Ustadku, Mantanku



Aku mengenal Mas Ardi saat duduk di bangku kelas delapan, hatiku terpaut dengan kata-kata indah status facebooknya, kata-katanya halus, sering membuatku tertawa ketika statusnya berisi humor-humor jenaka, dan tidak jarang mataku sembab saat tulisannya menyayat-nyayat hati. Ketertarikanku, karena ia menghormati posisi wanita, junjungan tingginya kepada hak-hak perempuan membuat anganku melayang-layang. Dia, begitu sempurna bagiku.
Setiap hari, mulai subuh buta aku sudah stanby di depan layar handpone, tidak lain mengeklik nama Ardi Abraham nama akun facebooknya, karena pada jam lima pagi, dia pasti update status, pagi yang dingin akan terasa hangat dengan sapaan-sapaannya di dumay (istilah teman-teman sekolahku, menyebut “dunia maya”). Menahan kantuk, atau menahan airmata dan mulut menganga karena terpaksa makan cabe agar mata melek, adalah kebiasaan yang hampir tiap pagi aku lakukan. Hanya untuk nge-like atau mengucap salam kepadanya. Entah ini sebuah kebodohan atau apa, hatiku mengatakan wajib ada untuknya.

Rinduku..
Ketika lidah mengucap kecerahanmu
Aku merasa malu
Karena keberadaanmu begitu terang
Sebelum alunan kata mengurainya
Rinduku…
Jangan palingkan senyum indahmu
Tataplah kesenduanku dengan nada merdumu
Rinduku..
Dengarlah suara detak di dadaku
Beberapa pilu telah menusuk sanubariku
Rinduku…
Rasakan jeritan deraian airmataku
Goncangan rasa telah melumpuhkan sendi tubuhku
Menancaplah di dasar relung hati yang haru
Sebagaimana mesra cumbumu bersama para perindu..

Statusnya membuatku terpesona dan terlena, aku malah terlalu percaya diri kalau status di subuh buta itu ditulis untukku. Dan, aku mendadak seperti menjadi seorang putri khayangan yang disanjung dengan puisi-puisi indah dan dihadiahi ribuan karangan bunga istimewa oleh para pangeran langit. Ah, aku menjadi seorang wanita yang paling istimewa. Setiap kata-katanya adalah panah yang menusuk ke dalam hatiku. Indah.
@@@@
Setiap malam aku mengunci diri di kamar, tidak menghiraukan teriakan mama dan papa yang mengajak makan malam di bawah. Paling-paling bi Inah akan mengantarkan makanan itu ke kamarku di lantai dua, saat mama dan papa sudah lelah memanggilku. Melihat status idolaku adalah hal yang amat penting dari apapun, malah lebih kudahulukan dari mengerjakan tugas sekolah.

Malam yang syahdu..
Biarlah burung-burung surgawi berterbangan
Bergelantungan di pohon-pohon intan permata surga
Sayap-sayap berlian dan zamrudnya sekemilau senyum para bidadari
Aku masih di sini, menantimu dengan segengggam nada rindu

Malam yang merdu..
Biarlah gemerlap cahaya taburan gemintang berpijar
Menghiasi kanvas hitam cakrawala yang tak bertepi
Aku masih di sini, dengan hati yang berdebar-debar kasih

Malam yang menderu haru…
Biarlah kesiur angin mendesirkan iringan sepoi
Bergelayut dengan lembut di dinding kalbu
Aku masih di sini, bersimpati membayangkan elok wajahmu

