Mbah Ijah dan Nasi Boran
Setiap sore Solikin terlihat di pinggiran trotoar Plaza Lamongan membeli nasi boran Mbah Ijah. Ia seperti tidak mau membeli kepada penjual sego boranan pada yang lain, karena bila Mbah Ijah belum datang, ia akan menunggu sambil membaca buku tebal yang biasa ia bawa. Pak Herman salah satu pegawai swasta negeri yang setiap sore hari membeli nasi boran di sepanjang jalan di sana merasa penasaran melihat kebiasaan pemuda tanggung itu.
Dirasa menemukan kesempatan untuk bertanya, Pak Herman mendekati Solikin yang sedang duduk membaca, ini adalah kesempatan untuk mencairkan rasa penasarannya. Sebagaimana budaya orang Indonesia yang tidak akan sabar dengan penasaran, aneh atau tidak, justru rasa penasaran dengan sesuatu yang remeh menjadi familiar.
“Nunggu Mbah Ijah le..” sapa Pak Herman. Pemuda bertubuh tinggi kurus itu sempat terperenjat, kenapa ia bisa tahu apa yang ia kerjakan sekarang. Tapi ia tidak mau banyak berspekulasi, ia mengangguk mengiyakan pertanyaan lelaki paruh baya yang baru pertama kali ia temui itu.
“Masakan beliau paling enak ya?” kali ini Pak Herman duduk dekat di pinggir. Pemuda itu menggeser sedikit duduknya. Solikin tidak mengalihkan pandangannya ke selatan salah satu gang yang biasanya Mbah Ijah keluar atau buku yang dipegangnya. Ia hanya mengangguk kembali.
“Siapa namamu le?”
“Solikin lek” kali ini pemuda itu menoleh dan tersenyum kepada Pak Herman.
“Saya Herman le, panggil saja Lek Herman. Maaf kalau mengganggu soremu, saya hanya penasaran tentang kebiasaanmu yang selalu menunggu dan membeli nasi boran kepada Mbah Ijah.” Solikin tidak menjawab. Pandangannya masih sama, arah selatan dan buku secara bergantian. Pak Herman masih menunggu sabar jawaban pemuda itu.
“Bukan karena bumbu dan masakan Mbah Ijah yang sepertinya menjadi alasan utama bagimu” tambah Pak Herman masih dengan nada pelan.
“Benar lek, kalau pingin lebih tahu, nanti lek Herman bisa ikut makan dengan saya. Lihat, Mbah Ijah sudah datang, ayo lek” kali ini Solikin menoleh. Sesaat kemudian ia beranjak sambil menaruh buku sejarahnya dalam tas cangklong di punggungnya, Pak Herman mengikuti dengan perasaan makin penasaran.
***
Solikin menyapa Mbah Ijah ramah, wanita berusia senja itu membalas lebih ramah. Solikin kemudian membantu wanita tua itu menggelar tikar dan menata dagangannya dengan cekatan. Pak Herman kagum, ternyata pemuda itu berbudi pekerti baik, batinnya. Pak Herman juga ikut membantu. Setelah semua dagangan selesai ditata, Solikin memesan nasi boran, begitu juga Pak Herman.
***
“Empuk ini dibuat dari tepung terigu yang dibumbui, Pletuk terbuat dari nasi yang dikeringkan atau kacang, lalu dibumbui dan digoreng. Namanya diambil dari bunyi ketika makanan ini dikunyah, ‘pletuk, pletuk’. Nah, lauk ikan sili ini musiman. Ikan sili dulu lebih dikenal sebagai ikan hias, harganya lebih mahal dibanding daging ayam. Bentuk ikan ini panjang seperti belut, tidak kentara mana bagian kepala atau ekornya. Durinya pun hanya ada di bagian tengah” ujar Mbah Ijah. Ke dua pembeli itu hanya mengangguk-anggukkan kepala.
“Aku sudah tidak menjual lele, karena banyak orang sini yang melarang. Katanya sih mereka masih keturunan Ki Ronggohadi murid waliyullah yang dikira maling, akibat mengambil keris gurunya yang dipinjam Nyi Lurah, tokoh perempuan yang mencintai kekuasaan pada tahun 1400-1500-an.” Mbah Ijah masih sibuk menyediakan nasi dan lauk pauk menu nasi boran dalam wadah kertas. Sementar itu, Pak Herman terheran-heran dengan pengetahuan Mbah Ijah, yang persis teman guru sejarahnya di sekolah.
“Sudah berapa tahun berjualan Mbah” Tanya Pak Herman sambil menerima bungkusan nasi boran dari Mbah Ijah.
“Sudah puluhan tahun le” tutur Mbah Ijah
“Lamongan dulu seperti apa ya Bah, jenengan tau ceritanya?” tanya Solikin polos. Pak Herman menyatukan alisnya. Bisakah wanita tua di depannya itu menjawabnya?
“Hei..” tangan Mbah Ijah tampak mencegah dua orang di depannya untuk makan.
“Ada apa Mbah..” sahut Solikin dan Pak Herman bersamaan.
“Moco bismillah dulu le..” saran Mbah Ijah, kedua laki-laki itu hanya senyum-senyum mengiyakan permintaan Mbah Ijah.
