Jihadmu.. Dukaku..
Riskia memilah-milah
buku di kios sederhana di depannya dengan muka yang serius, ia tampak membolak
balik beberapa buku yang sudah tidak baru lagi. Tampak kusam. Terkesan tidak
berharga memang. Tapi tidak bagi gadis berkerudung oranye itu. Semua buku
adalah sebuah maha karya pikiran yang tidak ternilai harganya. Dan jalan Semarang
memang menjadi tempat idola. Kios-kios kecil yang berada di atas got besar yang
berair bersih itu tampak berjejal dengan tenang di bawah rindangnya pepohonan
yang menutupi kawasan yang bersebelahan dengan stasiun terbesar Jawa Timur.
Pasar Turi. Karena di tempat yang sederhana, dan di tempati orang-orang
sederhana, Riskia bisa melihat dan mengetahui isi dunia dengan hanya beberapa lembaran
ribuan.
Riskia menghela
nafas berat, tas cangklongnya sedikit lebih berat dengan beberapa buku sastra
yang ia beli. Wajah cerah menampakkan kalau pemudi ini puas dengan apa yang ia
lakukan hari itu. Ia melirik ke tangan kanannya. Celurit emas karya besar D.
Zawawi Imron yang bertahun-tahun ia cari ternyata terselip di beberapa buku
lapuk di salah satu stand buku Jalan Semarang yang tiap hari ia lewati.
Akhirnya kau ku temukan kawan! Mungkin itu bahasa yang disampaikan oleh gurat
wajah beningnya.
“Kesederhanaan
ternyata tidak selamanya sederhana, kadang ia tidak sekadar sederhana dengan
menyimpan mutiara di dalamnya” gumannya pelan. Gadis itu tersenyum pada jejelan
kios yang beberapa bulan lalu diobrak-abrik Satpol PP itu, membayangkan pemburuannya
terhadap buku sajak di tangannya yang sampai ke Gramedia Jakarta. Ah ternyata begitu
lama dekat dengannya. Dan ada di sekitarnya.
“Alhamdulillah”
syukurnya dalam hati. Riskia mengerutkan keningnya, mata yang berbulu lentik
itu sedikit menyipit ketika dari arah selatan ada seseorang yang melambaikan
tangan sambil mengeluarkan suara keras namanya.
“Riskia!!” yang
dipanggil masih tidak bergeming.
“Belanja buku
lagi kan?” seloroh yang datang, nafas yang tersenggal-senggal meyakinkan
siapapun kalau ia habis lari maraton. Riskia makin menyatukan alisnya.
“Hawa?”
keduanya erat berangkulan. Menandakan kalau mereka lama tidak bersua
“Kamu sudah
lupa dengan ku Is?” Hawa memandang lekat karibnya
“Aura wajahmu
yang makin menampakkan kecantikan, sesaat membuat aku lupa dengan sahabatku
yang centil dan suka sayur jengkol” bibir Hawa manyum
“Ah dasar anak
sastra” mereka berdua tertawa renyah
“Kamu kok
berantakan banget sich?” Riskia menggandeng tangan Hawa masuk ke dalam stasiun
“Yah gini
kalau terburu-buru” Riskia menoleh, air mukanya tampaknya menanyakan sesuatu
“Anggota
dewannya kelamaan yang keluar sich. Dari pada ketinggalan kereta aku pilih
langsung cabut aja. Biar cari berita yang lain ntar”
“Masih suka
nulis Wa?”
“Yang pasti
pakem gua non fiksi”
“Tetap di Duta
kan?” Hawa mengangguk bangga dengan pertanyaan itu
“Mau ngangkat tentang apa?”
“Fuck
Teroris!!” Riskia sampai berhenti dengan suara keras Hawa
“Kamu setuju
dengan kekejian teroris?” muka Hawa menegang, kepalan tangannya semakin kuat.
Ada urat kemarahan di wajahnya.
