Syekh Sulaiman Ar Rasuli Al Minangkabawi
Ulama Masyhur
dari Tanah Minang
Perjalanan
sejarah Islam di nusantara tidak dapat dipisahkan dengan kiprah para tokoh
agama (Ulama) yang giat menyebarkan wakwah islamiyah di belbagai daerah. Salam
satu daerah yang merupakan kelahiran Ulama-ulama besar terkemuka yang tidak
hanya masyhur di Indonesia tapi juga ranah internasional adalah wilayah
Sumatera. Di antara ulama besar itu Syekh Sulaiman Ar Rasuli dari Minangkabau. Tidak hanya
gigih membela madzhab Syafii (ahlu sunnah wal jamaah), Ulama seangkatan dengan
Syekh Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) ini dikenal dengan sosok yang
sederhana dan pemersatu Ulama di tanah Sumatera.
Putra
Minang
Beliau
lahir pada Ahad malam Senin tanggal 10 Desember 1871 M bertepatan bulan
Muharram 1297 H di Surau Pakan Kamis, Nagari Canduang Koto Laweh,
Kabupaten Agam, sekitar 10 km.
sebelah timur Bukittinggi, Sumatra Barat. Dari
seorang ibu bernama Siti Buliah, suku Caniago, seorang perempuan yang taat
beragama. Kakeknya (ayah dari ayahnya) juga seorang ulama yang berpengaruh di
kampungnya, yaitu Tuanku Nan Pahit. Jadi, Syekh Sulaiman lahir dari keluarga yang taat beragama dan
pendidik di tengah-tengah masyarakatnya.
Maulana Syekh Sulaiman
Ayahanda Syekh Sulaiman adalah Angku Mudo
Muhammad Rasul, adalah seorang ulama yang disegani di tanah Minangkabau. Oleh
penduduk sekitar, Syekh Sulaiman didipanggil dengan sebutan "Inyik
Candung", namun oleh murid-murid beliau, Syeikh Sulaiman dikenal dengan
nama Maulana Syekh Sulaiman.
Sejak kecil beliau memperoleh pendidikan agama
dari ayahnya dan belajar kepada Syeikh Yahya al-Khalidi Magak, Bukittinggi,
Sumatera Barat. Pada masa itu, masyarakat Minang masih menggunakan sistem
pengajian surau dalam bentuk halaqah sebagai sarana transfer pengetahuan
keagamaan.. Kemudian meneruskan studi ke Mekah.
Bumi
Seribu Ilmu Mekah
Selain
menjadi kiblat umat muslim, Mekah adalah salah satu tujuan studi agama tidak
hanya bagi penduduk nusantara, tapi juga masyarakat dunia berbondong-bondong
mengaji ke Ulama-ulama Masjidil Haram. Di Mekah, Syekh Sulaiman berguru pada
Ulama Minang yang tinggal di Tanah Suci, seperti Syeikh Ahmad Khatib Abdul
Lathif Al-Minangkabawi. Guru yang lain Syekh Sulaiman di antaranya adalah, Syeikh Wan
Ali Abdur Rahman al-Kalantani, Syeikh Muhammad Ismail al-Fathani dan Syeikh
Ahmad Muhammad Zain al-Fathani, Syeikh Ali Kutan al-Kelantani, dan beberapa
ulama Melayu yang bermukim di sana. Juga di tahun 1903 ketika pertama kali naik haji,
beliau menuntut ilmu pada Syekh Mukhtar ‘Atharad
as-Shufi, Syekh Usman al-Sirwaqi, Syekh Muhammad Sa’id Mufty al-Syafe’i, Syekh
Nawawi Banten, Syekh Ali Kutan al-Kelantani, Syekh Ahmad Muhammad Zain
al-Fathani, Said Ahmad Syatha al-Maki, Said Umar Bajaned, dan Said Babasil
Yaman.
Ulama seangkatan dengannya antara lain adalah,
Syekh Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang Jawa Timur (1287 H/1871 M - 1366 H/1947
M), Syeikh Hasan Maksum, Sumatra Utara (wafat 1355 H/1936 M), Syeikh Khathib
Ali al-Minangkabawi, Syeikh Muhammad Zain Simabur al-Minangkabawi (sempat
menjadi Mufti Kerajaan Perak tahun 1955 dan wafat di Pariaman pada 1957),
Syeikh Muhammad Jamil Jaho al-Minangkabawi, Syeikh Abbas Ladang Lawas
al-Minangkabawi dan lain-lain.
Pesantren dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah
(PERTI)
Sekembali
dari Mekah, di tanah air Syekh Sulaiman menyebarkan ajaran Islam dengan sistem
lesehan (duduk bersila). Baru pada tahun 1928 beliau menggunakan bangku. Dalam waktu
singkat, pesantren yang beliau adakan mendapat dukungan dari masyarakat
sekitarnya dan bertambahnya jumlah murid yang menuntut ilmu. Murid-murid yang
belajar kepada Syekh Sulaiman tidak hanya berasal dari daerah setempat, juga
datang dari berbagai wilayah Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Tapanuli,
Aceh, dan bahkan, ada dari Malaysia.
Pada
tahun 1928 juga, bersama Syeikh Abbas Ladang Lawas dan Syeikh Muhammad Jamil
Jaho menggagas berdirinya organisasi yang sempat menjadi partai politik, yaitu
Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) memperjuangkan dakwah islamiyah,
pendidikan, dan social, organisasi ini mengusung prinsip satu madzhab, yaitu
madzhab Imam Syafii. Pada tahun 1942 tercatat sekitar 300 sekolah PERTI
dengan murid sekitar 45.000 orang (Hasril Chaniago,
2010: 474).
