Pasarean Aermata Iboe
Mengunjungi situs makam para Raja Madura Barat
Menjadi adat bagi masyarakat
Madura pada setiap Kamis sore atau malam Jum’atnya pergi ke makam-makam sesepuh
untuk mengirim doa. Saya ingat, setiap kamis
sore saya bersama teman-teman sebaya setelah pulang dari Madrasah Raudlatul
Ulum Al Jazuli (salah satu Madrasah tua di kecamatan Arosbaya), kami berangkat menyusuri
pematang sawah desa untuk berziarah ke makam Ratu Iboe. Hanya sepuluh menit berjalan
kami sampai di pintu gerbang kuno makam, kemudian menaiki 44 anak tangga dan melewati empat gerbang sebelum memasuki
komplek pemakaman yang terletak di puncak bukit kecil pada ketinggian sekitar
30 di atas permukaan laut (mdpl) dengan dikelilingi pagar batu besar yang
sampai sekarang masih kokoh.
Komplek makam Aermata Iboe berada di Desa
Buduran, kecamatan Arosbaya, kabupaten Bangkalan. Hanya 11 km dari kota
Bangkalan, yang menjadi gerbang masuk pulau Madura. Sebelum menuju makam Ratu
Iboe, kami bertawasul dahulu di makam Raden Tahlil salah satu sahabat Sultan
Cakraadiningrat I alias Raden Abdurahman yang menurut para orang tua adalah
nenek moyang masyarakat desa Buduran, Tambegan, Paserean dan sekitarnya.
Tempat Istirahat Para Raja Madura
Setelah dari Raden Tahlil, kami berjalan
keutara. Di tempat ini, ada tiga tingkat kompleks cungkup dengan cungkup makam
Ratu Iboe berada di tingkat paling atas, untuk menuju tingkat yang lebih tinggi
kita harus melewati gerbang kecil dengan 5 anak tangga.
Di dua cungkup itulah tempat beristirahatnya
para Raja Madura Barat abad ke-16 hingga abad ke-19. Menurut sejarah, raja-raja
tersebut adalah tujuh turunan dari Ratu Iboe. Sedangkan di cungkup paling utara
tempat makam Ratu Iboe, ada beberapa makam yang tidak ada nama di batu
nisannya. Ratu Iboe Syarifah Ambami permaisuri Raja Cakraningrat I, begitu
jelas tertulis di papan hijau berukiran bunga kuning emas khas kerajaan Madura.
Makam ini sekarang dikeramatkan oleh warga dengan memasang pagar besi dan
selambu hijau tua mengelilinginya.
Simbol Kerukunan Antaragama
Daya tarik dari situs bersejarah ini adalah,
kita akan menjumpai pagar bebatuan delis warna putih yang mengitari makam,
batu-batu itu disusun rapi, tanpa menggunakan perekat semen seperti bangunan
candi-candi tua di Jawa.
Motif dan ukiran makam raja-raja dari Keraton
Plakaran, Bangkalan, yang hidup pada era Dinasti Panembahan Cakraningrat I alias
Raden Praseno memang unik dan menarik. Yaitu susunan batuan delis pada pintu
gerbang kedua, dan enam cungkup di dalam kompleks, cungkup peringgitan tempat
menerima tamu peziarah, cungkup tempat penyimpanan senjata dan sisa perabotan
peninggalan kerajaan, cungkup para juru kunci, serta tiga cungkup utama tempat
bersemayamnya para raja. Hiasan memolo dan kemuncak di puncak atap
masing-masing cungkup juga menawarkan keelokan desain.
Bila lebih teliti, ternyata Pesarean Aermata
Iboe menyimpan historis kerajaan Madura yang mengedepankan kerukunan beragama.
Karena di antara ragam bentuk seni ukir, tersisip ukiran bunga teratai (simbol Budha),
miniature Ganesha (simbol Hindu), serta ukiran kaligrafi Arab sebagai simbol
Islam. Tiga simbol ini saling bertaut menggambarkan penekanan tentang kerukunan
antar umat beragama pada masa pemerintahan Panembahan Cakraningrat I pada lima abad
yang silam.
Tempat Tangisan Sang Ratu
Legenda tanah Madura menyebutkan, Ratu Iboe
atau Syarifah Ambami masih keturunan Sunan Giri adalah permaisuri Raja
Cakraningrat I yang taat, patuh dan mencintai suaminya. Sedangkan Raja
Cakraningrat I adalah raja yang sangat dihormati dan diagungkan oleh masyarakat
Madura pada masanya. Raja Cakraningrat I memimpin Madura pada tahun 1624 atas
perintah Sultan Agung dari Mataram.
Karena kepandaian dan kepiawaian Raja
Cakraningrat I sebagai pemimpin, Sultan Agung Mataram meminta Raja Cakraningrat
I membantu membangun kerajaan Mataram. Karena sering ditinggal, Ratu Iboe
merasa sedih dan memilih bertapa (menyepi) di bukit Buduran. Dalam
pertapaannya, Ratu Iboe memohon kepada Yang Maha Kuasa agar suaminya tetap
sehat dan kelak tujuh turunannya bisa menjadi pemimpin Madura. Betapa
berbunga-bunga hati Ratu Iboe ketika pada suatu malam didatangi oleh Nabi Hidir
as dan memberitakan bahwa Allah mengabulkan doanya.
Namun, Raja Cakraningrat I justru marah dan
kecewa dengan kabar dari Ratu Iboe setelah sang Raja pulang ke Madura. Raja
Cakraningrat I kesal karena istrinya berdoa hanya untuk tujuh turunannya,
karena Raja Cakraningrat ingin semua keturunannya menjadi pemimpin Madura.
Melihat hal tersebut Ratu Iboe sedih dan merasa
bersalah. Saat suaminya kembali ke Mataram, Ratu Iboe kembali kepertapannya.
Saat bertapa Ratu Iboe terus menangis tanpa henti siang dan malam hingga wafat,
hingga konon air matanya membanjiri daerah itu dan membentuk sebuah sendang dan
sumber air sumur.
Sampai
sekarang, sendang dan sumur itu masih ada dan airnya tidak pernah kering walau
musim kemarau panjang dan tidak pernah habis walaupun peziarah dan warga tiap
hari menimbanya. Air sendang dan sumur ini diyakini sejumlah penduduk
berkhasiat menyembuhkan penyakit.
Di samping peninggalan sejarah bernilai tinggi,
keunikan seni arsitektur pahatan batu menjadikan suasana makam ini begitu
sakral dan mistis. Pada hari libur atau besar, komplek pemakaman Ratu Iboe
tidak hanya diziarahi masyarakar Madura dan Jawa, tapi dari luar Jawa bahkan
luar negeri. Seharusnya menjadi penting melihat pembelajaran dari situs
bersejarah ini tentang bagaimana sosok mulia Ratu Iboe dan pesan kerajaan
Madura Barat yang menekankan pentingnya kerukunan antar agama. Wallahua’lam
(Dimuat di Majalah Langitan edisi 55)
0 Response to "Pasarean Aermata Iboe"
Posting Komentar