“Bagaimanapun,
kekerasan dan menyudutkan pihak mana pun tidak akan menyelesaikan masalah
teman” Hawa bernafas panjang dengan perkataan karibnya
“Ada beberapa
hal yang patut kita pikirkan dengan kasus terorisme di negara kita” kening Hawa
menyatu. Ia tampak merenung apa yang didengarnya. Ah, apa salahnya kalau
sahabatnya itu dijadikan “objek” beritanya?. Deadline tulisannya kan hanya
kurang beberapa hari saja?.
“Menurutmu,
apa, dari sisi mana dan siapa yang harus memulai untuk memecahkan dan meredam
terror ini?”
“Yang jelas,
pemerintah mulai dari pusat sampai daerah dan para tokoh masyarakat harus
memulai dengan bahu-membahu menyadarkan masyarakat, kalau tindakan semacam itu
tidak dibenarkan dan merugikan negara sendiri. Karena bagaimanapun dan dari
mana asalnya, anggota jaringan ini banyak dari saudara setanah air kita. Ah,
kita saja tidak tahu seumpama saudara sendiri sudah ikut di dalamnya”
“Sekarang, zaman
makin maju. Ekonomi dan pergaulan sudah sangat modern dan dimanis. Kenapa
mereka melakukan hal yang begituan ya?” Riskia menerawang ke atas dengan
pertanyaan itu
“Doktrin yang
kuat dan karena agama telah ditinggalkan”
“Kok” Hawa
sedikit bingung
“Kamu tahu,
kenapa mereka mau mengorbankan jiwanya?”
“Yang aku tahu
sich, biar dapat surga gitu” Riskia tersenyum dengan jawaban temannya
“Di masa yang
serda efesien ini, ternyata agama makin ditinggalkan. Lihat saja, mana yang
mendapat lesensi legalitas resmi dari pemerintah? Madrasah, Yayasan, dan pondok
pesantren pun kini dibiarkan rusak dimakan zaman hanya karena sebuah
sertifikasi belaka. Tidak ada alasan yang masuk akal, dalam keilmiah pun tidak
ada yang dapat dibenarkan. Mereka malah mendewakan modernisasi dan materi saja.
Sedangkan jiwa kita dibiarkan kosong dengan keimanan yang kuat”
“Lho, apa
hubungannya dengan jiwa dan lembaga-lembaga itu dengan teroris? Padahal banyak
yang mengatakan pondok pesantren adalah sarang teroris” Riskia menegang
mendengar perkataan itu. Ia memegang dadanya yang bergerumuh
“Allah..”
sejenak Riskia beristighfar. Menata emosinya.
“Understanding of about less islam. Itu masalahnya. Para penganalisa atau siapa pun yang tahu
akan syariat Islam dengan sempurna, tidak akan mengeluarkan pendapat yang
seharusnya tidak keluar ke publik itu. Entah apa opini mereka, yang jelas
masyarakat kita sekarang sudah tidak peduli lagi dengan hal-hal yang berbau
dengan keagamaan. Mereka terus mengejar kehidupan duniawi di atas sebuah
sertifikasi atau ijazah. Ini diperparah dengan sikap pemerintah yang membuka
lebar-lebar “Keserakahan” tersebut. Inilah titik dimana harus ada tindakan
cepat dan benar”
“Cara dan hubungannya dengan terorisme?” kejar Hawa yang
mulai tertarik
“Pada dasarnya, para teroris itu hanya salah dalam berideologi
tentang apa dan bagaimana pengertian jihad yang mereka gembar-gemborkan dalam Islam
yang sebenarnya. Kesalahan memahami dan kurangnya keilmuan pada merekalah yang
membuat mereka melakukan hal-hal yang keji. Ini tak lain akibat pendidikan
agama yang kurang optimal. Disayangkan memang ketika banyak orang berame-rame memojokkan
Islam karena adanya teroris. Itu karena kurang mengerti tentang Islam secaka kaffah
atau sempurna. Kalau ia faham dan menguasai syariat islam, ia tidak akan membawa
nama pesantren. Apalagi menjelekkan komunitas lembaga suci itu?”
“Sebaiknya gimana Is?”
