Indonesia Hebat, Bila tanpa Sekolah Negeri
Sebelumnya, mari kita
sejenak mengheningkan cipta, mengingat nama-nama guru yang pernah mengajar
kita, tidak ada kata “mantan” untuk seorang guru, seorang guru tetaplah seorang
yang harus kita muliakan, selamanya.
Membahas tentang
pendidikan, berarti kita menelaah proses manusia untuk menjadi lebih
berkembang, terlepas dari kebodohannya, dan sebuah makna dari perkembangan
lebik baik. Penddikan (baca: sekolah) hanya sebuah institusi kecil yang membantu
pendidikan anak, mempermudah tanggungjawab keluarga dan masyarakat sebagai
ranah utama pendidikan. Sebaik apapun sekolahnya, kalau keluarga dan
masyarakatnya tidak mendukung (proses) tumbuhnya anak, tujuan pendidikan
(menjadi orang berilmu) mustahil diwujudkan.
Dengan demikian,
sekolah bukanlah pemegang penuh tanggungjawab atas baik atau buruknya kualitas
sebuah anak, apalagi menjamin kematangan karakternya. Karena makna pendidikan
adalah waktu belajar yang tidak mengenal batas dan waktu. Pendidikan merupakan kesempatan untuk menemukan nilai akademik atau
sumber daya diri yang dicari, bisa didapat dari siapa saja, kapan saja, dan di mana saja.
Sekolah
Negeri Jaminan?
Judul di
atas saya tulis tidak bermaksud untuk menyinggung siapapun, mengkritik
siapapun, karena saya menulis dengan niat untuk berbagi, mungkin apa yang akan
saya sampaikan bisa sedikit “mengobati” kekhawatiran dan kecemasan ribuan wali
murid dan jutaan siswa yang berjubel berbondong-bondong mendaftar ke sekolah
negeri ketika tahun pelajaran baru.
Sekolah
negeri menjamin?, pertanyaan ini pernah saya sampaikan kepada beberapa teman
yang mengajar di sekolah negeri (baca: pemerintah), semua tidak mempunyai
keyakinan seratus persen bahwa, wajah pendidikan bisa menjadi jaminan kualitas
siswanya.
Seperti
yang saya sampaikan di atas, makna pendidikan begitu luas, proses pencarian
peserta ddik (murid) atau pencari ilmu. Pendidikan tidak saja identik dengan belajar di kelas, mengandalkan fasilitas lengkap dan guru dengan lembaran teori. Menurut
saya, ini sebuah pemikiran yang sempit.
Pendidikan
adalah napas kehidupan,
seluruh aspek hidup seharusnya dijadikan ajang untuk keberhasilan mengulik ilmu
pengetahuan, dunia sekarang dunia tanpa batas (baca: web 0.2), banyak sekali
informasi yang memuat tentang orang-orang sukses tanpa legalisir ijazah. Sekolah
hanya 20 persen pendukung, selebihnya ditentukan oleh sejauh mana peserta didik
(pencari ilmu) kuat dalam faktor intelektual dan emosionalnya.
Menjadi
percuma bila belajar di sekolah negeri dengan fasilitas ‘wah’ hanya membuat
pemikiran pelaku pendidikan (wali murid, guru, murid, dll) menjadi terbatas dan
penuhanan ijazah?. Kalau hanya cari ijazah, di negeri ini ‘surganya’, tinggal
sediakan uang banyak, ijazah bonafit sudah bisa didapatkan. Saya tidak
menyarankan, tapi begitulah fenomena yang sering saya lihat. Semoga di tempat
Anda tidak demikian.
Negeri
va Swasta
Sekolah swasta, juga
disebut sebagai sekolah independen,
tidak dikelola oleh pemerintah daerah, negara bagian atau nasional; mereka memeroleh hak
untuk menyeleksi siswa dan didanai seluruhnya atau sebagian
dengan membebankan biaya sekolah kepada siswa, dadripada bergantung dana pemerintah. dll.http://id.wikipedia.org/wiki/Sekolah_swasta.
Silahkan simpulkan sendiri untuk penjelasan sekolah negeri seperti apa.
Sudah lama, saya mendengar bahwa pendidikan
Islam biayanya sangat murah, tunjangan atau gaji
gurunya murah, sistem pendidikan ala kadarnya, administrasi njlimet, mengajar
sekenanya, dan kesemrawutan lainnya. Bila tahun ajaran baru,
sekolah swasta tidak usah repot-repot mencari siswa, karena akan banyak
“buangan” dari sekolah negeri sekitar. Malah, mendekati UNAS “siswa buangan”
masih akan berdatangan.
