Kerajaan Peri "Be A Writer"



     “Senja tidak memberikan apapun padamu sobat..”
“Benar”
“Kenapa kau menunggunya setiap hari diujung tangkai tertinggi pohon bangsa kita ini?”
“Senja terlalu indah untuk ditinggalkan kawan” mataku masih tertuju kepada sang jingga.
“Ah, perkataanmu terlalu berlebihan, tidak realistis”
“Tidak semuanya bisa diselaraskan dengan kenyataan kawan, lihatlah kita. Tercipta sebagai semut. Kita sadar bahwa semut adalah hewan terendah yang ada di belantara kerajaan ini. Semut identik dengan bawah karena kita melata di tanah, hidup di tanah, dan bertempat tinggal di tanah. Kita sering disebut dengan hewan rendahan. Bangsa kita sebuah kasta hewan yang rendah, malah, di sensus penduduk kerajaan tertinggi hutan ini, bangsa semut tidak dicatat dalam arsip negara. Tidak sama sekali. Apalagi kita golongan semut hitam. Semut pekerja. Semut terendah di antara kasta semut lainnya. Apakah kita berbeda dengan mereka?, ah, kita sama-sama makhluk yang diciptakan sama oleh Tuhan kawan. Melihat hamparan senja, bagiku sebuah keindahan di atas keindahan. Senja memanjakanku dengan keindahannya. Senja memberikan semangat keindahan dalam tubuhku. Karena senja, aku merasa menjadi makhluk yang bisa indah, yang bisa meraih indah, dan yang bisa menciptakan hal yang indah. Keindahan bukan didatangkan, tapi kita mendatangkannya. Kita memilih keindahan, bukan keindahan yang memilih kita. Inilah ekplorasi ketulusan hati yang sesungguhnya.”
“Kelakuan dan penjelasanmu terlalu gila. Aku tidak mengerti” Titong, semut bertubuh tambun itu memalingkan wajah berlalu. Tiog, semut bertubuh kurus itu tidak mengalihkan pandangannya pada senja yang mulai merekah. Ia tersenyum.
“Melihat senja adalah hal tergila yang pernah aku lakukan kawan. Kegilaan yang indah” matanya berkaca-kaca, senja benar-benar menampakkan merah jingganya.
***

“Sayembara..!!, Sayembara..!!” mendadak keadaan menjadi gaduh dengan kegirangan beberapa kerumunan semut menjubeli selebaran yang menempel di beberapa pohon singkong.
Beberapa kerajaan rimba menyebarkan berita mengadakan beasiswa pendidikan keterampilan mengolah pena, menulis dan melukis adalah dua di kelas yang paling faforit pada masa itu. Tentu, kesemuanya menawarkan fasilitas-fasilitas plus yang menggiurkan seluruh penduduk jagat rimba, tidak ketinggalan Kerajaan Peri Be A Writer yang bonafid, Kerajaan Beringin yang terkenal kokoh karena bangunan akarnya yang mencengkram bumi. Tidak tanggung-tanggung kebanyakan kerajaan mengglontorkan dana sekian karung besar daun (mata uang yang berlaku pada saat itu adalah dibuat menyerupai bentuk daun. Bahan-bahannya tidak terdiri dari rumput laut atau kertas hasil proses batang kayu yang digunakan pada beberapa masa-masa akan datang, tapi dunia rimba menggunakan bahan biji bunga matahari yang hanya tumbuh dipuncak gunung Krakatau. Konon diyakini satu di antara tiga penyangga bumi, perbandingan nominalnya melihat umur biji dan warna hitamnya. Lebih tua dan lebih hitam biji yang dikeluarkan oleh serikat Internasional Bank Rimba, lebih mahal pula nilai tukarnya. Namun, beberapa tahun belakangan, mata uang daun itu disahkan dengan tanda garis menggunakan tongkat sakti nenek moyang Kerajaan Peri Be A Writer untuk mengetahui berapa nominal di setiap mata uang.)
Tiog adalah semut hitam dari masyarakat semut pegunungan (pelosok atau pinggiran, istilah bahasa yang berkembang pada abad-abad berikutnya) bertekat menjadi peserta yang bisa masuk di salah satu perguruan menulis kerajaan (pada masa yang akan datang di sebut perkotaan atau ibu kota). Semangatnya makin menggebu, karena berita yang ditangkap radar semutnya dari kelompok semut pengembara, membenarkan keramaian pendaftaran pelajar baru di beberapa kerajaan.
“Hanya pusaka bangsa semut yang diwariskan secara turun temurun ini sebagai bekalmu bujangku” Katiogna, semut yang badannya sudah memerah (tanda ketuaan pada semut), menyerahkan sebatang kayu penuh ukiran, panjangnya hanya dua jari tangannya.
“Jagalah pusaka bangsa kita ini, karena ia sudah berusia ratusan tahun yang konon dari keturunan pertama bangsa semut. Selama 134 tahun aku memimpin keluarga ini, selama itu pula aku melindungi dan dilindungi oleh pusaka ini.”
“Ini juga akan melindungimu anakku” Kattigni, ibu Tiog memasang sebuah kalung yang bentuknya mirip dengan Sayap Khayangan dan Pangeran Manggis legenda semut, yang menceritakan tentang kalung berhiaskan batu rubi bundar dan besar yang didalamnya ada fosil semut generasi pertama. Lambaian kedua otangtua dan sembilan puluh sembilan saudaranya mengantarkan Tiog keluar dari pintu gerbang gunung semut.
***

