Alhamdulillah, Ada Hari Santri


Beberapa hari lalu, saya mendapat sms dari salah satu teman yang mengabarkan tentang peringatan Hari Santri Nasional, ia menambahkan juga bahwa Presiden RI Bapak Ir. Jokowi menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Tidak berselang lama, temen yang lain juga mengirim pesan lewat WhatsApp, yang isinya berita keberatan tentang peringatan hari santri.
Menjadi semacam kebiasaan bangsa ini, perbedaan di tingkat “orang-orang atas” menjadi eforia di media. Kemudian menjadi hiruk-pikuk yang seakan yang satu berpendapat benar dan bisa dibenarkan, yang satu salah dan patut dikoreksi. Tentu, hal demikian akan menimbulkan riak, selanjutnya bisa berakibat masing-masing berada di tempat yang berbeda. Ah, jujur, satu hal yang saya tidak suka.
Hari Santri sebenarnya tidak penting-penting amat, namun jauh lebih nggak penting lagi penolakan atasnya. Kenapa?, persoalan bangsa dan problematika masyarakat sekitar masih menumpuk, menghiasinya dengan riak-riak protes atau menjadikan suatu hal yang tidak bermasalah menjadi masalah, sungguh tidak bijak.

Ekslusivitas, Kurang Tepat
Tentang alasan penetapan Hari Santri potensial memecah belah bangsa dan akan mengeras lagi dikotomi santri dan non-santri. Atau, Hari Santri akan menguatkan kesan eksklusif di tubuh umat dan bangsa. Lebih jauh, tanggal 22 Oktober (yang diambil dari momentum historis Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama untuk melawan penjajah) dipersoalkan.
Melihat alasan penolakan di atas, saya merasa ada yang janggal, kalau kita melihat dengan seksama, kalau cuma perkara efek eksklusivitas, bukannya nyaris semua Hari Nasional juga eksklusif?. Contohnya, Hari TNI 5 Oktober. Di sini, TNI menjadi ekslusif dengan hari khusus. Apakah hari spesial ini layak dihapus?, karena bisa dibuat alasan, “Hari TNI akan membuat polarisasi antara militer dan sipil dan berpotensi memecah-belah persatuan bangsa.” Masih banyak hari-hari nasional yang lain. Seperti, Hari Dokter, Hari Sarjana, dll.
Kalau alasannya hanya tentang eksklusivitas dan potensi perbedaan, jangan disalahkan kalau yang beralasan demikian akan dianggap hanya “pendapat pribadi”, atau ia saja yang ingin berbeda. Bisa jadi…
Saya ingat kata hikmah dari Abuya Muhammad bin Alawi Al-Hasani, beliau berkata, “Seseorang yang mempunyai cakrawala keilmuan yang luas, ia tidak akan pernah protes terhadap orang lain.”

Dari Santri, untuk Negeri
22 Oktober, sebagai simbol penetapan Hari Santri, merupakan spirit yang saya anggap sangat baik, bentuk apresiasi kepada para ulama, beliau-beliau yang juga termasuk pahlawan nasional mengerahkan segenap raga dan jiwanya untuk kemerdekaan Indonesia. Saat tahun 1945, dimana para ulama yang dikomandoi oleh Khadratus Syaikh Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang menggerakkan Resolusi Jihad, dimana posisi berperang melawan penjajah adalah bagian jihad fi sabilillah yang akan dikaruniai mati syahid.
Sejarah Resolusi Jihad memang terus dikumandangkan dari kalangan nahdiyin (baca: NU), karena pada saat itu, komandonya dari para Kiai di Jombang dan daerah lain. Kalaupun Resolusi tidak ada di banyak buku-buku sejarah bangsa ini, pekikan Allahu akbar dari Bung Tomo di Surabaya dan kemenangan para pejuang di Surabaya tidak bisa lepas dari jasa besar para Kiai.
Terima kasih Bapak Presiden, Alhamdulillah ada hari santri, hari deklarasi para pahlawan bangsa, hari mengenang jasa pesantren dan santri, dan hari revitalisasi untuk jihad-jihad kekinian lainnya. Peringatan yang sangat baik, karena ada eforia semangat juang membangun bangsa. Tentu, mempermasalahkannya adalah pendapat yang kurang bijak dan terkesan bukan pendapat yang bisa dibenarkan dalam sisi ilmiah dan norma.

Hari Spesial Sendiri
Ketika saya bertemu dengan teman, ia menyayangkan beberapa pihak yang mengkritik “Hari Santri Nasional,” karena justru itulah yang bisa menyebabkan perpecahan umat. Tidak ada indikasi yang riil dan nyata kalau Hari Santri menyebabkan pergolakan, perbedaan, dan potensi perpecahan lainnya, sama sekali tidak.
Sekali lagi, suatu yang tidak menjadi masalah tidak perlu dipermasalahkan, kalau tidak ingin dikatakan orang yang suka cari masalah. Demikian, tidak dianjurkan oleh Islam. Budaya bangsa ini juga menjunjung etika, dimana akhlak di atas segala-galanya. Kalau tidak setuju, akan lebih baik diam agar tidak menimbulkan masalah, toh, peringatan Hari Santri hanya sebuah peringatan, bukan persoalaan akidah agama atau yang mendasar dari Islam. Gitu aja kok repot.
Rasulullah saw bersabda, “Katakanlah hal yang baik, kalau tidak bisa, diamlah.”
Menjadikan hari tertentu menjadi hari spesial bukanlah hal yang dilarang, pokoknya tidak bertentangan dengan undang-undang Negara dan hukum Islam atau SARA, boleh-boleh saja. Silakan Anda membuat sendiri hari spesial pada tanggal tertentu, hari pernikahan Anda misalnya, kelahiran anak Anda, dll. Saya tidak akan melarangnya.
Salah satu teman saya berkomentar bercanda, “Kalau saya jadi Presiden, saya akan tentukan tanggal kelahiran sebagai Hari Bahagia Nasional.” Sudahlah, kita ucapkan selamat Hari Santri Nasional, selamat Hari Spirit Jihad Keislaman, selamat Hari Perjuangan Kemerdekaan.
Kalau Anda?

#Selamat_Hari_Santri_Nasional
#Dari_Santri_Untuk_Negeri

H. R. Umar Faruq

CEO Pena Media Publishing

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Alhamdulillah, Ada Hari Santri"