Belajar Tawaduk Kepada Abi


Abi, begitu saya memanggil beliau, kepala keluarga di rumah sederhana kami. Tenang, ulet, bahasanya teduh, sabar, dan tawaduk, begitulah karakter beliau. Abi, ayah sekaligus guru saya, yang selalu saya rindukan..
Berbicara tentang tawaduk, merupakan sifat rendah diri, husnuzon dan menghormati orang lain. Imam Al-Ghazali dalam Ihya'nya menulis, "Orang yang tawadu' adalah, ketika ia bertemu orang lain, merasa orang lain itu lebih utama dari dirinya."
Melihat Abi, sungguh, saya merasa malu, dan belum bisa setawaduk beliau, selalu merendahkan bahunya kepada orang lain, kepada keponakan-keponakannya saja beliau berbicara halus (kromo), bahkan ke anak-anaknya, beliau sering merasa lebih rendah. Subhanallah..
Apalagi kepada para guru, sungguh luar biasa. Abi bahkan sering jalan kaki dari Madura ke Surabaya (PPRM Jatipurwo) untuk mengikuti pengajian Minggu Awal. Kepada para putra dan cucu gurunya, beliau sangat tawaduk. Karena rindu dan kecintaannya kepada guru dan dzurriyahnya, saya sering melihat Abi menitikkan airmata ketika memandang foto guru dan dzurriyahnya. Indah sekali, keharuan istimewa yang mengikat hati murid dan gurunya.. Saya belum bisa seperti Abi..
Tawaduk dan cinta Abi kepada guru dan dzurriyahnya, menjadikan anak-anak Abi mendapat keberkahan ilmu. Hampir semua anaknya berpendidikan sarjana, tamat di pesantren, dan menyebarkan ilmu di daerah masing-masing. Padahal Abi tidak bekerja. Semoga ilmu saya, adik-adik, menjadi pahala yang mengalir kepada Abi dan Ibu, dua sosok super hero kami, anak-anaknya..
Kalau Anda punya guru, tawaduk dan cintailah, kepada keluarganya juga, sebagaimana cinta dan tawaduk para sahabat kepada gurunya, Rasulullah Saw.
Semoga diberi keberkahan ilmu dan kemudahan dunia akhirat. Amin..

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Belajar Tawaduk Kepada Abi"