Benar sekali, keramaian di beberapa pusat kerajaan terdengar dari jauh. Tiog kian semangat melangkahkan kakinya, semakin dekat semakin nyaring saja keramaiannya. Tiog tanpa lelah menaiki bukit satu, ke bukit yang lain. Melewati kerajaan satu, ke kerajaan yang lain. Entah, radar semut Tiog masih belum menemukan tempat tempat yang pas bagi hatinya.
Ia masih mencari alasan kenapa hatinya tidak juga memilih, semakin ia cari semakin pula ia terjebak di antara kabel-kabel hatinya yang rumit. Bukan tidak terpilih, empat naskah yang dikirimkannya, diterima oleh empat kerajaan. Undangan sekaligus formulis dari empat kerajaan di tangannya. Tapi, itu tidak cukup membuat hatinya lunak untuk memilih. Di saat kebingungannya yang memuncak, Tiog baru sadar penyebabnya adalah senja. Yah, tidak ada satupun dari promosi atau prasasti dari setiap kerajaan yang ia lewati menyebut nama senja. Hati kecil Tiog berontak, tidak terima kalau setiap puisi yang diciptakan kerajaan-kerajaan itu, sama sekali tidak menuliskan kalimat senja. Menggambarkan warna jingga senja pun tidak. Ah, itu sangat menyinggung perasaan Tiog yang sudah terlanjut menyerahkan segalanya rasa cintanya pada senja.
***

