Reruntuhan Suramadu


Ajwa sedikit berlari ketika petugas pelabuhan mengintstruksikan kepadanya untuk segera bergegas menuju kapal. Karena sebentar lagi kapal itu akan berlayar.
“Cepat Mbak!” kata petugas seletah menyobek karcis yang diserahkan Ajwa
“Alhamdulillah” syukur Ajwa, sambil memegang kedua lututnya. Wanita berjilbab panjang itu tampak kelelahan setelah berlari-lari tadi. Kemudian ia tersenyum dan menaiki tangga kapal menuju ruang penumpang diatas dek dua.
Ajwa begitu asyik memandang riak-riak ombak kecil yang menjulangkan sinar emas kekuningan. Mata indah dara ini sangat lekat memandang laut selat Madura dari atas kapal Darma Feri yang membawanya dengan tenang. Seakan ia mampu berimajinasi dengan kilat-kilat keemasan pada riuk kuncup air yang terkena sinar matahari. Kapal yang berbentuk kotak itu menjadi satu-sautnya alat tranportasi orang Madura lewat kalau mau menyeberang ke Surabaya. Pun juga, bagi masyarakat manapun di jawa yang mau mengunjungi pulau yang masyarakatnya semua pemeluk agama Islam itu.
Cahaya yang kadang berwarwa perak dan kadang berwarna kekuningan pada julur air itu membuat mata bening Ajwa tidak bergeming menikmati secuil keindahan yang sangat mempesonakan baginya itu. Ia tidak menyangkal kalau Ernest Miller Hemingway menulis karya fenomenal trilogi besar yang terdiri dari The Sea When Young, The Sea When Absent dan The Sea in Being (yang belakangan akhirnya terbit pada 1952 dengan judul The Old Man and the Sea). Untuk salah satu trilogi-nya, The Old Man and The Sea sukses meraih Penghargaan Pulitzer di Amerika tahun 1953 dan Nobel di bidang sastra tahun 1954. Ajwa yakin kalau tokoh dunia yang dijuluki penulis paling jenius pada di abad 20 itu terimajinasi oleh alam. Seperti tarian air yang memesona di depannya.
@@@@@
"Aqua dingin Mbak.." tawar anak berumur kira-kira sepuluh tahun, badan kurusnya itu membawa dagangan asongan yang di bungkus plastik hitam besar.
"Allah..." hati Ajwa terenyuh melihat apa yang ada di hadapannya. Anak yang semestinya menikmati ilmu di bangku sekolah itu harus mengais rezeki bekerja keras di atas kapal ini. Ajwa hanya tersenyum pada anak itu yang lantas berlaluy dari depan Ajwa.
“Allah, jangan Kau perbanyak anak-anak senasib dengannya” desah Ajwa dalam sanubarinya.
"Putli... jangan menangis
Hapus ail mata di wajah cantikmu.."
Ajwa kaget. Dada gadis ini bergerumuh entah. Nyanyian polos dari anak kecil yang memegang kicik terbuat dari tutup botol yang telah di gepengkan itu membuat perasaan penulis berbagai cerpen ini terenyuh. Masya Allah... ibu mana yang sangat tega menyuruh anak yang seusia lima tahun itu mencari uang dengan meminta-minta? Saudara mana yang membiarkan anak itu terlunta-lunta? Atau tetangga mana yang tidak iba melihat gadis kecil itu? Mata Ajwa berkaca-kaca. Seumpama anak yang seharusnya bermain di taman kanak-kanak itu adiknya atau saudarinya?. Allah.. ia bersyukur untuk kesekian kalinya.
"Tidak sekolah dek?" tanya Ajwa setelah anak kecil itu menghampirinya dan menjulurkan plastik bekas tempat air mineral. Anak kecil itu hanya menggeleng.
"Sama siapa di sini?" Ajwa menaruh uang ribuan ke dalam plastik itu.
"Sendili" bocah yang kumal itu tersenyum melihat Ajwa mengisi gelas plastiknya.
"Tidak takut?" tanya Ajwa lagi. Mata cewek ini berkaca-kaca. Gadis cilik itu hanya menggeleng, lalu ia berlalu dari hadapan Ajwa, menggilir setiap penumpang di dek atas kapal itu dengan menadahkan tangan. Ajwa makin ternyuh, karena kadang bocah kumal itu di sentak oleh orang yang merasa terganggu dengan minta-mintanya. Gadis itu tersenyum ketika ada lagi yang menjulurkan uang ribuan pada gelas plastik anak kecil itu.
"Allah..." desah Ajwa dalam hati. Ia berdoa semoga saudara-saudarinya mendapatkan rejeki yang berlimpah dan di beri kesabaran oleh Allah dalam menjalani kehidupannya.
