adalah terminal type A yang ada di provinsi Jawa Timur. Terminal ini juga dikenal
juga dengan nama Bungurasih, merupakan pengembangan dari Terminal Joyoboyo yang
kapasitasnya sudah tidak memadai serta berada dipusat kota yang tidak
memungkinkan dilakukan perluasan. Purabaya direncanakan tahun 1982 berdasarkan
surat Persetujuan Gubernur Jawa Timur, baru dibangunan pada 1989 dan diresmikan
pengoperasiannya oleh Menteri Perhubungan RI tahun 1991 dengan alamat Jl.
Letjen Soetoyo KM Sby 13 (Komplek Terminal Bungurasih) Waru Sidoarjo.
Terminal
terbesar di Surabaya itu (selain Osowolangon dan Joyoboyo) seolah primadona
yang dikelilingi hutan beton metropolitan, siang itu matahari angkuh membakar
di tengah langit.
“Pasuruan
pak…” jawab Faris singkat, kepada laki-laki tidak berpakaian seragam layaknya
seorang awak bus terus menerus bertanya arah tujuannya. Mungkin Faris tahu
kalau pemuda sawo matang itu bukan karyawan PO bus. Ia calo bus.
“Alhamdulillah..”
kata Faris setelah mendapatkan tempat duduk, ia memastikan kalau adik perempuan
yang nyantri di salah satu pesantren terkenal Bangil itu berada di
samping jendela, jadi ia akan aman tanpa tersentuh laki-laki yang bukan
muhrimnya.
Lalu-lalang
padat dan udara panas memang menjadi pandangan khas terminal yang menjadi pusat
transportasi antarkota dan antar propinsi yang terletak di Desa Bungurasih,
Waru, Kabupaten Sidoarjo dengan luas ± 12 Ha. Hal ini pula yang menjadikan
terminal ini lebih banyak di kenal dengan nama terminal Bungurasih. Tapi secara
administratif terminal ini dikelola oleh Pemerintah Surabaya berdasarkan
perjanjian kerjasama (MOU) antara Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dengan
Pemerintah Kota Surabaya.
Letak
terminal ini sangat strategis, hanya 20 menit dari Airport Juanda Internasional
dan dekat dengan jalan tol Surabaya-Gempol. Akses yang sangat baik sebagai
pintu masuk dan keluar dari atau ke kota Surabaya, serta berada pada jalur
keluar kota Surabaya arah timur selatan dan barat.
****
“Mungkin
menunggu penumpang penuh” tebak Faris sambil tersenyum menjawab pertanyaan adik
perempuannya yang berpakaian baju dan jilbab putih serta rok ungu sebagai
seragam yang wajib ia kenakan saat kembali ke pesantren Salafiyah Bangil.
“Yang
sabar ya..” tambah Faris, pemuda itu merasa adik ceweknya mungkin tidak sabar menunggu
lama dengan panas dan pengap udara bus ekonomi. Faris menawari adiknya membaca
Al-Qur’an dari aplikasi handphone adroidnya. Gadis itu kemudian larut dalam tilawah
dengan suara samar, tapi terdengar merdu di telinga Faris.
“Assalamualaikum…
Maaf, berkenan dengan air aqua dingin ini mas?” seorang ibu muda menawari
lembut Faris dengan senyuman sopan. Sejenak Faris tertegun dengan pemandangan
di depannya, subhanallah, betapa santun pedagang ini. Tidak seperti
pedagang asongan pada umumnya. Ibu ini menyapanya dengan salam dan menawarkan
barang jualannya dengan sangat sopan, apakah mungkin karena Faris memakai
kopyah putih sehingga ibu itu mengucapkan salam dan berlaku santun kepadanya?.
Ah, Faris menepisnya, mungkin terlalu jauh berspekulasi atau melihat pemandangan
tidak biasa dari sikap penjual asongan di terminal seperti ibu itu.
“Waalaikumsalam
bu.. maaf, saya sudah beli tadi.. terimakasih..” jawab Faris lembut.
“Oh,
iya, terimakasih dan permisi mas..” ibu itu meninggalkan Faris yang mengangguk
dan membalas senyumnya. Nyaris, Faris tidak menemukan gurat kecewa di wajah ibu
itu karena jualannya tidak laku. Hebat.
“Sopan
sekali ya kak” Faris menoleh pada Mimi adiknya.
“Benar..”
Faris makin yakin dengan perasaannya, bahwa ibu berjilbab panjang merah muda
itu memang memiliki pribadi yang baik. Dari pakaiannya yang menutup aurat,
menjadi indikasi bahwa ia menjaga kehormatan dirinya dalam kemuliaan syariat Islam,
bagaimanapun kondisi ekonomi dan dimanapun ia berada. Menjadi kontras dengan
suasana dan keberadaan ibu itu di terminal kota metropolitan, Faris tidak memvonis
bahwa orang-orang yang berada di fasilitas-fasilitas umum seperti stasiun dan terminal
selalu dibenarkan menjadi tempat kriminal atau hal tidak baik lainnya. Walaupun
banyak kasuistik tindak kejahatan terjadi di sana. Tapi, sosok wanita itu
menjadi “langka” terlihat di sana.