Di ujung perbatasan Kerajaan Ubi, Tiog termenung, radar semutnya sedikit menunduk. Hangat hamparan pasir membuat tubuh ringkihnya sedikit bisa menahan angin dingin yang berkesiur kencang di pantai itu. Ia merasakan sosok mendekat, ia tidak menghiraukan. Kedua matanya masih tertuju pada satu titik arah. Tiog tidak menyerah biarpun ufuk barat diselimuti mendung hitam. Ia berharap ada sedikit warna jingga yang menyelip di sela mendung sehingga dua radar semutnya bisa kembali terangkat menjulang.
“Kau menunggu apa?” suara lembut menyapanya.
“Senja” jawab Tiog singkat tanpa menoleh.
“Boleh aku duduk Pangeran Senja?” Tiog terperenjat. Ia kaget bukan karena pemilik suara itu perempuan. Tapi panggilan itu mengalihkan pandangannya menunggu senja. Tiog menoleh. Ini pertama kali dalam hidup Tiog, matanya melewatkan beberapa detik fenomena senja. Ini tidak pernah  dilakukannya, karena selama ini pandangannya begitu setia pada senja di setiap penghujung siang datang.
“Apa yang kau katakan tadi?” Sosok itu tersenyum, ia duduk begitu saja di dekat Tiog
“Kulihat kamu sering mendatangi pantai ini ketika sore tiba, pandangan matamu tidak bermakna kehilangan. Tapi menunggu sesuatu untuk dilihat. Aku tebak itu senja. Penyuka senja atau pangeran senja, nama itu pantas buatmu. Aku tidak berlebihan. Liontin di lehermu adalah lambang bangsawan. Pas sekali kalau diselaraskan dengan kata pangeran” Tiog menyatukan alisnya, ia semakin tidak mengerti.
“Liontin bangsawan?”
“Kau tidak tahu?” Tiog menggeleng.
“Liontin itu gelar bangsawan dari Kerajaan Peri Be A Writer. Diberikan bersamaan sebuah pusaka yang disebut pena” wajah perempuan itu serius.
“Ini yang dimaksud?” Tiog menunjukkan sesuatu.
“Astaga, ini menakjubkan..!!, apakah kau yang mendapatkannya?” mata jelita itu seketika berbinar.
“Tidak, ini bekal dari kedua orangtuaku sebelum aku berangkat mengembara ke beberapa kerajaan untuk mengikuti belajar menulis” tegas Tiog.
“Taukah kau, ini gelar pertama dari Kerajaan Peri Be A Writer tiga ratus tahun lalu..!!”
“Be A Writer?”
“Iyaah, sebuah kerajaan kumpulan peri yang jago nulis. Itu kenapa Kerajaan Peri Be A Writer menjadi yang termegah di antara kerajaan lain. Para peri penghuninya bisa melakukan apapun dengan menulis. Keindahan dan kemegahan Kerajaan Be A Writer bisa dilihat dari megahnya jembatan itu. Sebuah pintu gerbang utama kerajaan yang melambangkan, penuh semangat menulis, penuh kebersamaan berbagi ilmu menulis, penuh guratan kata, penuh cinta untuk menulis.” Tiog menoleh sambil menunjuk bentangan jembatan besar diujung sana yang menyambung ke sebuah pulau kecil.
“Apa hebatnya Be A Writer?”
“Pangeran, kita jalan-jalan ke sana yuk. Kita ke pulau Kerajaan Peri Be A Writer, ada bunga-bunga manis yang bisa kita nikmati di salah satu bukit pulau, dan kita bisa melihat laut lepas belantara rimba dan bangunan kerajaan dari atas sana. Pemandangan malamnya juga syahdu Pangeran, kelap-kelip cahaya sayap para peri bisa terlihat, remangnya gemerlap taburan bintang, aku pikir bisa mendatangkan ide-ide menulis yang luarbiasa. Percayalah, karena aku sudah sering mencobanya” Tiog tidak bisa menolak, ajakan itu membuat kakinya seakan melangkah sendiri. Tiog menghentikan langkahnya, ia terpana dengan keindahan jembatan itu.
“Yah, para peri melukis semua kayu jembatan ini dengan ukiran indah. Jejeran ilalang yang menjadi pagar jembatan tak luput dari pena para peri. Rindu, gelisah, kecewa, dan segala dendang cinta terlulis di helai-helai ilalang sepanjang jembatan ini. Ditulis dengan aliran sungai tinta putih yang ada di kerajaan Be A Writer. Para arkeolog belum menemukan usia sungai itu. Konon, batu-batu di sungai terpanjang di dunia itu berusia lima belas juta tahun. Kalau itu benar, masa itu belum ada kehidupan di muka bumi ini. Nenek moyang peri yang fosilnya ditemukan oleh Ratu Peri ke-313 di puncak pegunungan Himalaya, bersamaan pula di sebelah pemakaman fosil beliau, ditemukan tongkat sakti miliknya yang menancap di salah satu helai daun ilalang tertua di dunia. Kau tau Pangeran, satu di antara tiga helai daun ilalang itu dibuat pena. Dan pena itu ada di tanganmu. Sebuah hadiah istimewa Kerajaan Peri Be A Writer untuk memperingati ditemukan makam nenek moyang peri. Satu helai lagi dibuat benih, yang kemudian ditanam pada kayu dan menijadi pagar disepanjang jembatan ini. Helai yang lain dibuat mahkota kecil kerajaan yang ada di atas kepalaku.”
“Jadi?” Tiog melongo
“Bukan, aku bukan Ratu Peri, ini hadiah dari ibuku Sri Tuty Fruty Putri Peri sekarang yang ke-387. Karena kemampuanku bisa membaca prasasti-prasasti bahasa peri generasi pertama di setiap tembok bangunan tua kerajaan Be A Writer. Apalagi, ternyata beberapa prasasti adalah petunjuk bagi misteri di kerajaan yang belum terpecahkan ribuan tahun.”
“Dan?”
“Masyarakat peri di sini menyebutku Putri Orchida. Terserah kau mau manggil apa. Sudahlah, yang terpenting kau harus bersemangat diri untuk menulis, karena kau memiliki dua penghargaan tertinggi Kerajaan Peri Be A Writer. Amazing, penulis hebat yang pernah ada itu adalah nenek moyangmu Pangeran..!!. aku yakin aliran darah dari penulis hebat dalam tubuhmu bisa menginspirasimu jadi penulis hebat selanjutnya” mata Tiog berair, pujian itu mungkin pertama kali ia dengar dan begitu atau terlalu indah bagi dirinya. Bangsa semut pegunungan.
“Selamat datang Pangeran, melewati jembatan ilalang dan kakimu menginjakkan tanah kerajaan ini, berarti kau sekarang menjadi bagian dari keluarga Be A Writer. Kau bisa menuangkan rindu di setiap senja sesukamu, kau bisa meluapkan gelisah di setiap senja sepanjang waktu, kau bisa menuliskan segala rasa cinta di setiap senja, mulai sekarang dan sampai kapanpun..!!. Pena hebatmu bisa menyentuh kanvas senja yang lembut, sungai putih itu bisa menjadi tinta abadimu.” Tiog terpaku, diam, matanya basah. Ternyata ia menemukan apa yang ia cari selama ini. Dan Kerajaan Be A Writer menaklukkan hatinya.
“Oh iya, siapa namamu jejaka?”
“Panggil aku, Pangeran Senja”


17:00 WIB, 20 April 2013 M.
Senja merekah di Pelabuhan Perak Surabaya

Subscribe to receive free email updates:

6 Responses to "Kerajaan Peri "Be A Writer""

Binta Almamba mengatakan...

cihuy.. bahasa yg unik.. mirip mbak Shabrina WS.

Mugniar mengatakan...

Pilihan namanya unik

H R Umar Faruq mengatakan...

Terimakasih dua keluargaku yang ikut berkunjung... ilmunya ya...

H R Umar Faruq mengatakan...

Makasih Mbak Binta..

Leyla Hana mengatakan...

iya ini penerus Shabrina WS :-)

H R Umar Faruq mengatakan...

Hei.. Mbak Leyla Hana??


Makasih komentarnya, Ah, masih penulis yang bau kacang Mbak... hehehehe..


Mohon bagi2 ilmu menulisnya ya..