 Gadis berjilbab panjang ini kembali menikmati pemandangan pelabuhan Perak Surabaya dan pelabuhan Kamal Madura yang berada di tengah-tengah kapal yang ia tumpangi. Ratusan kapal yang sandar di Pelabuhan Gresik seakan ranting-ranting bambu yang menancap di lautan. Samar-samar sebagian daerah Gresik yang bisa di lihat dari atas kapal itu seperti gugusan hijau yang menyegarkan. Ajwa tersenyum melihat rumah-rumah kecil penduduk kota santri yang pernah ia singgahi itu.
“Allah..” betapa indah pemandangan yang Ajwa dapatkan sekarang. Bentangan pulau Madura yang menyisakan bintik-bintik merah rumah penduduk membuat Ajwa takjub atas pulau kelahiranya. Dekatnya dengan Gresik dan Surabaya membuat Ajwa tahu kalau selat Madura menjadi selat yang cukup strategis. Dan dara itu lebih tahu kalau diatas kapal yang cuma Tiga ribu Lima ratus rupiah itu ia bisa menikmati pemandangan indah itu semua dan berwisata secara gratis.
"Nasi dek.. " tawar ibu-ibu setengah baya padanya. Namun ia menggeleng pelan dengan senyuman. Hatinya kembali tersentuh dengan pemandangan ibu muda yang membawa dagangan berat di kepalany itu. "Allah..." ia kembali bersyukur dengan nikmat Allah yang tak terkira. Ada kekhawatiran di mata Ajwa, detak jantung pemudi ini mendadak berdetup dengan kencang, ketika Ajwa memandang ke arah timur tempat mega proyek jembatan Suramadu tertancap megah. Bintik-bintik samar dan kecil lalu-lalang kendaraan yang melintas diatas jembatan terpanjang di Asia Tenggara itu membuat Ajwa sesaat lamanya terpaku.
"Ya Allah selamatkanlah tanah Madura" rintihnya dalam hati. Ia tidak tahu, apa yang terjadi dan apa akibat dari jembatan yang berjarak Empat kilo setengah itu. Kerusakan moral di kota metropolitan, sangat bisa dipastikan akan menular ke tanah seribu langgar Madura yang masyarakatnya masih memegang teguh nilai-nilai ketimuran. Pergaulan besas yang berkiblat pada dunia barat yang sudah bukan hal tabu lagi, mungkin saja akan menggrogoti budaya Madura yang sangat menjunjung akhlakul karimah.
Mata Ajwa berair
Namun ia cepat menyeka wajahnya dengan jilbab dan berdoa
"Ya Robby... secepat inikah kau renggut ahklak di tanah kelahiranku? Robby.. kuatkan hati kami, sucikan hati kami. Sehingga tidak mudah terpengaruh dengan budaya-budaya yang akan menjauhkan kami dariMu. Robby.. tetapkanlah mutiara KhatulistiwaMu itu dalam kesucian dan kebeningan ridloMu" gadis itu juga berharap akan antipati para generasi di daerahnya untuk terus mebentengi kelestarian budaya Madura. Jangan sampai nafas-nafas akhlakul karimah terenggut dari pulau berpenduduk ramah tersebut. 
Senyum dara jelita ini mengembang ketika pandangannya menemukan patung Jendral yang tampak gagah dengan sebuah pedang yang dipegangnya. Patung raksasa yang mengenang salah satu Jenderal besar negara republik Indonesia itu tampak sangat gagah tegak di antara puluhan kapal perang TNI angkatan laut yang berjejer tangguh di bawahnya. Ajwa bersyukur, negara tercinta ini jauh dari penjajahan yang terjadi setengah abad yang lalu. Entah akan jadi apa kalau bumi pertiwi ini masih di jajah oleh bangsa kolonial.
“Alhamdulillah...” kini, markas komando terbesar di kawasan Indonesia Timur yang berada di depannya itu menjadi kebanggaannya. Kapal-kapal yang terlihat kokoh dan gagah menandakan Negara tercinta ini sudah bisa mempertahankan keamanan negara dari serangan musuh.
“Ya Allah, tetapkanlah negara kesatuan republik Indonesia ini dalam kemerdekaan. Merdeka dari kemiskinan, merdeka dari kemaksiatan, dan merdeka dari kemorosan moral. Amin.. ” Ajwa beranjak ketika semua penumpang mulai turun dari tangga. Ajwa melemaskan badannya. Surabaya ada di depannya. Ada berjuta harapan yang terselip dalam hatinya untuk kota Pahlawan itu. Walau ia tak kuat memandang wajah Surabaya, harapan itu terus ada dan tumbuh dalam sanubarinya.
“Surabaya, kapan kita menyulam cahaya?” itulah sedesah harapan santriwati itu.

*Sekecil apapun perasaan Anda. Keluarkanlah. Niscaya Anda akan menemukan sebuah anugerah.

H. R. Umar Faruq
(Dimuat di Majalah Langitan)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Reruntuhan Suramadu"