Melihat ibu
itu, Faris teringat pada wanita-wanita mulia pada permulaan sejarah Islam di
tanah Arab, seperti Siti Khadijah putri Khuwailid seorang bangsawan Arab Quraisy
di Mekah. Seorang wanita cerdas, teguh dan berperangai luhur dijuluki At
Thahirah (bersih dan suci). Atau Siti Aisyah putri Abu Bakar As Shiddiq
seorang perempuan luas keilmuannya dan berakhlakul karimah yang menjadi
referensi para ahli Hadits, istri Rasulullah yang sangat dicintai Nabi setelah
Siti Khadijah. Juga pada sosok Asma` binti Yazid bin
Sakan al-Anshariyyah, seorang ahli hadis
yang mulia, seorang mujahidah agung, memiliki kecerdasan, dien
yang bagus dan tata bicara yang baik,
sehingga ia dijuluki sebagai
“juru bicara wanita” di zaman Rasulullah.
“Mungkin
ia mutiara di tempat ini, yang menjadi ibrah kepada kita” kata Faris
kemudian kepada adiknya. Mimi hanya mengangguk kemudian melanjutkan bacaan
Al-Qur’annya dimulai dengan ucapan basmalah..
****
Sebelum
bus berangkat, Faris melihat dari kaca jendela bus ibu yang menawarinya minuman
itu tampak duduk di pembatas parkir antar bus yang menunggu penumpang. Masih
terlihat sama, ibu itu sangat sopan menyapa dan menawarkan dagangan yang ditaruh
rapi di atas pembatas berpaving kepada orang-orang yang melintas di depannya,
dari jajanan ringan, aneka minuman, dan rokok. Orang-orang yang lewat memberi respon bermacam-macam padanya.
Ada yang membalas dengan senyuman, ada yang melambaikan tangan, ada menjawab
dengan ucapan ‘tidak, terima kasih’ dan bahkan ada yang melengos tak acuh
padanya. Ekspresi wajah ibu itu tetap, tersenyum.
Wajah
ibu itu mengingatkan siapa saja yang memandang dengan wajah bersahaja Raden Adjeng
Kartini. Tokoh wanita Pahlawan Indonesia keturunan jawa Jepara yang terkenal
lewat buku kumpulan suratnya, Door Duisternis tot Licht, yang pada tahun
1992 oleh Balai Pustaka diterjemahkan dengan judul, Habis Gelap, Terbitlah
Terang. Perjuangannya membela wanita pribumi menginspirasi banyak tokoh
kebangkitan nasional Indonesia, seperti W.R. Soepratman yang menciptakan lagu, Ibu
Kita Kartini. Bagi Faris, ibu berjilbab merah muda panjang itu adalah
lanskap indah menyejukkan di terminal Purabaya, seiring dengan akhlak dan moral
kota metropolitan berada di titik dekadensi.
Tanpa di
sengaja, saat bus jurusan Probolinggo yang ditumpangi Faris perlahan-lahan
bergerak, ibu itu melihat Faris yang terus memperhatikannya, pandangan mereka
bertemu. Ibu berkerudung panjang itu kemudian tersenyum sambil mengangguk
kearah Faris, begitu juga sebaliknya, pemuda itu melakukan hal yang sama.
“Engkau
adalah wanita istimewa bu..” bisik Faris dalam hatinya. Biarpun tidak tahu begaimana
latar belakang wanita yang dilihatnya, Faris yakin bahwa ibu itu bekerja keras sebagai
pedagang asongan di terminal untuk anak-anaknya, bahwa ibu itu sosok tangguh
bersahaja, bahwa ibu itu tampil “perkasa” di tengah keterbatasan, atau bahkan bahwa
ibu itu wanita luar biasa bagi keluarga dan negerinya. Faris berharap,
keberadaan ibu itu menginspirasi banyak orang di terminal Bungurasih. Pasti,
juga bagi anak-anaknya.
“Bangsa
ini, harus belajar ikhlas darimu ibu..” ucap Faris bersyukur bangga. Pemuda senang
karena siang itu ia mendapatkan pelajaran berharga dari sosok teduh wajah ibu
itu. Ada satu ledakan bahagia memenuhi hatinya saat menemukan satu cermin
kehidupan yang ditunjukkan Allah padanya lewat karakter indah ibu itu.
H. R. Umar Faruq
Bungurasih, 17 Januari 2014
0 Response to "Jilbab Merah Muda Purabaya"
Posting Komentar