“Harus ada kesadaran dari semuanya, baik dari pemerintah
maupun masyarakat bahwa harus ada keseimbangan antara sosialitas dan
spiritualitas. Legalitas tidak hanya di sekolah umum saja, namun pesantren
harus mendapat lesensi untuk menuju perguruan tinggi. Kita harus sadar bahwa
banyak dari teman mahasiswa kita yang terjerat faham-faham sesat. Pun banyak
dari anggota jaringan teroris adalah jebolan akademik. Ini menandakan iman di
hati kita keropos dan tak lain karena pendidikan agama kurang betul kita
kuasai. Atau tanpa sadar telah kita tinggalkan. Bahkan terkesan kita asingkan.
Sebuah ironi yang sama sekali tidak terpikirkan. Kalau Pesantren dijadikan
benteng, insya Allah tidak akan ada faham-faham yang melenceng di permukaan tanah
pertiwi ini. Bisa dipastikan jaringan terorisme tidak akan berkembang di negeri
ini”
“Kenapa harus pesantren?”
“Karena Pesantrenlah satu-satunya lembaga yang secara
khusus dan murni dalam mempelajari dan mengkaji islam secara menyeluruh dan
sempurna. Komunitas pesantren lebih mendalami dan menguasai hukum-hukum islam
yang sebenarnya. Ilmu yang ada dalam hati Guru besar Pesantren atau Kiai, itu
bersambung dengan Rasulullah. Ini karena beliau belajar kepada guru yang kalau
diurut ke atas akan samapai ke Nabi” mantap Riskia
“Waw, solusi cerdas dan universal banget. Tidak pernah
terpikirkan memang!” ada gurat penyelasan di wajah Hawa. Kini ada tumpukan
pekerjaan rumah yang harus ia kerjakan.
“Ada hal lain
yang menjadi pakem teroris?” Tanya Hawa, ia lekat memandang karibnya.
“Kenapa mereka
mengebom hanya di Jakarta dan Bali?” Hawa menggeleng. Lagi-lagi ia tercengang
“Karena mereka
ingin perhatian dunia. Islam adalah agama yang tertinggi dan kuat, itu pesan
yang mereka ingin tunjukkan pada masyarakat internasional. Khususnya Amerika
dan sekutunya. Faham yang kelirulah yang membuat mereka buta. Mereka tidak
mengerti kalau Islam adalah agama Rahmatan
Lil Alamin” Riskia menunduk, setitik
bening menggantung di pelupuk mata mahasiswi sastra Dr. Soetomo ini. Ya Allah..
sudah berapa ratus yang menjadi korban faham yang seharusnya diluruskan itu?.
“Yah, kita
harus meluruskan faham itu dengan mengembangkan kefahaman tentang Islam” suara
Hawa bersemangat.
“Altogether make a
move, from now on and from our own.” Hawa
mengangguk mengiyakan.
“Alhamdulillah, jam empat kurang seperempat. Kita sholat Ashar
dulu yuk? mumpung keretanya belum berangkat” ajak Hawa. Riskia mengangguk.
Mereka berdua berjalan menuju musholla kecil sebelah selatan stasiun.
“Sip” Riskia menoleh, tampaknya ia merasakan gelagat
tidak enak pada temannya itu.
“Jadi bahan
tulisanmu di koran kan?” todong Riskia dengan muka serius. Hawa cuman nyengir
ketika mengeluarkan handpone yang ternyata dibuat mereka perbincangan tadi
“Bakso pentol
besar dan es teller!” bicara Riskia tegas
“Komersil
banget sich?”
“Dari pada
saya tuntut tulisanmu nanti?”
“Apa kata
dunia?” sewot Hawa
“Dunia
mengatakan, kalau kamu harus membalas kebaikan sahabatmu”
“Ukh..” Hawa
tidak punya pilihan ketika melihat kepalan Riskia diangkat ke langit.
Satu lagi, ada kebijakan sampah di Jalan
Semarang Pasar Turi Surabaya, 22 November 2008 M.
H. R. Umar Faruq
(Dimuat di Majalah Kakilangit)
0 Response to "Jihadmu.. Dukaku.."
Posting Komentar