Dengan spontan aku bersimpuh dan menangis sejadi-jadinya, aku berharap lagu-lagu rindunya tertuang untukku, ungkapan-ungkapan indahnya ditunjukkan kepadaku. Ah, suasana hati yang menjadi hal yang terlalu indah diungkapkan dengan kata-kata yang terbatas.
@@@@
Imelda, ya Imelda satu-satunya sahabat yang menjadi tempat curahan hati itu terbengong-bengong keheranan, saat aku berjingkrak-jingkrak melompat-lompak di depannya, ia menjitakku ketika aku cerita kegiranganku karena sudah berkenalan dengan Ardi Abraham, cowok di FB.
“Hanya itu?” bibir Imelda manyun tak karuan, aku tertawa terbahak-bahak dengan tingkahny yang meniru gaya Sule, tokoh komedi fenomenal di Indonesia saat ini.
“Ah, sahabat cantikku” aku memeluknya erat.
“Ini hal terindah yang pernah terjadi dalam hidupku, ini benar-benar sebuah keajaiban Mel, sahabatku yang baik, cantik dan aku sayangi..” mataku berair.
“Heran deh” katanya, masih dengan lagaknya yang lucu. Aku kembali menghambur memeluknya dan menangis. Dengan itu aku bisa tenang.
@@@@
“Imeldaaaaaa…….!!!” Aku berlari, Imelda yang sedang khusyu’ membaca, tampak gelagapan dan kaget dengan kedatanganku yang bersuara nyaring, dia seketika berdiri dan memberi isyarat menutup mulutnya dengan jari telunjuk.
“Ini perpus tauk..” suaranya tertahan. Ia tampak marah.
“Ups,,” aku malah menutup mulut dengan kelima jariku, aku melihat ke sekeliling, eh ternyata ada beberapa wajah yang menyatukan alisnya. Aku mengangkat dua jari tanda “peace” sambil memamerkan senyum lebar yang pasti tidak manis menurut mereka sekarang.
“Maaf..” Imelda menjitak kepalaku dengan buku yang ia pegang.
“Kalian berdua keluar..!!” Pak Selamet petugas perpus menunjuk pintu keluar dan memasang wajah angkernya, aku hanya nyengir, Imelda?, pasti deh wajahnya bersungut-sungut kesal karena acara membacanya buyar. Aku menarik tangannya, tidak peduli wajah sangar penjaga perpus dan ocehan Imelda yang lagi marah besar.
“Kamu nyebelin tau ga’..” bibir Imelda masih maju, tapi untung tidak pakek gaya Sule, jadi tertawaku tidak tumpah. Aku membetulkan duduk di kursi taman sekolah yang lumayan asri ini.
“Maaf ya Mel..” wajahku dibuat semelas mungkin. Tak lupa aku memegang tangannya lembut. Yaps, berhasil, wajah merah Imelda terlihat sedikit cerah.
“Jangan bilang kalau ellu bakalan curhat masalah Ardi” Imelda berbicara sedikit tegas. Aku tetap pada gaya memelasku di depannya. Dia akhirnya menyerah, dan bersedia mendengarkan cerita panjangku. Cewek sedikit tomboy itu memang baik, ia tidak pernah bosan menjadi pendengar setia keluhan hatiku.
“Apa?, kalian jadian?” aku mengangguk meyakinkan, Imelda masih belum percaya. Mana mungkin bisa jatuh cinta lewat facebook tanpa ada pertemuan?.
“Mustahil..!!” Imelda menggeleng.
“Aku udah minta dia ketemuan, tapi tidak tahu kenapa dia tidak pernah mau, dia beralasan memakai bahasa arab yang tidak aku mengerti. Tidak apalah, yang penting dia menerima cintaku, aku bahagia dengan keadaan hatiku sekarang Mel. Kadang cinta datang tidak beriringan dengan dimensi realitas, malah ia sering muncul dengan kedahsyatan misteri Mel. Cinta tidak sama dengan rumus fisika yang bisa dihitung secara matematis. Cinta bukan ilmu pengetahuan yang bisa dengan mudah dipresentasikan. Cinta adalah keterpautan ilham dari Sang Pencipta antara satu hati dengan hati yang lain. Cinta tidak datang sendiri, tidak kebetulan, tidak direncanakan, tapi cinta adalah getar-getar indah yang ditabuhkan Tuhan, cinta timbul dari sini” jari telunjuk tanganku mengarah tempat jantung, Imelda diam, ia mungkin mulai mengerti dan menganggukkan kepada saat melihat mataku basah. Dan kembali aku menangis dipelukannya.
