Warung Tetangga


2006 lalu, ketika saya baru datang ke daerah ini (Lamongan-Tuban-Bojonegoro), tidak terlalu banyak ditemukan minimarket. Sekarang, hampir di setiap jalan, ditemukan minimarket dengan berbagai corak, okelah, lain dahulu, lain sekarang. Mungkin saja, paradigma "kapitalis" sudah menjadi "budaya", budaya yang saya katakan "tiruan".
Kalau kita lihat, minimarket yang seperti jamur, menjajakan model belanja yang lengkap, mewah, dan modern. Dimana pelanggan dimanjakan dengan sistem marketing bergengsi dan murah (katanya).
Gencarnya pertumbuhan minimarket, membuat warung-warung tetangga seperti hiasan yang menunggu waktu saja ia tutup. Iya, warung tetangga, sebelah rumah kita, yang penjualnya terkadang orang dekat, saudara, atau mereka-mereka yang kerap membantu. Kalau minimarket?, siapa pemiliknya?, bagaimana orangnya?, saya jamin, Anda tidak tahu.
Perbedaan yang ada, ketika kita belanja di minimarket, kita hanya bertemu dengan karyawan, tidak mengenalnya pula. Kalau belanja di warung tetangga?, berarti kita telah bersosialolisasi dengan sekitar, merekat kebersamaan, dan tentu, membantu meningkatkan ekonomi warga sendiri. Toh, soal harga, tidak beda jauh. Hanya " bungkus" saja, benar, hanya "kulitnya" saja yang membedakan.
Saya tidak sedang melarang Anda pergi ke minimarket, mall, atau hypermarket. Tapi mari kita renungkan, bahwa, sering belanja di minimarket, berarti kita membesarkan bisnis mereka, bisnis "kapitalis", yang kadang bukan milik orang pribumi. Bisa jadi, malah " menghancurkan" perdagangan masyarakat kecil, seperti warung, warteg, dan pasar tradisional. Bisa jadi...

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Warung Tetangga"