Dahulu, ketika mendengar keluh-kesah teman yang
mengajar di lembaga swasta, saya tidak begitu memperhatikan. Namun, sekarang agak
terasa berbeda, ketika terjun dan merasakan langsung, saya menemukan kesimpulan
bahwa, pendidikan swasta (agama) memang benar-benar kurang begitu diminati
(sebesar apapun nama instansi yang menaunginya), sebut saja kurang diperhatikan
pemerintah. (ini hanya kesimpulan saya, semoga di tempat Anda atau Anda sendiri
menemukan kesimpulan yang lebih baik, amin)
Saya tidak mau membahas sebagaimana kebanyakan
orang, mempertanyakan atau mengkritik birokrat, Islam tidaknya mereka, atau
melayangkan stetmen yang memojokkan pemerintah. Biarlah, kita nikmati saja
sistem pendidikan negara seperti ini. Islam tetaplah sebuah agama, dan Allah
sudah menjamin ketinggian derajatnya, tapi disayangkan bila sistem
pendidikannya dikelola dengan buruk, bisa jadi, hal itu sebuah “penghinaan”
kepada agama. Semoga pemerintahan baru
ini benar-benar merubah, sampaikan salam saya atau suruh baca status saya ini.
Serius!.
Lantas, apakah tidak penting pendidikan agama?
Mantan Menteri Pendidikan M. Nuh yang mendeklarasikan K-13
beserta para pakar bukan tanpa alasan, beliau dan para pakar pendidikan telah
menakar dan merumuskan pentingnya pendidikan karakter dan bekal pengetahuan
ketuhanan kepada siswa bangsa ini. Generasi tanpa bekal agama dan karakter berakhlak, mau
jadi apa negeri ini?, komunis?, atheis?. Dan, itu banyak dicounter oleh lembaga
pendidikan Islam. Kenapa pendidikan Islam belum
juga mendapat perhatian?, anggap saja itu “karakter” pendidikan Indonesia. Lebih mengedepankan
pendidikan umum (kulit), agama atau spiritual?, belakangan saja.. :D
Lembaga pendidikan Islam sekarang seperti
"tempat sampah" pendidikan berbasis negeri,
bila di sekolah negeri tidak diterima, sekolah swasta Islam menjadi penampung.
Begitulah, bila Anda tidak percaya, bisa ditanyakan atau datang ke sini, nanti
saya buktikan. Kalau "sampah" itu yang belajar Islam, lantas,
bagaimana jadinya pendidikan negara ini?, beragama yang baikkah?. Okelah,
lupakan, ini hanya masalah biasa, bukan seserius seperti kenaikan BBM atau eforia presiden baru yang semarak.
Saya terenyuh karena sebagaian masyarakat
mempunyai opini tidak lebih sama, ketika saya bertemu seseorang bapak, beliau
bertanya, “Adik, guru
sekolah negeri?” saya jawab dengan mantap, “Saya guru sekolah swasta!” bapak tadi tersenyum sinis meremehkan. Lain hari, ketika saya mengisi seminar di sebuah kota,
bapak itu mendatangi saya dan meminta maaf. Mungkin, beliau merasa malu, nara
sumbernya guru swasta, sedangkan ia yang guru negeri menjadi peserta seminar.
Ah, anggap saja itu kebetulan belaka. :D
Melihat keadaan
pendidikan negeri ini, seperti berjalan di gang buntu. Tentu, semua punya
alasan untuk membenarkan opini masing-masing (mungkin para pakar yang
bermunculan bak jamur menghabisi tulisan saya ini dengan teori-teori akademik mereka),
tapi, masalah “tersingkirnya” pendidikan Islam sudah rahasia umum.
Sekolah-sekolah negeri semakin banyak berdiri dan megah, sedangkan
sekolah-sekolah swasta makin kumuh, melengkapi fasilitasnya dengan susah payah,
dan sudah biasa menjadi “tempat sampah”. Bila guru sekolah negeri rapi dan
berkantong tebal, guru swasta berseragam sekenanya dan kelimpungan mencari
bisnis sampingan memikirkan biaya keluarganya. Prasarana dan sarana sekolah
negeri dan sekolah swasta sangat jauh, Anda bisa lihat sendiri. Lantas, siapa
sebenarnya yang semestinya mendapatkan pendidikan layak?, apa jadinya jutaan
siswa sekolah swasta yang bersekolah tidak mendapatkan fasilitas sesuai dan
standar?. Melihat hal ini, rasa optimis saya sering hilang.