@@@@
“Kamu tidak bisa begini dong”
“Aku hanya selalu inget wajahnya Mel” Imelda hanya menjawab dengan hembusan nafas beratnya. Mungkin ia kasihan melihat perubahanku, yang sering murung dan menangis.
“Aku ngerti perasaanmu, aku faham kegelisahan hatimu. Apa kamu mau seperti ini terus?, kamu masih muda Nanda, kamu masih sangat cantik untuk menyia-nyiakan waktumu untuk Ardi yang tidak nyata itu. Jalan masih panjang sayang, jangan korbankan masa depanmu” suara lembut teman sejak SD itu menusuk hati, aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku tidak bisa berkata apa-apa, benar apa yang dikatakannya, secara fisik aku tidak kurang satu apapun, banyak yang bilang aku cantik, malah kecantikan alami wajahku sampai ada yang nyamain dengan artis Nabila Syaqib. Banyak cowok di SMK Al Khoiriyah Surabaya tempat sekolahku mengejar-ngejar dan menyatakan cinta mereka. Tapi, aku lebih memilih Ardi, cowok yang kukenal di facebook, media sosial di dunia maya. Ya, dia laki-laki yang mengisi hatiku, walau aku menjalin kasih dengannya hanya lewat jejering internet. Ah, aku terlalu mencintainya.
“Kamu buta Mel, kemana sahabatku yang periang dulu?, kemana karibku yang lincah dulu?” Imelda merentangkan tangannya, raut mukanya tampak sangat kecewa. Aku hanya mengiyakan dengan tangisan, aku tidak peduli lalu-lalang pengunjung taman Bungkul yang lewat di depanku. Benar, aku dulu dikenal periang dan supel, tapi sekarang hatiku terus tertuju untuk memikirkan Ardi, pelajaran sekolahku sering keteteran, nilai ujianku merosot dratis. Tapi, kenapa aku bahagia dengan keadaan ini?. Aku terus menumpahkan tangisanku, hatiku perih. Seakan ada ribuan belati yang mengiris.
“Aaaku.. akuu, aku sangat menyayanginya Mel.. sangat..” kataku terbata-bata, Imelda hanya menggeleng, ia mendekapku iba, airmataku tumpah dipelukan hangat sahabatku.
“Kekuatan cintamu luarbiasa Nanda” Imelda mempererat dekapannya, dia ikut terisak melihat tangisku makin keras. Mungkin, pejalan kaki di taman ini, terheran-heran dengan sikapku dan Imelda, namun kami tidak peduli dengan tatapan aneh mereka.
@@@@
Di pertigaan jalan Wonosari Surabaya, seorang cewek manis tampak manggut-manggut dengan perkataan tukang becak menjelaskan alamat di secarik kertas yang ada di tangannya. Ia tampak memastikan tujuannya dengan menunjuk sebuah rumah. Lekaki itu lantas mengacungkan jempol mengiyakan. Lambaian tangan dan anggukan sopan mengakhiri pertemuan mereka. Budaya timur yang menjadi ciri khas mengagumkan di Indonesia.
“Silahkan masuk nak” wanita paruh baya membukakan pintu.
“Ayo duduk dulu” katanya lagi
“Terimakasih tante”
Setelah menyuguhkan makanan ringan, terjadi perbincangan yang sedikit tegang. Imelda sering menutup mulutnya dengan kedua tangan dan menggelengkan kepala, tanda ia tidak percaya. Tak jarang ia sesekali tersentak dan menyeka airmata di kedua pipinya yang basah, mendengar penuturan Ibu Yanti.
“Ini ada surat dari Nanda, dia nitip salam sayang sama kamu nak” Imelda menerima surat dari karibnya itu dengan tangan bergetar. Sebelum pulang, Bu Yanti memeluknya dengan mata berkaca-kaca, Imelda langsung menancap gas mobilnya menuju tempat bersenda gurau dan berkeluh kesah bersama karibnya dulu. Taman Bungkul. Yah, disanalah tempat faforit baginya dan Nanda, mereka berdua sering meluangkan waktu untuk menumpahkan gejolak hati masing-masing.
@@@@