“Dunyo iki unik le, gusti Allah menakdirkan hanya penduduk desa Kaotan dan dari Desa Sawo berjualan sego boranan dan membuat boran (wadah nasi terbuat dari bambu yang dianyam menyerupai bentuk kubus). Kuasanegusti Allah. Buyutku dulu sering bercerita, beliau mempunyai buyut yang pernah nyantri di Giri Gresik. Buyutku juga cerita, Lamongan diambil dari nama Mbah Lamong asal namanya Ranggahadi. Sebutan itu karena Mbah Lamong bisa ngemong rakyat, pandai membina daerah dan mahir menyebarkan ajaran agama Islam serta dicintai oleh seluruh rakyatnya.
Kalau pemimpin sekarang gimana le?” Solikin mendongkakkan wajahnya, pertanyaan itu menghentikan makannya. Ia kemudian menoleh Pak Herman, berharap menemukan jawaban darinya yang masih berpakaian pegawai pemerintah.
“Kita berharap pemimpin negeri ini seperti Mbah Lamong Mbah…” jawab Pak Herman.
“Cerita dari Buyutku kalau Mbah Lamong kemudian bergelar Tumenggung Surajaya dan menjadi Adipati Lamongan pertama, ia dinobatkan oleh Kanjeng Sunan Giri IV yang bergelar Sunan Prapen. Wisuda tersebut bertepatan dengan hari pasamuan agung yang diselenggarakan di Puri Kasunanan Giri di Gresik, yang dihadiri oleh para Sentana Agung Kasunanan Giri. Pelaksanaan Pasamuan Agung itu pada 10 besar. Yang aku ingat dari cerita buyut, Mbah Lamong wafat pada tahun 1607 dan dimakamkan di Kelurahan Tumenggungan kecamatan Lamongan. Bener le?” kembali Solikin menoleh Pak Herman penuh harap.
“Bener Mbah..” Pak Herman hanya membalas senyuman tatapan Solikin.
“Dulu, buyutku menegaskan kalau sifat asli orang Lamongan adalah mengutamakan kebersamaan, suka berjuang, ulet berkerja, agamis, terbuka, halus, perasaan, jujur, penuh tanggung jawab, dan petualang. Orang Lamongan juga bersifat pejuang seperti keberanian Pangeran Sabrang Lor, dan juga teguh seperti Nyi Andong Sari ibunda Mahapatih Gajah Mada yang dimakamkan di bukit Ratu Sendangharjo Ngimbang. Buyut juga banyak menyebut beberapa tokoh sejarah dengan bukti-bukti sejarah orang Lamongan yang membanggakan, aku ora sepiro iling le. Yang penting, kau harus seperti itu le” kali ini Solikin dengan mantap mengangguk.
Setelah selesai makan, Solikin dan Pak Herman pamit bersamaan dengan datangnya pelanggan-pelanggan Mbah Ijah. Senyum Mbah Ijah menjawab salam keduanya karena sekarang ia sibuk melayani pembeli.
“Aku ngerti sekarang mengapa kamu datang lebih awal, banyak pelajaran-pelajaran tentang kehidupan dari Mbah Ijah. Benar kan?” tebak Pak Herman, sambil menunjukkan telunjuk jarinya ke Solikin.
“Benar lek, bagiku, Mbah Ijah terlalu istimewa untuk menjadi seorang penjual nasi boran” jawab Solikin tanpa menghentikan langkahnya menyusuri trotoar Plaza Lamongan bersama Pak Herman.
“Betapa banyak pelajaran dan ilmu kehidupan yang engkau peroleh dari Mbah Ijah, bila setiap hari le?” Solikin hanya tersenyum. Pandangannya tertuju kepada salah sekitar. Ah, betapa damai dan hijaunya kotaku. Syukurnya dalam hati.
“Aku hanya ingin menjadi orang orang baik lek, mendengarkan kebaikan dari orang lain bagiku adalah ilmu dan jalan untuk proses kebaikan bagi diriku. Carilah ilmu walau ke negeri China, begitu guru ngajiku di musholla samping rumah mengingatkan. Kalau tidak ada pembeli, Mbah Ijah sering cerita tentang pengalaman-pengalaman hidupnya dan juga budaya masa dulu kota ini, itu yang membuat aku tertarik langsung ke tempat Mbah Ijah biasa berjualan setelah kuliah. Bagiku, Mbah Ijah adalah dosen bagi mata kuliah hatiku.” Pak Herman hanya mengangguk mendengar penjelasan panjang Solikin, ia sekarang sudah mengerti dan rasa penasaran tentang kebiasaan Solikin sudah terjawab.
“Kamu benar, terkadang kita perlu untuk melihat ke belakang, membaca dan mempelajari kisah hidup orang terdahulu sebagai cermin di kehidupan sekarang” Solikin mengamini.
“Aku harus pulang ke rumah lek” ucap Solikin ia melihat ada bus yang mendekat.
“Jangan berhenti untuk belajar, siapa pun bisa menjadi guru” Pak Herman menepuk pundak Solikin.
“Iya lek” jawab Solikin sopan.
“Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam..” bersamaan dengan jawaban salam Pak Herman, Solikin sedikit berlari menaiki bus arah pulang ke rumahnya.
“Pemuda yang luarbiasa” puji Pak Herman dalam hati, ia melambaikan tangan kepada tukang becak yang mangkal di sepanjang jalan raya depan stasiun Lamongan.
Oleh: H. R. Umar Faruq
Lamongan, 7 September 2013 M
(Dimuat di Majalah Langitan Edisi 51)
2 Responses to "Mbah Ijah dan Nasi Boran"
lamongan, nasi boran, tahu campur
ah laparr
Hehe... yang kalau baca tulisan ini diharap tidak dengan keadaan perut kosong, karena bisa membuat Anda tersiksa... :)
Posting Komentar