Okelah, saya terima
alasan bahwa membenahi pendidikan semua sekolah bangsa bukan hal mudah, tapi,
masalah ini sudah sangat lama, pengakuan teman saya belasan tahun yang lalu, sudah
ribuan (mungkin jutaan) siswa yang lulus dari pendidikan tak layak dengan
kualitas seadanya, mungkin sekarang mereka duduk manis di kursi empuk gedung
mewah, menjadi salah satu anggota dewan atau pejabat birokrasi.
Yang Lebih Hebat
Saya setuju dengan
sebuah opini, tidak usah berkeluh kesah dengan keadaan sistem pendidikan dalam
negeri, diperhatikan atau tidak oleh pemerintah, lebih baik masing-masing
lembaga berbenah diri, merapikan manajemen sekolah, dan memperbaiki proses
belajar mengajar yang terbaik bagi siswanya. Hal demikian saya dengar lebih
dari dua belas tahun yang lalu (sebelum saya mengajar), sekarang buktinya?. Seperti
biasa, swasta memang “sekolah pinggiran”, biarlah demikian sampai waktu tak
terbatas.
Ketika mengikuti pembinaan
di kanwil kementrian agama di Surabaya bulan lalu, nara sumber yang termasuk
pengurus wilayah berkeluh kesah tentang masih jauhnya hasil pendidikan wilayah
(swasta), seperti biasa, beliau menyarankan kepada lembaga swasta untuk
bersabar dan bersemangat karena keterbatasan.
Saya hanya punya sebuah
mimpi, mungkin Anda bisa menyampaikan kepada Menteri Pendidikan baru atau Presiden
baru -saya sangat berterima kasih sekali, bahwa, bagaimana semua lembaga
pendidikan di bawah satu komando, satu kendali, slogan “swasta dan negeri”
dihapus, pengelolaan institusi pendidikan di bawah satu naungan. Kenapa begitu?,
agar adil, alasannya?, inilah yang dicita-citakan Pancasila (Anda pasti hafal).
Seperti yang
disampaikan salah satu pakar pendidikan, silakan baca di sini:
Dengan demikian, tidak
ada lagi gengsi dalam bersekolah (sekolah kok mencari gengsi?, mau jadi apa
bangsa ini?), pengelolaan atau pengadaan prasarana dan sarana semua sekolah
merata, sistem tidak lagi semrawut karena satu pintu, perencanaan jenjang dan
kurikulum jelas, kualitas guru bisa diakomodir dengan mudah tidak asal-asalan
kuantitasnya. Sulit? Tidaklah, bukankah Indonesia ini berjibun pakar?, sistem ITnya?,
progamer sudah tidak terhitung. Semua bisa diatur dan sederhana (slogan
presiden baru), tinggal bagaimana keseriusan dan kesadaran untuk bergerak
bersama, kepentingan pendidikan bermartabat di atas segalanya. Bila demikian,
saya berani bermimpi bahwa, Indonesia akan melahirkan ilmuan-ilmuan kelas
dunia, pun, dunia akan “bersekolah” kepada kita, tidak seperti sekarang,
pendidikan luar negeri menjadi acuan dan gengsi, pendidikan Indonesia?, mungkin
bisa pada seribu tahun lagi, saat tahun 3014.
Terakhir, saya dan
mungkin teman-teman, juga para wali murid mempunyai harapan yang sama, harapan
akan kemajuan pendidikan bangsa ini. Semua yang saya paparkan dari atas biarlah
Anda sendiri yang member kesimpulan. Saya tutup ulasan kali ini dengan kalimat
keren teman saya, guru swasta sebuah lembaga desa di pulau seribu satu langgar Madura,
“Saya tahu, dan mungkin
kau juga tahu, pendidikan swasta seperti langit dan bumi bila disejajarkan
dengan pendidikan negeri. Seminim apapun fasilitas dan tidak layaknya sarana
dan prasarana sekolah swasta, aku tetap harus terus mengajar setulus mungkin,
member semangat kepada anak-anakku di sekolah untuk menjadi generasi terbaik,
generasi yang berkarakter tangguh, membanggakan, berprestasi dan beriman kepada
Allah”
Amin ya Rabbalalamin…
0 Response to "Indonesia Hebat, Bila tanpa Sekolah Negeri"
Posting Komentar