Untuk Sahabat cantikku Imelda
Sebenarnya, sebelum meninggalkan Surabaya, ada keinginan menemuimu dan menceritakan semua hal yang terjadi setelah aku “menghilang” beberapa bulan dari sekolah, tapi ternyata tidak cukup waktu berlama-lama di Surabaya karena aku harus segera berangkat ke Jakarta. Aku menulis surat ini, dan kutitipkan ke mama karena aku yakin kamu pasti datang ke rumah. Aku tahu kamu pasti mencari alamat rumahku sahabat, kamu tidak akan betah lama-lama tanpa keberadaanku kan?.
Karena Ardi Abraham?, iya, semua karena dia. Kisah pacaranku di FB dengannya, yang pean bilang “jalinan aneh” ternyata berakhir. Tepatnya, dia memintaku tidak menghubunginya lagi. Aku kaget bukan main, hatiku tersentak ketika dia benar-benar menelponku dan memintaku untuk melupakan semuanya. Aku menangis sejadi-jadinya, meraung-raung, aku tidak bisa menjalankan pikiran sehatku lagi. Mama dan papa tidak mendengar setiap aku menangis, karena aku selalu mengunci diri di kamar dan menyetel musik sedikit keras.
Dua hari kemudian aku jatuh sakit, karena kurang tidur, sering menangis semalaman, nafsu makan hilang, dan sering keluar malam. Mama dan papa kaget melihat kondisiku yang buruk, badan lemah, wajahku putih pucat seperti mayat, tubuh membiru dan panas tinggi. Aku dilarikan ke rumah sakit RSUD Dr. Soetomo ketika petugas medis Puskesmas di depan gang rumah angkat tangan. Mama terperenjat dan memelukku sambil menangis, saat dokter menvonis liver dan ginjalku bermasalah serta aku kena demam berdarah.
Suasana hatiku yang hancur dan hilangnya semangat, membuat proses pemulihan kesehatanku berjalan lambat, aku di ruang ICU rumah sakit selama empat bulan. Mama sering memaksaku untuk bercerita apa yang terjadi, ketika mama melihat kantung mataku hitam dan memergokiku sering menangis sesunggukan. Mama menyerah karena aku bungkam, aku merasa cuma kamu Imelda, yang bisa menjadi tempat curahan hatiku. Cuma kamu sayang..
Selama di rumah sakit, aku sengaja tidak memberi kabar siapapun (termasuk kamu sayang..), karena aku merasa lebih tenang sendiri, malah aku menolak usulan mama yang mau mengundang teman-teman sekolah. Mungkin mama merasa ada yang aneh dengan sikapku dan keseringanku menangis, mama mendatangkan psikiater.
Langkah mama memang jitu, ketika badanku mulai pulih, aku mendapat bimbingan Bu Lina selama satu bulan di rumah sakit, motivasi dan arahan Bu Lina yang bergelar SpKJ itu sedikit demi sedikit menstabilkan goncangan emosionalku. Kata-katanya seakan mengembalikan keceriaan dan keriangan hatiku yang beberapa bulan lalu hilang.
Atas saran temen papa, aku dimondokkan di Pesantren Modern Al Falah Jakarta Pusat. Awalnya, aku menolak, tapi papa meyakinkanku. Papa berharap, di pesantren bisa mengembalikan kekuatan mentalku yang kadang gampang goyah. Kamu tahu Mel, ternyata pesantren tidak kumuh, para santrinya ga’ jaim, dan fasilitasnya lengkap. Di sini bersih, asri, dan temen-temenku baik semua. Bahkan aku bisa nerusin pendidikan ke perguruan tinggi milik pesantren.
Subhanallah, aku tercengang dan tersentak ternyata Ardi Abraham adalah akun punya Muhammad Ibrahim, salah satu pengajar di pesantren Al Falah. Kami memanggilnya ustad. Tapi aku bisa mengendalikan hatiku, masukan-masukan psikiater dulu sangat ampuh untuk menguatkan prinsip hidupku. Aku juga mulai mengerti tentang alasan-alasan bahasa arabnya untuk menjauh dariku. Ternyata itu dalil-dalil dari syariat Islam tentang larangan pacaran Mel..
Di dalam amplop ini ada tiket pesawat PP Jakarta-Surabaya, 26 Maret nanti adalah Haflatul Imtihan pesantren Al Falah (kalau di sekolah dulu sih, disebut dengan acara akhir taunan), tidak ada alasan, kamu harus datang. Titik.
Sahabatmu yang selalu menyayangimu
Nanda Qibti
Imelda mencium berkali-kali surat itu sambil terisak. Jilbab panjangnya basah dengan airmata. “Aku pasti akan datang sayang..”
@@@@

Subscribe to receive free email updates:

2 Responses to "Ustadku, Mantanku"

Unknown mengatakan...

nice short story

H R Umar Faruq mengatakan...

thank you brother .. You could be great ..