Kiyai Haji Sirajuddin Abbas dalam bukunya,
Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafie, menulis, “Beliau seorang ulama besar yang
tidak menerima faham Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.” (Lihat cetakan kedua,
Aman Press, 1985, hlm. 298.)
Pemersatu
Ulama Sumatera
Bersama dua temannya, Syeikh Abbas Al Qodhi dan
Syeikh Muhammad Jamil Jaho, serta sejumlah ulama kaum tua (golongan ulama yang
tetap mengikuti salah satu dari empat madzhab dalam fiqh: Maliki, Syafii,
Hanafi, dan Hanbali) Minangkabau, pada tahun 1921 M, Syekh Sulaiman membentuk
organisasi bernama “Vereeniging Ittihadul Oelama Sumatera” (VIOS)
sebagai wadah
berkumpulnya para ulama Sunniyah-Syafi’iyyah. Organisasi ini bertujuan membela dan
mengembangkan paham ahlus sunnah wan jamaah madzhab Syafii. Salah satu
kegiatannya menerbitkan majalah al-Radd wa al-Mardud sebagai sarana untuk
menjelaskan serta mempertahankan paham Ahlussunnah waljamaah madzhab Syafii.
Seorang Alim
Kedalaman dan keluasan ilmu Syekh Sulaiman
sudah tidak terbantahkan, beliau menulis beberapa karya, karya-karya ini juga
banyak dipelajari oleh para pelajar Muslim, di Munangkabau, Sumatera dan
beberapa kawasan Nusantara lainnya. Antara lain adalah :
1. Dhiyaus Siraj fil Isra‘ Walmi‘raj
2. Tsamaratul Ihsan fi Wiladah Sayyidil Insan.
3. Dawaul Qulub fi Qishshah Yusuf wa Ya‘qub
4. Risalah al-Aqwal al-Washitah fi Dzikri
Warrabithah
5. Al-Qaulul Bayan fi Tafsiril Quran
6. Al-Jawahirul Kalamiyyah.
7. Sabilus Salamah fi wird Sayyidil Ummah
8. Perdamaian Adat dan Syara‘.
9. Kisah Muhammad ’Arif
Syekh Sulaiman juga dipercayai oleh masyarakat
Minang sebagai penggagas landasan kemasyarakatan islami di Sumatera Barat dalam
adagium “adat bersendikan Syara’, Syara’ bersendikan kitabullah.”
Kharismatik
Pasca
kemerdekaan, pengaruh Syekh Sulaiman sebagai tokoh nasional terlihat ketika
beliau dilantik sebagai anggota Konstituante dari PERTI, badan konstituante
dibentuk pemerintah pada tahun 1950-an saat mengadakan pilihan raya, lembaga
konstituante yang Syekh Sulaiman dipilih sebagai pimpinan sidang itu didirikan
untuk menyusun Undang-undang Dasar permanen, menyempurnakan UUD 1945 yang
disusun sebagai UUD sementara menjelang kemerdekaan Indonesia. Konstituante ini
kemudian
dibubarkan oleh Presiden Soekarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Bendera Setengah Tiang
Hari Sabtu, tanggal 28
Rabi’ul Akhir 1390 H/1 Agustus 1970, Syekh Sulaiman ar-Rasuli wafat dalam usia
99 tahun. Ribuan pelayat yang mengantarkan jenazahnya ke pemakaman di halaman
madrasah induk yang asli dari MTI Canduang. Gubernur Sumatera Barat, Harun
Zein, Panglima Kodam II/17 Agustus dan pejabat pemerintah lainnya, sipil dan
militer, kaum muslimin dari berbagai penjuru, hadir pada pemakaman itu, karena
radio telah menyiarkannya.
Bahkan Gubernur Sumatera
Barat, Harun Zein, memerintahkan agar pemerintah dan rakyat mengibarkan bendera
setengah tiang selama delapan hari penuh, sebagai tanda belasungkawa yang
dalam. Di hari itu, sedang berlangsung pula seminar sejarah Islam di
Minangkabau yang dihadiri oleh sejumlah cendikiawan, termasuk Buya Hamka.
Mendengar wafatnya Syekh Sulaiman ar-Rasuli, beliau langsung menuju Canduang
dan shalat jenazah di atas pusara.
Tahun 1975 Gubernur
Sumatera Barat menanugerahkan piagam penghargaan sebagai ”Ulama Pendidik” yang
diserahkan kepada ahli waris Syekh Sulaiman, beliau juga juga pernah menerima
penghargaan ”Bintang Perak” dari Pemerintah Belanda dan ”Bintang Sakura” dari
Pemerintah Jepang. Bahkan ulama besar Minangkabau ini ditetapkan pemerintah
sebagai salah seorang Perintis Kemerdekaan pada tahun 1969.
Menjelang wafat, banyak pesan
berharga yang Syekh
Sulaiman sampaikan pada keluarga dan murid-muridnya. Satu di
antaranya, dirumuskan dalam kalimat ”Teroeskan
Membina Tarbijah Islamijah Ini Sesoeai dengan Peladjaran yang Koe Berikan”, dan rumusan pesan
itu kini terukir di atas pusaranya. Al Fatihah..
(Dimuat di Majalah Langitan edisi 54)
0 Response to "Syekh Sulaiman Ar Rasuli Al Minangkabawi"
Posting Komentar